Projo telah mendeklarasikan dukungan kepada bakal calon presiden (bacapres) Koalisi Indonesia Maju (KIM), Prabowo Subianto. Namun, masih ada sejumlah unsur Projo yang justru mengarahkan dukungannya ke Ganjar Pranowo.
“Whose side are you on?”
Konflik di antara dua pihak yang berbeda merupakan hal yang wajar terjadi. Dalam berbagai konflik, penyebab utamanya adalah perebutan sumber dan perbedaan kepentingan.
Setidaknya, begitulah teori konflik yang dicetuskan oleh C. Wright Mills, seorang ahli sosiologi ternama asal Amerika Serikat (AS). Apa yang dijelaskan Mills sebenarnya bisa diaplikasikan dalam cerita yang disajikan dalam film Captain America: Civil Wars (2016).
Dalam film itu, diceritakan bahwa terjadi perbedaan pendapat antara Tony Stark alias Iron Man dan Steve Rogers alias Captain America. Alhasil, perpecahan terjadi di dalam tubuh organisasi Avengers dan akhirnya pertempuran terjadi.
Hal yang samapun biasa terjadi dalam politik, termasuk dalam dinamika politik elektoral menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Mungkin, bila tidak percaya, bisa saja ditanyakan kepada Pro Joko Widodo (Projo).
Bagaimana tidak? Usai Projo mendeklarasikan dukungan untuk bakal calon presiden (bacapres) dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), Prabowo Subianto, pada Sabtu, 14 Oktober 2023 kemarin, sejumlah pengurus justru tetap mendukung bacapres PDIP, Ganjar Pranowo.
Alhasil, muncul juga kelompok Projo Ganjar yang dipimpin oleh Haposan Situmorang. “Ini hanya rekaan atau manipulatif yang dilakukan pihak Budi Arie untuk membodoh-bodohi rakyat. Ini yang harus kita waspadai,” ujar Haposan.
Budi Arie sendiri mengatakan bahwa dukungan Projo kepada Prabowo didasarkan pada arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Namanya juga relawan Jokowi. Masa komandonya dari orang lain” ujar Ketua Umum (Ketum) Projo Budi Arie Setiadi yang kini juga menjabat sebagai menteri komunikasi dan informatika (Menkominfo).
Bila keputusan deklarasi mendapatkan komando dari Jokowi, mengapa masih ada sejumlah elemen Projo yang menyangkal? Mungkinkah ada kemungkinan lain di balik deklarasi tersebut?
Projo Kok Bisa Bikin Pusing?
Projo sebenarnnya bukan jenis organisasi yang sama seperti PDIP – melainkan hanya sebuah organisasi relawan politik. Namun, kehadiran Projo dalam dinamika elektoral menjelang Pilpres 2024 bisa dibilang turut membuat partai berlambang kepala banteng itu pusing.
Berpengaruhnya kelompok relawan dalam dinamika politik ini juga dijelaskan dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul Relawan Militan, Senjata Jokowi?. Relawan dinilai memiliki militansi untuk membantu pemenangan kandidat dalam suatu pemilihan.
Beberapa contohnya pun bisa dilihat di politik Prancis – khususnya pada Pilpres Prancis 2017. Kala itu, Presiden Emmanuel Macron mampu memenangkan Pilpres dengan bantuan kelompok relawannya, En Marche.
Di Indonesia, peran kelompok relawan dalam perpolitikan juga terlihat pada Pilpres 2014 dan 2019. Presiden Jokowi memiliki kekuatan relawan yang loyal sebagai penggerak akar rumput.
Militansi kelompok relawan ini setidaknya bisa menjadi modal politik bagi Jokowi. Mengacu ke penjelasan Kimberly L. Casey dalam tulisannya Defining Political Capital, relasi sosial semacam ini merupakan modal sosial yang dapat ditransformasikan menjadi modal politik.
Alhasil, modal politik yang besar ini menjadi modal yang menarik untuk dimanfaatkan dalam Pilpres 2024. Wajar saja apabila sosok Jokowi menjadi hal yang diperebutkan bagi dua bacapres yang dekat dengan pemerintahan, yakni Prabowo dan Ganjar.
Namun, Jokowi dan Ganjar adalah dua kader PDIP. Munculnya deklarasi dukungan Projo untuk Prabowo tentu menjadi isu bagi PDIP. Bisa saja, dengan beralihnya Projo ke Prabowo, PDIP akan kehilangan pemilih setia Jokowi yang disasar untuk memberikan suara pada Ganjar.
Ada apa sebenarnya di balik deklarasi ini? Mengapa ini bisa saja menjadi permulaan untuk dimulainya perang antara Jokowi dan PDIP?
Deklarasi Perang Jokowi vs Megawati?
Ada pernyataan menarik dari pengamat politik, Rocky Gerung. Rocky menilai bahwa deklarasi dukungan Projo untuk Prabowo adalah deklarasi perang dari Jokowi untuk Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Namun, pertanyaannya kemudian adalah mengapa genderang perang ditabuh oleh Jokowi kepada Megawati. Bukankah keduanya merupakan bagian dari PDIP?
Sebenarnya, banyak pihak menilai bahwa Jokowi dan Megawati tidaklah sejalan dalam banyak hal – khususnya soal tindakan-tindakan politik yang diambil oleh satu sama lain. Sejak terpilih sebagai presiden, Jokowi dinilai menempatkan Luhut Binsar Pandjaitan di kabinet untuk berperan sebagai ‘penjaga gerbang’ terhadap pengaruh-pengaruh lain, termasuk pengaruh dari Megawati dan PDIP.
Perbedaan pilihan antara Jokowi dan Megawati juga terjadi menjelang Pilpres 2024 – khususnya terkait pilihan bacapres yang diusung oleh PDIP. Beberapa pihak menilai bahwa Jokowi berusaha mengikuti pilihan bacapres Megawati kepada Ganjar – dengan menyodorkan sejumlah nama bakal calon wakil presiden (bacawapres) yang terdiri atas Sandiaga Uno dan Erick Thohir.
Namun, usulan nama-nama dari Jokowi tidak diamini oleh Megawati. Alasannya adalah karena nama-nama tersebut dianggap belum tentu mewarisi ideologi PDIP sebagai partai.
Rumornya, manuver ini berlanjut dengan arahan dukungan Jokowi kepada Prabowo. Satu per satu, sejumlah partai politik di pemerintahan Jokowi pun memberikan dukungan untuk Prabowo – mulai dari PAN hingga Partai Golkar.
Kali ini, Projo bisa saja menjadi genderang perang selanjutnya – mengingat Projo adalah kelompok relawan yang membawa nama Jokowi di identitas organisasinya. Selain itu, Ketum Projo, Budi Arie, juga telah menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi dengan menjabat sebagai Menkominfo.
Perebutan dua “raja” dan “ratu” di PDIP inipun juga pernah dijelaskan dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul Jokowi vs Megawati: Keruntuhan PDIP?. Bukan tidak mungkin, ‘perang’ ini pula yang akhirnya menentukan nasib PDIP di masa mendatang.
Namun, penjelasan di atas merupakan interpretasi atas fenomena politik yang terjadi kini. Manuver sebenarnya hanya diketahui oleh Jokowi, PDIP, dan Projo sendiri.
Mungkin, dinamika ke depan yang terjadi ke depannya akan menjadi seperti kisah dalam film Captain America: Civil War. Seperti tagline poster film tersebut yang dikutip di awal tulisan, pihak mana yang akan dipilih oleh para individu yang berkepentingan? Menarik untuk diamati kelanjutannya. (A43)