Site icon PinterPolitik.com

Properti Indonesia Dijajah Tiongkok?

Beberapa waktu lalu, ada isu kalau pulau reklamasi dan proyek Meikarta, merupakan hunian yang dibangun untuk warga negara Tiongkok. Walau sudah disanggah Kapolri Tito Karnavian, namun benarkah properti Indonesia dijajah Tiongkok?


PinterPolitik.com

“Tanpa investasi tidak akan ada pertumbuhan ekonomi, dan tanpa pertumbuhan ekonomi tidak akan ada juga lapangan pekerjaan.” ~ Muhtar Kent, Pebisnis AS

[dropcap]P[/dropcap]ada Reuni Alumni 212 lalu, Mantan Ketua MPR Amien Rais kembali mengungkit isu pemerintahan yang dituding pro Tiongkok. Sebelumnya, Amien Rais juga pernah berkoar-koar terkait isu Pulau Reklamasi dan Meikarta yang peruntukkannya dituding untuk warga negara Tiongkok yang akan masuk ke Indonesia.

Isu masuknya warga Tiongkok secara masif juga sempat viral di media-media sosial. Tentu saja, isu ini membuat masyarakat yang kurang kritis, ikut ketakutan dan menyalahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai pro Tiongkok. Melihat adanya gelagat meresahkan ini, Kepala Kepolisian Tito Karnavian pun segera bertindak.

Tito menerangkan kalau isu yang berkembang dan disebarluaskan tersebut tidak akurat, karena fakta yang sebenarnya adalah, Indonesia saat ini memiliki kerjasama di beberapa bidang dengan pemodal asal Tiongkok. Salah satunya pembangunan infrastruktur yang termasuk bidang properti di dalamnya.

Pada kesempatan ini pun, Tito mengharapkan agar warga Indonesia – khususnya umat Islam, untuk tidak mudah terpancing dengan isu-isu yang tidak benar. Ia juga mengajak seluruh warga untuk mengawal kerjasama bilateral yang sebenarnya menguntungkan kedua negara ini, dengan tidak menanggapinya dengan kecurigaan yang berlebihan.

Di luar unsur politis yang berada di belakang isu yang sengaja dihembuskan tersebut, sebenarnya seberapa besar peranan investor Tiongkok dalam proyek-proyek properti di Indonesia? Apakah benar isu bahwa properti Indonesia dijajah Tiongkok, terutama di pulau reklamasi dan Meikarta?

Kebijakan Properti Tiongkok

“Sebelum meninggalkan Tiongkok, saya diajarkan kalau Tiongkok adalah negara paling kaya dan sejahtera di dunia. Tapi ketika saya tiba di Australia, saya berpikir ‘Ya Tuhan, semuanya berbeda dari apa yang pernah dikatakan.’ Sejak itu, saya mulai berpikir berbeda.” ~ Jack Ma

Apa yang dirasakan pendiri Alibaba, Jack Ma, saat tiba pertama kalinya di Australia tentu juga dirasakan oleh warga Tiongkok lainnya. Bahkan menurut survei Hurun Report, hampir setengah warga Tiongkok yang memiliki kekayaan di atas 1,5 juta dollar AS mempertimbangkan untuk pindah ke luar negeri.

Namun Amien Rais sebenarnya tidak perlu ketakutan berlebihan, karena Indonesia bukanlah tempat favorit bagi warga Tiongkok untuk beremigrasi. Amerika, Eropa, Kanada, Australia, dan Hong Kong adalah lima negara yang menjadi pilihan warga Tiongkok untuk tinggal dan berganti warga negara.

Indonesia sendiri, menurut jajak pendapat warga Tiongkok, tidak banyak dikenal oleh anak muda di sana. Sebagian lagi bahkan menganggap tidak aman untuk dikunjungi. Jajak pendapat yang dilakukan mahasiswa Huang Mengjiao ini, memperlihatkan warga Tiongkok kerap mengaitkan Indonesia dengan peristiwa genosida etnis yang terjadi pada tahun 1965 dan 1998.

Kedatangan para investor Tiongkok ke dalam negeri pun, bukan yang terbesar. Lima negara terbesar yang mendapatkan investasi Tiongkok adalah AS, Uni Eropa, Australia, dan Arab Saudi. Di Indonesia sendiri, jumlah investasi Tiongkok berada di posisi ketiga serta jauh lebih sedikit dibandingkan Singapura dan Jepang.

