Site icon PinterPolitik.com

Projo Bunuh Diri Tantang PDIP?

projo bunuh diri tantang pdip

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (kiri) menghadiri Pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V Projo di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng), pada 21 Mei 2022 lalu. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Sebanyak 14 organisasi relawan Joko Widodo (Jokowi) – seperti Projo, Seknas Jokowi, dan BaraJP – berencana menghelat Musyawarah Rakyat (Musra) yang dimulai dari Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah (Jateng) pada Agustus 2022 mendatang. Apakah ini bentuk tantangan Projo dkk terhadap dominasi PDIP? Jika benar, mengapa tantangan itu berani dilakukan?


PinterPolitik.com

“Avengers, assemble!” – Steve Rogers, Avengers: Endgame (2019)

Ada satu kebiasaan manusia yang kerap muncul ketika ancaman yang lebih besar hadir, yakni kecenderungan untuk bekerja sama. Logika ini sebenarnya cukup sederhana. Kemungkinan untuk berhasil menjadi lebih besar ketika banyak orang menyatukan kekuatan dibandingkan hanya bergerak sendiri.

Ini bisa diamati dari banyak hal. Tema yang sering muncul dalam film dan seri, misalnya, kerap mengandung pesan-pesan kerja sama dan kolaborasi.

Pesan-pesan seperti ini bisa terlihat dalam salah satu franchise film paling populer akhir-akhir ini, yakni Avengers. Film bertemakan pahlawan super tersebut menceritakan bagaimana penyatuan kekuatan bisa meningkatkan peluang keberhasilan dalam mengalahkan lawan-lawan yang tidak kalah kuat.

Seorang villain yang bernama Thanos, misalnya, memiliki kekuatan yang sangat besar sekaligus mampu mengancam seluruh jagat alam semesta. Tujuan yang dibawa pun dinilai bisa membawa malapetaka bagi separuh populasi alam semesta.

Para pahlawan super seperti Iron Man, Captain America, Thor, Black Panther, Captain Marvel, Black Widow, Wanda, dan sebagainya akhirnya tidak memiliki banyak pilihan. Mau tidak mau, mereka pun harus menyatukan kekuatan guna mengalahkan Thanos.

Kebiasaan umat manusia yang seperti ini juga terlihat di dunia nyata, termasuk dalam dinamika politik di Indonesia. Baru-baru ini, misalnya, Projo dinilai bermanuver secara politik untuk mengusung calon presiden (capres) yang mereka mau. Sontak saja, partai politik (parpol) besar seperti PDIP berusaha menghalau keinginan Projo.

Mungkin, inilah mengapa akhirnya Projo berinisiatif untuk menggandeng organisasi-organisasi relawan Joko Widodo (Jokowi) lainnya – seperti Seknas Jokowi, BaraJP, Kornas Jokowi, dan sebagainya – untuk mengadakan rangkaian kegiatan yang mereka sebut sebagai Musyawarah Rakyat (Musra). “Presiden-Wakil Presiden 2024 bukan hanya urusan segelintir elite,” pungkas Ketua Dewan Pengarah Musra Indonesia Andi Gani.

Seakan tidak terima dengan pengaruh besar PDIP dalam menentukan bakal capres yang diusung, Musra berencana untuk berkeliling Indonesia dan mengadakan kegiatan besar yang dihadiri oleh banyak rakyat. Presiden Jokowi sendiri dikabarkan akan hadir di pembukaan rangkaian kegiatan tersebut di Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah (Jateng), pada Agustus 2022 mendatang.

Manuver Projo dkk ini tentu cukup menarik untuk diamati. Dengan kegiatan yang diklaim akan dihadiri oleh 40.000 massa, kekuatan politik mereka bisa jadi makin krusial untuk diperhitungkan.

Lantas, mengapa Projo dkk akhirnya bermanuver melalui Musra? Bagaimana manuver ini bisa membawa keuntungan strategis bagi relawan-relawan Jokowi? Kemudian, apakah mereka benar-benar mampu untuk “menggulingkan” pengaruh besar PDIP?

