HomeNalar PolitikProud to Be Indonesian?

Proud to Be Indonesian?

Menurunnya rasa bangga kepada Tanah Air boleh jadi bersumber dari andil negara itu sendiri.


Pinterpolitik.com

Malu aku jadi orang Indonesia”. Begitu kata penyair kawakan Taufiq Ismail dalam puisinya saat menggambarkan perasaannya sebagai bangsa Indonesia. Puisi itu ditulis bertahun-tahun yang lalu, tetapi tampak nuansa rasa malu itu kini terasa relevan bagi beberapa orang di negeri ini.

Seorang petinggi perusahaan Jepang bahkan pernah berkata pada sumber Pinterpolitik: “No Indonesians love Indonesia”.

Rasa tak bangga itu boleh jadi tergambar jelang perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Zaman sepertinya telah menggilas meriahnya perayaan yang dulu begitu gegap gempita. Tak semaraknya peringatan kemerdekaan ini terjadi terutama di kota-kota besar.

Tingginya batang pohon dilumuri oleh oli dalam lomba panjat pinang kini sudah semakin jarang terlihat. Kompetisi sepak bola antarkampung pun kini sudah semakin minimal. Panggung-panggung gembira untuk merayakan peristiwa penting bangsa itu juga sekarang semakin sedikit.

Kini, gedung-gedung mungkin masih memasang bendera merah putih, tetapi bendera itu belum tentu masih berkibar di dalam hati para penghuninya. Kata-kata nasionalisme lazimnya hanya ditemui di Piala AFF saat timnas sepakbola berlaga. Setelah itu, kata-kata itu hilangnya seiring dengan kegagalan Tim Garuda di gelaran tersebut saban tahun.

Di ambang perayaan kemerdekaan ini, penting untuk mengembalikan rasa bangga orang Indonesia kepada bangsanya. Lalu apa sebenarnya yang memicu terkikisnya rasa bangga tersebut?

Mulai Terkikis

Rasa bangga terhadap Tanah Air bagi sebagian orang boleh jadi adalah konsep abstrak yang tidak lagi relevan. Meski demikian, bukan berarti bahwa kebanggaaan nasionalis semacam ini sama sekali tidak penting. Apalagi, jika direfleksikan pada perayaan kemerdekaan di tingkat masyarakat yang tak sesemarak dulu.

Gambaran soal minimnya identifikasi masyarakat kepada bangsanya dapat dilihat misalnya melalui Survei Nilai-Nilai Kebangsaan (SNK) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015. Berdasarkan survei tersebut misalnya, dari 100 orang Indonesia, terdapat 18 orang yang tidak tahu lagu kebangsaan Republik Indonesia.

Selain itu, survei itu juga mengungkap bahwa 24 dari 100 orang tersebut tidak hafal sila-sila dari Pancasila. Tak hanya itu, disebutkan pula bahwa 53 persen orang Indonesia tidak hafal lirik lagu kebangsaan.

Memang, hasil survei ini lebih banyak berkaitan dengan simbol yang bagi sebagian orang dianggap terlalu seremonial. Meski demikian, hal itu dapat menjadi gambaran statistik awal bahwa identifikasi masyarakat kepada negara memang mengalami pengikisan.

Rasa bangga kepada Tanah Air umumnya hanya hadir di musim-musim penyelenggaraan event olahraga saja. Gelaran seperti Piala AFF atau Asian Games 2018 beberapa waktu lalu misalnya, berhasil membuat jutaan pasang mata orang Indonesia tertuju pada anak-anak bangsa berseragam merah putih.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Sayangnya, nasionalisme itu umumnya kerap berupa nasionalisme akamsi atau “anak kampung sini” yang hanya menggambarkan rasa kesal dan amarah karena timnas Indonesia tersingkir terutama di tangan rival-rival serumpun seperti Malaysia.

Memang, jika mau adil, secara ilmiah beberapa ahli menggambarkan bahwa kebanggaan nasional memang lebih mudah dipicu melalui kemenangan di bidang olahraga. Meski demikian, agar rasa bangga dapat berlaku lebih universal dan bisa berdampak lebih panjang, pemerintah idealnya punya langkah khusus dalam menjaga kebanggaan itu.

Politik dan Kekuasaan

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan zaman kemunculan generasi yang lebih baru, dan globalisasi memiliki peran dalam semakin minimalnya rasa bangga masyarakat kepada bangsanya. Meski begitu, menurut Andreas Wimmer dalam Power and Pride National Identity and Ethnopolitical Inequality around the World, ada peran negara dalam menciptakan kebanggaan nasional.

Wimmer menggambarkan beberapa hal yang dapat mempengaruhi identifikasi masyarakat kepada bangsanya. Dalam tulisannya, ia menyebutkan soal konfigurasi kekuatan seperti apa yang terbentuk di dalam pusat dari negara.

