HomeNalar PolitikPropaganda Tempe Ala Sandiaga

Propaganda Tempe Ala Sandiaga

“Tempe katanya sekarang sudah dikecilkan dan tipisnya udah hampir sama dengan kartu ATM.” – Sandiaga Uno


PinterPolitik.com

[dropcap]A[/dropcap]da tempe setipis ATM. Begitu kata cawapres yang berpasangan dengan Prabowo Subianto, Sandiaga Uno. Cawapres bernomor urut 02 tersebut menggambarkan kondisi harga pangan yang tidak menentu melalui metafora semacam itu.

Tidak cukup di situ, Sandiaga mengungkap fakta lain terkait tempe di pasaran. Dalam aksi keluar masuk pasarnya ia menemukan ada tempe dalam kemasan sachet. Melalui tempe sachet itu, ia mencoba menggambarkan bahwa harga tempe yang semakin menanjak membuat pedagang harus mencari akal agar masyarakat tetap mampu menjangkaunya.

Propaganda tempe ala Sandi ini menimbulkan cibiran dari banyak pihak terutama dari kubu petahana. Banyak yang menuding bahwa Sandi tidak paham kondisi pasar. Beberapa yang lain menganggap Sandiaga terlalu berlebihan melalui pernyataan-pernyataan tersebut.

Lalu benarkah propaganda tempe ala Sandiaga ini hanya pernyataan yang melebih-lebihkan kondisi belaka? Ataukah justru pernyataan-pernyataan tersebut berpotensi memberi keuntungan bagi Sandi dalam ikhtiarnya menuju kursi RI-2?

Memainkan Emosi

Sekilas, propaganda tempe ala Sandiaga terlihat seperti sebuah lelucon. Meski begitu, dalam konteks tertentu,beragam metafora yang ia keluarkan terkait makanan olahan kedelai ini bisa dilihat dari sisi lain. Hal ini terutama karena begitu dekatnya perkara pangan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Kedekatan isu pangan ini termasuk ke dalam isu yang bisa memainkan emosi masyarakat. Terlihat bahwa ada sedikit nuansa ketakutan yang ingin diberikan Sandiaga melalui fenomena tempe yang biasanya menjadi solusi pangan murah dan kini justru hadir dalam bentuk yang minimalis.

Secara umum, permainan emosi ini lazim terjadi di dalam politik di Indonesia maupun global. Barry Glassner dalam bukunya Culture of Fear menggambarkan adanya politics of fear yang merujuk pada konsep di mana seseorang dapat digunakan untuk memantik rasa takut pada publik mencapai tujuan politik tertentu melalui bias emosional.

Memang, permainan rasa takut yang digunakan Sandiaga dalam propaganda tempe ini tidak seekstrem fearmongering atau penggunaan narasi ketakutan yang terjadi di negara lain. Politics of fear kerap digambarkan sebagai strategi politik kaum kanan jauh untuk menakut-nakuti pemilihnya. Rasa takut misalnya dimunculkan dalam bentuk kebijakan imigrasi yang terlalu longgar atau terorisme. Strategi semacam ini sering kali digunakan untuk menggambarkan kebijakan Presiden AS Donald Trump.

Politics of fear yang digunakan dalam konteks Sandiaga lebih terbatas kepada bahwa jika masyarakat tetap memilih kandidat petahana, maka akan ada ketakutan tempe akan terus menyusut ukurannya. Padahal, tempe merupakan bahan pangan yang sering kali tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Secara emosional, tempe boleh jadi salah satu bahan makanan yang amat dekat dengan masyarakat, terutama masyarakat kecil. Memainkan ketakutan tentang tempe boleh jadi lebih mudah menyentuh masyarakat ketimbang bahan-bahan pangan yang lain.

Di titik ini, strategi menyentuh emosi masyarakat melalui propaganda tempe ini sejalan dengan strategi pasangannya, Prabowo. Sang jenderal tersebut sering kali memainkan emosi masyarakat melalui ketakutan seperti Indonesia bubar 2030 atau Indonesia miskin selamanya.

Melakukan Negasi

Selain memainkan emosi melalui rasa takut akan harga pangan yang terus melambung, ada nuansa lain yang ditonjolkan melalui pernyataan-pernyataan Sandiaga tentang tempe. Ada retorika khusus yang bermain di balik pernyataan-pernyataan tersebut.

Sandiaga dalam konteks ini seperti tengah memainkan retorika berupa negasi. Ia mencoba menggambarkan bahwa dirinya bisa mengembalikan Indonesia ke kondisi seharusnya, sesuatu yang pemerintah saat ini tidak bisa melakukannya. Dalam konteks ini, ia bisa mengembalikan stabilitas pangan seperti seharusnya, tidak seperti pemerintah saat ini.