Tingginya investasi luar negeri Tiongkok beberapa tahun belakangan ini, tak lepas dari penurunan ekonomi dalam negerinya. Harga properti di Tiongkok pun ikut jatuh drastis, sehingga para pengembang (developer) di Tiongkok memilih untuk ekspansi ke luar negeri karena dianggap lebih menguntungkan.

Namun ekspansi besar-besaran ini, pada akhirnya melemahkan perekonomian Tiongkok sendiri. Sehingga pemerintahnya pun mengeluarkan aturan yang membatasi investasi di luar negeri. Beleid ini melarang perusahaan atau investor individu Tiongkok untuk membeli atau menanamkan modal di berbagai sektor, salah satunya properti.

Akibat takut masuk dalam daftar hitam pemerintahnya, banyak investor Tiongkok yang menarik kembali investasinya di berbagai negara. Salah satu yang berpengaruh akibat aturan ini, adalah proyek Proyek Forest City, Malaysia, dan beberapa proyek properti di Australia yang terbengkalai akibat penarikan modal yang tiba-tiba ini.

Kebijakan Investasi Properti Indonesia

“Kini Indonesia lebih terbuka untuk investasi luar negeri.”

Pernyataan itu dilontarkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, karena menurutnya selama ini regulasi yang dibuat pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah menghambat masuknya investor di Indonesia. Karena itulah, pada 2016 lalu pemerintah mereformasi regulasi secara besar-besaran, salah satunya di sektor properti.

Salah satu faktor non teknis yang dinilai menjadi penghambat utama, adalah regulasi mengenai kepemilikan tanah. Jenis-jenis kepemilikan tanah saja macam-macam, belum lagi perizinan, dan perpajakan. Oleh karena itu, Jokowi pun memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan satu atap yang mampu mempersingkat proses tersebut.

Peraturan yang “lebih bersahabat” inilah yang dipergunakan oleh para investor luar negeri, termasuk Tiongkok. Apalagi banyak investor menilai Indonesia merupakan negara yang memiliki prospek besar. Dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang terbesar keempat dunia, properti merupakan bidang bisnis yang paling menarik bagi investor.

Terbukanya modal asing di Indonesia, juga disambut baik oleh para pengembang Indonesia. Apalagi, investor luar – termasuk Tiongkok, lebih tertarik untuk mengembangkan apartemen mewah. Sehingga tidak mengganggu pasar para pengembang lokal yang lebih banyak menyasar kelompok menengah atas.

Perubahan kebijakan mengenai pemilikan properti bagi warga asing, juga ikut menggeliatkan sektor properti. Warga asing yang sebelumnya tidak diizinkan membeli properti di tanah air, kini dapat membeli dengan beberapa syarat. Salah satunya, warga Asing hanya boleh membeli apartemen mewah di atas Rp 5 miliar.

Para investor asing pun diperbolehkan untuk melakukan investasi murni (100 persen modal asing), bila nilai investasinya mencapai di atas Rp 100 miliar. Sehingga tak heran bila banyak investor Tiongkok yang seolah “menyerbu” Indonesia, karena nilai investasinya dianggap jauh lebih murah dibanding investasi di negara mereka sendiri.

Namun setelah Pemerintah Tiongkok mengeluarkan larangan penanaman modal – termasuk properti di luar negeri. Otomatis, investor Tiongkok yang masuk ke Indonesia pun ikut terkena dampaknya. Disinyalir beberapa proyek properti di Jakarta Utara dan Jawa Barat pun ikut terkena dampaknya.

Walau begitu, Indonesia masih beruntung karena jumlah investor Tiongkok di Indonesia tidak sebanyak di negara-negara lain. Kabarnya, sejumlah proyek di sejumlah wilayah yang sempat dimodali Tiongkok pun masih tetap berjalan – meski mengalami perlambatan, setelah mendapatkan investor pengganti.

Melihat kondisi ini, kini ketakutan akan diserbunya Indonesia oleh warga Tiongkok menjadi tidak beralasan. Walaupun kini Indonesia memiliki peraturan yang lebih terbuka terhadap investor asing, namun tetap ada proteksinya. Di sisi lain, Pemerintah Tiongkok tentu juga tidak akan rela bila kekayaan warganya berpindah ke negara lain, apalagi perekonomian dalam negerinya sendiri masih mengalami pelemahan. (R24)

Exit mobile version