Presidential Threshold kerap dianggap sebagai batu sandungan bagi parpol kecil untuk mencalonkan jagoan mereka menjadi presiden.
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]erat memang jadi capres di Indonesia. Urusan dana jelas menjadi beban bagi banyak orang yang mengidamkan duduk di kursi RI-1. Selain itu, ternyata para pemburu kursi istana itu masih diberikan beban lain berupa peraturan dalam undang-undang. Ambang batas suara minimal 20 persen atau presidential threshold menjadi tambahan beban bagi pengidam kursi presiden.
Repotnya, persyaratan presidential threshold itu membuat banyak orang menggugat peraturan tersebut. Meski demikian, gugatan ini kerapkali harus kandas di meja Mahkamah Konstitusi (MK). Yang paling anyar, 12 orang dengan latar belakang beragam mengajukan gugatan serupa ke MK.
Perwakilan 12 orang tersebut menilai bahwa persyaratan ambang batas suara itu adalah hal yang tidak logis dan inkonstitusional. Mereka cukup optimis bahwa gugatan mereka kali ini dapat diterima oleh hakim MK. Mereka menilai alasan gugatan yang mereka ajukan berbeda dengan gugatan yang pernah dilakukan sebelumnya.
Jika berhasil, maka gugatan tersebut berpotensi membuka lembaran baru dalam Pilpres 2019. Capres yang diprediksi hanya sedikit bisa jadi akan jauh lebih banyak. Semua pecinta kursi presiden memiliki peluang yang sama untuk merebut kursi tersebut. Lalu, bagaimana dengan peluang petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi) jika syarat presidential threshold resmi dicabut?
Mencari Kesetaraan
Dua belas orang yang diisi nama-nama tenar seperti Rocky Gerung, Faisal Basri, Chatib Basri, Titi Anggraini dan Bambang Widjojanto menilai peraturan presidential threshold menyebabkan masyarakat tidak bebas memilih. Rakyat hanya disuguhi pilihan yang terbatas untuk menentukan calon pemimpin mereka.
Secara filosofis, ada semangat kesetaraan yang diperjuangkan melalui gugatan tersebut. Political equality atau kesetaraan menjadi salah satu tema utama yang mewarnai permohonan uji materi tersebut.
Presidential threshold dipandang sebagai hal yang mempersulit masyarakat mengakses hak untuk dipilih menjadi presiden. Hal ini jelas menunjukkan ketidaksetaraan di dalam politik. Oleh karena itu, menghilangkan aturan presidential threshold dapat dianggap sebagai upaya untuk mengembalikan kesetaraan dalam berpolitik.
Salah satu pemikir yang memiliki pendapat tersendiri mengenai political equality adalah Robert Dahl. Dahl dikenal karena berusaha untuk menemukan konsep political equality yang tidak hanya bersifat filosofis saja. Dalam pemikirannya, political equality kerap diidentikkan dengan demokrasi, meski tidak pernah menyebutkannya secara langsung.
Secara umum, kesetaraan politik kerap dianggap sebagai kondisi di mana masyarakat memiliki hak yang setara dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam konteks ini, kesetaraan hak tidak hanya berlaku untuk urusan memilih, tetapi juga dipilih sebagai calon.
Terlihat bahwa ada urusan kesetaraan tersebut yang diperjuangkan dalam gugatan presidential threshold. Peraturan ambang batas suara minimal jelas menjadi penghalang bagi kesetaraan untuk dapat mencalonkan diri menjadi presiden.
Monopoli dalam Presidential Threshold
Semangat kesetaraan atas hak untuk dipilih menjadi presiden jelas membuka peluang bagi banyak orang. Jika ambang batas suara resmi dihilangkan, maka kemungkinan adanya banyak calon presiden menjadi lebih besar.
Hilangnya presidential threshold membuat privilese atau hak untuk menjadi capres tidak menjadi monopoli beberapa pihak saja. Dalam konteks ini, semua partai politik memiliki peluang serupa untuk mencalonkan kadernya menjadi presiden.
Masyarakat jelas memiliki banyak alternatif untuk dipilih menjadi orang nomor satu di negeri ini. Kandidat yang muncul dapat memiliki latar beragam dan berasal dari lintas parpol. Tujuan 12 orang penggugat jelas akan terpenuhi jika ambang batas suara dihilangkan.
Presidential threshold memang tergolong hanya menguntungkan bagi partai-partai besar saja. Partai yang mendapat perolehan suara besar pada pemilu sebelumnya jelas tidak akan begitu kesulitan jika ingin mencalonkan jagonya menjadi presiden. Kalaupun suara mereka tidak mencukupi, mereka hanya membutuhkan sedikit tambahan suara dari partai kecil agar lolos persyaratan ambang batas tersebut.