Secara alamiah, perkara diskriminasi etnis dapat memiliki pengaruh pada minimnya identifikasi masyarakat kepada negara. Kelompok etnis yang tak sepenuhnya terwakili dalam konfigurasi kekuatan di tingkat pusat cenderung akan merasa tak sepenuhnya terikat dengan negara.

Di luar itu, diskriminasi ini boleh jadi tak hanya berkutat untuk urusan etnis saja. Jika dibuat lebih general, kelompok-kelompok masyarakat yang tak terepresentasikan dengan baik dalam konfigurasi kekuatan bisa saja memiliki kebanggaan nasional yang rendah. Kebijakan yang merupakan hasil dari konfigurasi kekuatan tersebut juga bisa saja memberikan pengaruh.

Selain itu, perkara soal stabilitas terhadap kondisi yang ada juga dapat mempengaruhi kebanggaan terhadap bangsa. Dalam konteks itu, prospek terhadap stabilitas kekuatan dapat mendorong pandangan positif pada kebanggaan, sementara ketidakpastian justru menurunkannya.

Andil Pemerintah

Merujuk pada kondisi tersebut, negara sebenarnya tetap memiliki andil dalam membentuk rasa bangga dari warga negaranya. Berdasarkan pendapat Wimmer, kebanggaan nasional adalah perkara power and politics atau kekuasaan dan politik, sehingga minimnya rasa bangga masyarakat sebenarnya bisa juga dialamatkan pada langkah pemerintah.

Selama beberapa periode ke belakang, boleh jadi ada masyarakat yang tak lagi merasa bahwa identitasnya tak terwakili di pusat dari negara. Secara sederhana, representasi etnis boleh jadi gambaran paling mudah dari hal tersebut. Meski demikian, konfigurasi itu bisa saja juga perlu memenuhi unsur lain.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Dalam konteks kebijakan misalnya, konfigurasi kekuasaan yang ada bisa saja tak memberikan keuntungan kepada golongan masyarakat tertentu. Sebagai contoh sederhana, masyarakat miskin boleh jadi akan merasa terlepas dari negaranya karena kebijakan para elite di tingkat pusat tak cukup mewakili kepentingan mereka. Perasaan terwakili ini sendiri penting karena menurut Wimmer dapat menimbulkan kepemilikan simbolis dari masyarakat kepada negara.

Hal serupa berlaku untuk urusan stabilitas dan kepastian. Masyarakat boleh jadi tak bangga karena merasa statusnya di saat ini tergolong tidak stabil. Sebagai ilustrasi, kebijakan sosial-ekonomi pemerintah bisa saja belum memberikan kepastian itu bagi masyarakat.

Selama ini, pembangunan kebanggan nasional ini lebih banyak bertumpu hal-hal yang bersifat propaganda dan retorika populis. Menurut Wimmer, hal ini tidaklah cukup untuk menciptakan kebanggaan nasional di dalam masyarakat.

Meski abstrak, kebanggaan nasional tetap penting dan pemerintah punya andil untuk mendorongnya. Share on X

Negara, dalam hal ini idealnya mampu memberikan imbal balik yang menguntungkan kepada masyarakat. Partisipasi dan integrasi masyarakat ke dalam kebijakan menjadi hal yang penting untuk menimbulkan rasa keterikatan kepada bangsa, sehingga kebanggaan itu dapat muncul. Selain itu, berbagai kebijakan yang dapat mengikiskan beragam ketidakpastian juga penting agar masyarakat tetap memiliki kebanggaan nasional.

Bagi beberapa orang, kebanggaan kepada negara boleh jadi tidak lagi relevan bahkan dianggap omong kosong. Meski demikian, menurut Wimmer, rasa bangga itu karena berjalan beriringan dengan pemerintahan yang efektif, dukungan kepada negara kesejahteraan, dan juga kepatuhan membayar pajak.

Oleh karena itu, perkara kebanggaan nasional tetap merupakan hal yang penting. Pemerintah idealnya tetap berperan aktif dengan mendekatkan kembali relasi antara negara dan masyarakat serta menyingkirkan berbagai ketidakpastian yang mendera hidup mereka.

Dengan memenuhi hal-hal tersebut, boleh jadi perayaan hari kemerdekaan Indonesia tetap akan meriah. Peringatan itu boleh jadi akan mirip dengan peringatan kemerdekaan AS yang dirayakan hingga ke tingkat paling kecil, yaitu di rumah-rumah.

Tak perlu sepenuhnya menyalahkan zaman dan globalisasi jika perayaan kemerdekaan Indonesia tak segemerlap di negeri Paman Sam. Negara idealnya punya andil menciptakan kebanggaan masyarakat, tak hanya demi perayaan yang semarak tetapi juga untuk keperluan negara dalam urusan pemerintahan, kesejahteraan, dan pajak. (H33)

 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...