Pemerintah melalui Menkominfo menyebut kalau internet diawasi mesin crawling berbasis kecerdasan buatan. Terkait dengan hal itu, privacy triangle yang disebut Jovan Kurbalija mungkin saja bisa menelusuri hal lain di baliknya.
Internet boleh jadi semacam belantara luas yang tidak pernah kita tahu ujungnya. Meski seolah tak terbatas, nyatanya gerak-gerik kita di internet kerap dianggap ada yang mengawasi. Salah satu pihak yang dianggap mengawasi internet adalah negara.
Di Indonesia sendiri, beberapa waktu lalu sempat terlontar pernyataan soal pengawasan internet ini. Dalam hal ini, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate berkata bahwa internet diawasi oleh kecerdasan buatan selama 24 jam.
Pernyataan itu sendiri sebenarnya terkait dengan aksi terorisme yang terjadi beberapa waktu lalu. Menkominfo berniat menjaga internet bersih dari konten-konten negatif seperti terorisme dan radikalisme. Ia menyebutkan bahwa pemerintah melakukan pengawasan dengan mesin crawling berbasis kecerdasan buatan.
Baca Juga: Ada Tiongkok di Drama Myanmar?
Terlepas dari kaitannya dengan isu terorisme, pernyataan itu mungkin akan membuat beberapa orang berpikir tentang adanya pengawasan negara atau istilah kerennya state surveillance. Beberapa mungkin merasa privasi mereka terancam dengan isu pengawasan semacam ini.
Memang, isu surveillance ini tergolong krusial terutama untuk urusan privasi dan keamanan data. Lalu, seperti apa sebenarnya masalah tersebut dapat ditelusuri?
Internet Yang Diawasi
Internet seolah menjadi ruang yang membuat orang benar-benar bebas berekspresi dan mencari apa saja. Banyak orang merasa aman untuk bertualang di rimba virtual ini, sehingga tak sadar kalau sebenarnya bisa saja ada yang memantau gerak-gerik mereka.
Terkait dengan itu, pernyataan Menkominfo jadi salah satu gambaran bahwa internet tak sepenuhnya bebas. Ada pihak yang mengawasi dengan tujuan tertentu, yang dalam konteks pemerintah adalah mewujudkan internet yang bersih dari konten negatif.
Di atas kertas, hal ini tergolong masuk akal. Dengan titel bebas tadi, siapa pun bisa menaruh dan mencari konten apa saja, termasuk yang bisa memiliki muatan negatif. Salah satu contohnya adalah konten berbau kekerasan atau bahkan terorisme.
Baca Juga: Arti Kudeta Myanmar Bagi Jokowi
Rentetan kasus terorisme dalam beberapa waktu terakhir seolah membuka mata banyak pihak. Paham kekerasan berbau agama ternyata mudah dan cepat sekali menyebar. Salah satu perantaranya jelas adalah internet. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu mengawasi arus penyebarannya.
Untuk kasus konten terorisme sendiri, pemerintah sebenarnya sudah melakukan tindakan khusus. Salah satunya adalah pemblokiran konten terorisme di berbagai platform yang hingga April 2021 telah mencapai 20.453.
Nah, dalam pengawasan internet ini, Menkominfo sendiri menyebut ada alat crawling berbasis kecerdasan buatan. Meski demikian, tak dirinci alat crawling mana yang dimaksud.
Jika ditelusuri, Kemenkominfo memang memiliki mesin pengais (crawling) konten negatif. Mesin ini sendiri dinamai AIS dan telah beroperasi sejak tahun 2017. Merujuk pada situs Kominfo sendiri, mesin ini disebut bernilai Rp200 miliar.
Dalam proses pengadaannya, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) berhasil memenangkan pelelangan. Oleh karena itu, perusahaan tersebut juga bertanggung jawab membangun mesin crawling tersebut untuk Kemenkominfo.
Merayap di Kata Kunci
Adanya alat crawling Kemenkominfo dapat menjadi gambaran bahwa ada pengawasan negara atau state surveillance dalam penggunaan internet di Indonesia. Namun, apakah berarti hanya negara yang mengawasi?
Jika merujuk pada laman Kominfo, cara kerja sistem crawling ini adalah dengan memasukkan kata kunci pencarian. Saat kata kunci sudah ditentukan, mesin bisa menemukan jutaan konten hanya dengan sekali bekerja.
Nah, jika mendengar kata crawling dan kata kunci alias keyword, beberapa orang terutama yang berkutat di dunia search engine optimization (SEO), mungkin akan teringat dengan satu nama. Nama yang dimaksud adalah raksasa teknologi asal AS, Google.