Bersatu, Projo dkk Teguh?

Tidak dipungkiri lagi bahwa ketegangan dalam penentuan capres yang diusung terjadi antara kelompok-kelompok relawan dan parpol, khususnya antara Projo dan PDIP. Bagaimana tidak? Projo ditengarai ingin mengusung Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo – seorang kader PDIP – meskipun kader tersebut belum tentu akan diusung oleh partai banteng.

Tentu saja, Projo sekilas bukanlah lawan yang sepadan bila menghadapi parpol penguasa tersebut. Projo juga bukan merupakan parpol yang secara peraturan justru menjadi pihak utama yang berhak mengusung pasangan capres-cawapres.

Apalagi, PDIP semakin percaya diri dengan perolehan suaranya setelah Presiden Jokowi berhasil memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 untuk periode pemerintahannya yang kedua.

Namun, permainan bisa dibilang belum usai. Masih ada sejumlah selisih waktu dari sekarang hingga penentuan akhir pada tahun 2024 mendatang.

Oleh karena itu, bukan tidak mungkin Projo dan kelompok-kelompok relawan Jokowi akan menggunakan taktik-taktik tertentu untuk menambah peruntungannya agar bisa turut menentukan siapa-siapa yang maju dalam Pilpres 2024.

Taktik yang mungkin akan diambil oleh Projo dkk melalui Musra adalah taktik unjuk kekuatan (show of force). Taktik seperti ini biasa digunakan dalam operasi-operasi militer antar-negara.

Biasanya, taktik ini dijalankan dengan menunjukkan kapasitas sebuah negara guna mewanti-wanti atau mengintimidasi pihak lain. Operasi militer ini umumnya dilakukan dengan menunjukkan alat utama sistem pertahanan (alutsista) dan teknologi pertahanan yang dimiliki oleh negara tersebut.

Contoh yang paling terlihat di masa kontemporer ini adalah ketika Korea Utara (Korut) melakukan berbagai uji coba rudal nuklir balistik. Tujuan utamanya adalah membuat lawan-lawannya – seperti Korea Selatan (Korsel), Jepang, dan Amerika Serikat (AS) – untuk berpikir dua kali bila ingin mencampuri urusan negara tersebut.

Tujuan membuat lawan berpikir dua kali inilah yang disebut sebagai deterrence. Dengan jumlah massa besar yang ditunjukkan oleh Projo dkk melalui Musra, bukan tidak mungkin ini menjadi strategi deterrence agar PDIP berpikir dua kali bila ingin mengusung Puan Maharani – atau kader lain selain Ganjar – dalam Pilpres 2024.

Selain itu, bukan tidak mungkin political rallies seperti Musra akan menciptakan perilaku bandwagon (mengikuti mayoritas) di masyarakat. Dengan pertunjukan massa, Projo dkk bisa memperkuat momentum politik mereka untuk menjaring massa di Pilpres 2024.

Namun, pertanyaan lanjutan pun kemudian mencuat. Apakah strategi show of force ini akan efektif bila menjadikan PDIP sebagai target utama? Mungkinkah ini hanya akan berakhir menjadi sebuah futilism?

Bunuh Diri Projo dkk?

Pernahkah kalian merasa kecewa ketika tujuan kalian tidak berhasil diraih meskipun sudah memberikan upaya semaksimal mungkin? Bisa dibilang, upaya tersebut menjadi futile (sia-sia) dan percuma bila ujungnya sama saja.

Kondisi dan upaya seperti ini mungkin bisa dibilang menjadi sebuah futilism (futilisme). Meg Holden dalam tulisannya yang berjudul The Rhetoric of Sustainability menjelaskan bahwa futilism berangkat dari sebuah ungkapan dalam Bahasa Prancis, “plus ça change, plus c’est la même chose” yang artinya adalah “semakin banyak perubahan, semakin banyak juga yang menjadi tetap sama saja.”

