Site icon PinterPolitik.com

Pro Kontra Sekolah 5 Hari

Pro Kontra Sekolah 5 Hari

Ilustrasi pelajar SD di Indonesia © booksforindonesia.com

Apa jadinya kalau sekolah seminggu hanya masuk 5 hari?
Selain jarang mendapat pujian, kebijakan ini juga diprotes banyak pihak.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]R[/dropcap]encana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberlakukan kebijakan lima hari sekolah (Senin s.d. Jumat) mulai tahun ajaran baru 2017 nanti mendapat tanggapan negatif dari berbagai kalangan. Kebijakan yang menuntut siswa mengikuti pelajaran di sekolah delapan jam sehari (07.00 – 15.00) itu dinilai tidak berpihak pada pendidikan informal, seperti madrasah dan pengajian.

Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid Sa’adi menyatakan, penerapan rencana itu akan membuat madrasah tutup dan para pengajarnya kehilangan tempat kerja. Pasalnya, kegiatan madrasah yang biasanya mengambil waktu setelah ashar (sekitar pukul 15.00-16.00) tidak bisa lagi dilakukan ketika siswa berada di sekolah ‘formal’ selama delapan jam

“Kebijakan yang membuat pelajar menempuh pendidikan selama delapan jam per hari ini berpotensi membuat madrasah dan pesantren gulung tikar,” ujar Zainut di Jakarta, Minggu (11/7).

Senada dengan Zainut, Ketua Fraksi PPP DPR-RI Reni Marlinawati menilai bahwa kebijakan ini selain akan membuat madrasah ‘mati’ juga akan merugikan sekolah yang kekurangan infrastruktur. Menurut Reni, masih banyak sekolah yang tidak memiliki ruang kegiatan belajar mengajar memadai sehingga harus membagi dua gelombang waktu belajar, yakni pagi dan sore.

“Masih banyak dalam satu sekolah dibuat dua gelombang jam sekolah, pagi dan sore karena keterbatasan lokal sekolah,” ujar Reni, Minggu (11/6).

Salah satu sekolah dasar penyelenggara pendidikan petang hari

Menurut Reni, kebijakan sekolah lima hari pada hakikatnya sama dengan program full day school dan sejak 2016 lalu telah menimbulkan polemik di masyarakat. Atas dasar tersebut, Fraksi PPP akan meminta Kemendikbud untuk melakukan klarifikasi secara komprehensif terhadap dampak penerapan kebijakan tersebut.

“Pemerintah berkomitmen melakukan kajian komprehensif, namun sampai saat ini kami belum mendapatkannya. Jangan sampai masalah ini menambah kebingungan masyarakat. Saat ini masyarakat khususnya wali murid tengah berkonsentrasi menyiapkan tahun ajaran baru, daftar ulang anak sekolah, dan persoalan lainnya. Rencana penambahan jam belajar tersebut jelas akan menambah persoalan yang saat ini dihadapi oleh masyarakat,” kata Reni.

Seorang dosen di Universitas Trunojoyo, Ahmad Mughni, juga menolak kebijakan fullday school tersebut. Lewat petisi bertajuk “Menteri Pendidikan: Batalkan kebijakan “Fullday School” berkedok sekolah 5 hari” yang diajukan lewat change.org, Ahmad mengemukakan ada delapan alasan mengapa kebijakan tersebut harus dibatalkan. Salah satunya, daya serap siswa.

“Anak usia SD setelah jam 13.00 daya serap belajarnya tidak maksimal, hanya 60 persen. Artinya, kalau kegiatan belajar mengajar sampai jam 16.00 maka keterserapan pelajaran pada anak besar kemungkinan tidak tercapai,” ungkap Ahmad seperti dilansir dari change.org.

Karena Jam Kerja Abdi Negara

Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhajir Efendi, beralasan bahwa penerapan kebijakan sekolah lima hari itu untuk menyesuaikan jam kerja guru dengan jam kerja acuan aparat sipil negara (ASN).

“Alasannya nanti sudah diperpanjang waktu belajarnya. Minimun 8 jam itu. Jadi kalau minimum 8 jam, kalau 5 hari masuk, jadi sudah 40 jam per minggu. Dan itu sudah sesuai standar kerja ASN untuk guru. Jadi kalau sudah itu sudah melampaui standar kerja ASN sehingga guru mengikuti standar itu,” kata Muhadjir, seperti dilansir dari detik.com.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengan Kemendikbud, Hamid Muhammad, menyatakan bahwa lima hari sekolah dapat dilaksakanakan dengan dua cara.

Pertama, siswa sepenuhnya belajar di suatu sekolah mulai pagi hingga sore dengan sarana yang disediakan sekolah tersebut.

Kedua, siswa belajar di suatu sekolah sampai siang, lalu di sekolah atau lembaga lainnya, seperti madrasah, museum, sanggar seni, atau tempat belajar lain pilihan siswa.

“Jadi, madrasah gulung tikar tidak akan terjadi. Justru akan memperkuat keberadaannya,” ujar Hamid.

Kebijakan mana yang akan diambil? Dan sebajik apa kebijakan tersebut? Apapun itu, ia harus dikembalikan lagi bahwa tujuan pendidikan sebagai pemertajam kecerdasan, pemerkukuh kemauan serta pemerhalus perasaan, dan pada akhirnya, mengutip Ki Hajar Dewantara, “Lawan sastra ngesti mulya (dengan ilmu kita menuju kemuliaan).”

(Berbagai Sumber/H31)

Exit mobile version