Tak bisa dimungkiri, Google adalah tempat dari berbagai kata kunci pencarian di seluruh dunia. Memang, ada banyak mesin pencari lain, tetapi popularitasnya relatif jauh tertinggal.
Baca Juga: Ada Tiongkok di Drama Myanmar?
Bisa dibilang, untuk urusan pencarian dan kata kunci ini memang Google rajanya. Oleh karena itu, banyak pembuat konten sekarang memang memaksimalkan kata kunci agar masuk ke dalam radar crawling Google.
Nah, terkait dengan hal ini, mungkin saja ada yang bertanya-tanya, apakah dalam proses pengawasan internet, Google juga justru ikut mengawasi?
Tentu, untuk saat ini hal itu belum bisa sepenuhnya dibuktikan. Meski demikian, ada temuan yang mengungkap bahwa ada pemanfaatan data dari perusahaan teknologi besar dalam urusan mengawasi masyarakat.
Salah satu isu pemanfaatan data yang paling mengguncang tentu saja proyek PRISM di AS yang sempat terungkap pada tahun 2013 lalu. PRISM adalah sebuah alat yang digunakan National Security Agency (NSA) untuk mengumpulkan data pribadi elektronik dari perusaahan teknologi seperti Google, Facebook, dan Microsoft.
Cara kerja PRISM ini sendiri, seperti diungkap oleh The Verge, adalah dengan memasukkan selector atau kata kunci pencarian ke dalam PRISM. Cukup familiar, kan?
Nah, jika berbicara mengenai kata kunci, paper dari Alex Marthews dan Catherine E. Tucker berjudul Government Surveillance and Internet Search Behavior, punya cerita tersendiri.
Mereka menyebutkan bahwa ada kata kunci mencurigakan yang dapat membuat seorang pengguna ditandai untuk dianalisis oleh NSA. Dari hal itu, bisa saja tergambar kalau PRISM atau program lainnya dari pemerintah AS akan tertarik pada data pencarian Google.
Relasi Negara dan Bisnis
Merujuk pada hal itu, mungkin saja akan ada yang bertanya-tanya, apakah ada pola serupa untuk program di Indonesia? Tentu, sejauh ini belum bisa dibuktikan lebih lanjut. Meski demikian, cukup terlihat bahwa ada relasi antara negara dan perusahaan teknologi untuk urusan pengawasan internet.
Terlepas dari hal itu, sebenarnya boleh jadi untuk urusan privasi dan keamanan data, akan selalu melibatkan negara dan sektor bisnis. Hal ini digambarkan misalnya oleh Jovan Kurbalija dalam bukunya An Introduction to Internet Governance.
Untuk menggambarkan relasi tersebut, Kurbalija menggunakan segitiga yang di bukunya ia sebut sebagai privacy triangle. Menurutnya, masalah privasi yang semula hanya melibatkan pemerintah, kini turut pula memberi ruang pada sektor bisnis.
Baca Juga: Safari Airlangga Sinyal Tiga Poros di 2024?
Dalam segitiga tersebut, kemudian tergambar kalau privasi di era informasi melibatkan individu, pemerintah, dan bisnis.
Dalam hubungan antara negara dan individu, cukup jelas tergambar bahwa negara memegang begitu banyak data pribadi milik warganya.
Lalu, dalam hubungan antara individu dan bisnis, cukup tergambar pula bahwa bisnis memiliki beragam data masyarakat melalui berbagai aktivitas mulai dari membuka rekening hingga pencarian di internet. Lebih jauh, melalui teknologi terkini bisnis juga dapat mengetahui preferensi dari seorang individu.
Yang paling penting adalah hubungan antara negara dan bisnis. Keduanya sama-sama mengumpulkan data pribadi dari individu. Memang, dalam kondisi ideal, relasi keduanya bisa berupa negara melindungi data individu dari pebisnis.
Meski demikian, menurut Kurbalija, beberapa data ini digunakan negara dan bisnis untuk menekan tindakan terorisme.
Berdasarkan kondisi tersebut, bukan tidak mungkin bahwa terjadi relasi khusus antara pemerintah dan perusahaan seperti Google. Jika benar terjadi, yang jadi perkara adalah kata internet diawasi yang disebutkan Menkominfo.
Apakah ini nanti artinya internet juga diawasi Google dan perusahaan lainnya? Tentu, perlu penelusuran lebih jauh terkait hal ini. Boleh jadi, PR sekarang adalah untuk memperbaiki perlindungan data masyarakat. Sampai itu terjadi, mungkin pesan banyak orang di media sosial harus diperhatikan: hati-hati di internet. (H33)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.