Retorika semacam ini pernah dilakukan Barack Obama pada saat kampanye Pilpres AS 2008. Memang, dalam konteks negasi ini, Obama sedikit banyak mengambil teori eksepsionalisme bangsa Amerika sebagai bangsa yang hebat. Hal ini diungkapkan oleh Robert L. Ivie dan Oscar Giner. Akan tetapi, ada kemiripan nuansa antara kampanye Obama dengan pernyataan Sandiaga.

Obama menggunakan negasi bahwa bangsa Amerika adalah sebuah bangsa yang besar, tetapi ada satu hal yang tidak dimiliki negerinya. Dalam pidatonya, ia menyoroti layanan kesehatan mumpuni sebagai sesuatu yang absen dari masyarakat.

Eksepsionalisme Amerika ini memiliki sedikit kemiripan dengan konsep yang kerap dibawa oleh pasangannya, Prabowo. Prabowo memiliki cita-cita untuk membawa Indonesia ke dalam bentuk greater Indonesia. Meski tidak sama persis, konsep greater Indonesia ini dalam kadar tertentu bisa memiliki kemiripan dengan eksepsionalisme Amerika.

Melalui retorika tempe, Sandiaga seperti ingin menyebutkan bahwa Indonesia sebenarnya adalah bangsa yang besar, tetapi pemimpinnya saat ini tidak mampu mengendalikan harga pangan, katakanlah untuk makanan sesederhana tempe. Harga pangan yang murah dalam konteks ini adalah kualitas yang tidak ada di negeri ini. Untuk itu, bisa saja ia ingin menghadirkan harga pangan murah ini sebagai negasi dari pemimpin yang berkuasa saat ini.

Jangan Remehkan Tempe

Secara umum, idealnya para politisi tidak meremehkan urusan stabilitas harga pangan menjelang Pemilu. Urusan perut merupakan perkara yang amat sensitif bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kandidat yang tidak menaruh perhatian khusus pada pengendalian harga pangan bisa saja menemui petaka dalam ikhtiarnya menuju Istana.

Pentingnya harga pangan ini dikemukakan misalnya oleh analis risiko politik Kevin O’Rourke. O’Rourke menyebutkan bahwa selama bertahun-tahun kekhawatiran terbesar bagi pemilih Indonesia adalah inflasi, terutama harga makanan.

propaganda tempe

Hal senada diungkapkan oleh Visiting Fellow Lowy Institute, Matthew Busch. Menurut Busch, jika harga pangan semakin mahal, maka presiden akan disalahkan. Harga makanan yang semakin menanjak di mata Busch akan menjadi masalah yang nyata.

Secara khusus, jangan remehkan tempe sebagai salah satu panganan utama masyarakat tanah air. Dalam artikelnya, Jonathan Agranoff menyebutkan bahwa pejabat-pejabat publik di era Orde Baru menyadari bahwa masyarakat di pedesaan dapat merasa cukup puas selama bisa mengisi perut mereka dengan sedikit nasi dan sepotong tempe setiap harinya. Soeharto menyadari bahwa pemenuhan pangan adalah hal yang penting untuk menjaga masyarakat tetap puas dan damai.

Repotnya mengurus tempe ini tergambar misalnya pada aksi mogok produksi para perajin tempe di tahun 2013. Kala itu, para perajin tersebut mengeluhkan harga kedelai impor yang begitu mencekik mereka. Para konsumen yang menggemari bahan pangan murah ini lantas kebingungan dan melakukan protes pada langkanya tempe di pasaran. Pemerintah sendiri sempat dibuat repot, di mana menteri-menteri melakukan berbagai usaha untuk membujuk para perajin agar mau kembali berproduksi.

Ternyata tempe bisa juga jadi bahan politik Share on X

Kini, kondisi yang hampir mirip berlaku jelang tahun politik 2019. Harga kedelai sempat mengalami kenaikan hingga Rp 8 ribu per kilogram di beberapa daerah. Sejauh ini, kenaikan harga tersebut belum memicu adanya mogok produksi seperti di tahun 2013. Akan tetapi, jika merujuk kepada Sandiaga, kenaikan harga kedelai ini telah membuat ukuran tempe mengalami penyusutan.

Bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi saat ini akan mengalami kerepotan akibat tempe serupa di tahun 2013. Di titik ini, beban kerepotan bisa saja tidak hanya menjadi milik menteri, tetapi juga bagi presiden yang tengah berupaya merengkuh kursi untuk periode kedua.

Berdasarkan kondisi tersebut, propaganda tempe ala Sandi bisa saja tidak bisa dianggap remeh dalam jangka panjang. Perkara perut kerap menjadi penentu dalam politik Indonesia. Salah merespons isu harga pangan sesederhana tempe bisa berbuah petaka bagi kandidat presiden yang meremehkannya. (H33)

Baca juga :  Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”
spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...