Holden mencontohkannya dengan gerakan lingkungan yang mendukung sustainability. Seiring berkembangnya zaman, semakin banyak juga orang yang memperjuangkan isu-isu ini, seperti isu perubahan iklim dan gagasan pembangunan berkelanjutan.

Namun, bagi Holden, peningkatan partisipasi yang ada dalam isu ini tidak berarti banyak dan tidak memberikan perubahan secara signifikan. Alasannya satu, yakni partisipasi mereka tidak mengubah kekuatan yang mendasarinya dan tidak mempengaruhi struktur pengambilan keputusan di pemerintahan.

Futilism serupa bisa jadi juga berlaku bagi Projo dkk yang ingin menghelat Musra di banyak kota di Indonesia. Jika ingin melakukan strategi deterrence kepada PDIP, tentu diperlukan sejumlah pertimbangan lebih lanjut.

Pasalnya, bagaimana pun juga, mengacu pada buku berjudul Deterrence Now karya Patrick M. Morgan, rasionalitas juga berpengaruh pada bagaimana strategi deterrence berjalan. Dalam hal ini, pertimbangan rasional juga diperlukan.

Bila ingin strategi deterrence Projo dkk berhasil, ada beberapa faktor yang perlu diperhitungkan dari PDIP itu sendiri. Pertama, Projo dkk sebagai organisasi non-parpol tidak memiliki pengaruh yang sama besarnya dengan parpol dalam menentukan capres-cawapres.

Pasal 1 Ayat (28) Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) menyatakan bahwa hanya parpol dan/atau gabungan parpol yang bisa mengusung pasangan capres-cawapres. Artinya, Projo dkk tidak memiliki daya tawar (leverage) yang besar dalam permainannya melawan PDIP.

Kedua, unjuk kekuatan massa yang besar juga belum tentu bisa menyisihkan PDIP dalam politik akar rumput (grass roots). Tentu, manuver Musra bisa saja melahirkan gerakan akar rumput yang kuat bagi Projo dkk.

Namun, upaya show of force ini belum tentu juga tanpa “perlawanan” dari kelompok akar rumput PDIP. Partai berlambang banteng tersebut merupakan partai yang dominan dalam politik akar rumput.

Edward Aspinall dalam bukunya yang berjudul Opposing Soeharto menjelaskan bagaimana Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri memanfaatkan gerakan akar rumput dalam upaya perlawanannya terhadap Presiden Soeharto pada era Orde Baru. Ini juga yang membuat PDIP akhirnya kini tetap kuat dengan pengalamannya bermain di akar rumput.

Selain itu, PDIP juga memiliki banyak organisasi yang bergerak di level ini. Dalam bukunya berjudul (Un) Civil Society and Political Change in Indonesia, Verena Beittinger-Lee menjelaskan bahwa terdapat sejumlah organisasi akar rumput – seperti Satgas PDIP – yang turut mengisi dinamika politik di Indonesia.

Dengan dua faktor itu, bukan tidak mungkin strategi deterrence malah berbalik arah ke Projo dkk sendiri. Justru, PDIP bisa memberikan deterrence balik kepada kelompok-kelompok relawan ini.

Lagipula, akan menjadi cukup sulit juga bagi Projo untuk bisa merebut basis akar rumput PDIP yang terlanjur kuat. Berbeda dengan AS dan Uni Soviet di level internasional yang saling menggunakan deterrence dengan nuklir, PDIP dan Projo dkk tidak berada pada tingkatan yang sama untuk saling mengimbangi kekuatan mereka.

Pada akhirnya, semua upaya show of force melalui Musra akan berujung menjadi futile. Bila begini, apakah manuver Musra ini menjadi pertanda akan futilism dari Projo dkk? Mungkinkah PDIP memang inevitable (tidak bisa dihindari) bagi Projo dkk layaknya Thanos? (A43)


Exit mobile version