Gak lah. Presidential Treshhold itu cuma akal akalan penguasa inkumben. Dari mana dasarnya cuma Partai yg boleh punya calon? Lalu hanya partai besar? Kan konyol, jelas dibuat supaya membatasi oposisi thd kekuasaan. https://t.co/Pqm3zRH0S8
— haye (@_haye_) March 12, 2018
Partai dengan perolehan suara 18 persen seperti PDIP jelas tidak akan mengalami kesulitan berarti jika harus menghadapi presidential threshold 20 persen. Sedikit suara dari satu partai gurem di parlemen sudah cukup bagi mereka untuk dapat mencalonkan kader internal menjadi presiden.
Hal ini menjadi sumber keluhan banyak partai kecil yang akan bertarung di 2019. Partai non-parlemen seperti PBB misalnya menyadari ketidaksetaraan tersebut. Mereka menganggap peraturan ambang batas hanya menjadi jalan untuk mempersulit partai sekelas mereka untuk memiliki capres.
Ketidaksetaraan melalui presidential threshold dianggap menguntungkan bagi kandidat petahana Jokowi. Beberapa pihak bahkan menuding bahwa peraturan tersebut adalah akal-akalan partai-partai pendukungnya saja karena takut kalah jika berhadapan dengan banyak calon.
Hak Dipilih Setara, Peluang Menang Setara
Bagi banyak orang, Jokowi diprediksi akan melenggang mulus jika hanya ada dua kandidat yang bertarung di Pilpres nanti. Hampir seluruh simulasi survei menunjukkan bahwa mantan Wali Kota Solo tersebut sulit ditumbangkan jika bertarung satu lawan satu.
Syarat minimal dukungan 20 persen dianggap hanya akan memunculkan maksimal dua pasangan calon yang bertarung di Pilpres. Kondisi ini jelas menguntungkan bagi Jokowi karena berbagai hasil survei telah menyebutkan ia menang mudah jika hanya ada dua calon.
Supaya lebih jernih mengenai Judicial Review presidential threshold ini. pic.twitter.com/YjhWr0fBzf
— Angga D. Sasongko (@anggasasongko) June 17, 2018
Meski demikian, Jokowi diprediksi tidak akan melewati jalan yang mulus jika kandidat yang muncul di Pilpres lebih dari satu. Hal ini terutama jika kandidat yang bertarung berjumlah tiga pasang. Pendapat ini dikemukakan misalnya oleh pengamat dari Voxpol Indonesia, Pangi Syarwi Chaniago.
Jika kandidat yang muncul lebih dari dua, Jokowi bisa saja tetap unggul. Akan tetapi, ia diprediksi tidak akan unggul mutlak. Hal ini dikarenakan popularitas yang ia nikmati di sebagian besar survei tidak lebih dari 35 persen. Kondisi ini membuat Pilpres harus dilanjutkan menuju putaran kedua jika ada lebih dari dua calon.
Pilpres putaran kedua inilah yang dapat menghambat jalan Jokowi kembali ke Istana. Kandidat yang bertarung melawan Jokowi di putaran kedua diprediksi akan mendapat angin di putaran kedua. Jika dikalkulasikan, gabungan suara-suara lawan Jokowi diprediksi mampu bersaing dengannya yang tidak memiliki popularitas mutlak.
Kesulitan jika harus menghadapi lebih dari satu lawan ini misalnya pernah tergambar dalam kasus Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu. Sebagai kandidat unggulan, pasangan Ahok-Djarot nyatanya harus tumbang di hadapan pasangan Anies-Sandi.
Justru kalo ada poros baru, poros ini bisa menarik pendukung jokowi yang masih bisa diajak pinter. Kalo dalam putaran pertama, Jokowi ngga bisa lebih dari 45%, ya nasibnya kayak Ahok. Kalah di putaran ke dua.
— Pelan-pelan, Ardi! (@awemany) April 13, 2018
Ahok-Djarot nyaris selalu unggul di seluruh survei Pilgub Jakarta. Akan tetapi, tidak ada yang pernah menyangka bahwa Anies-Sandi bisa menang dengan marjin cukup besar di putaran kedua. Padahal, mereka sempat unggul di putaran pertama. Terlihat bahwa di putaran kedua, suara dari kandidat yang tidak lolos beralih ke Anies-Sandi. Putaran kedua kemudian menjadi jebakan bagi Ahok-Djarot menuju kursi DKI-1.
Terlihat bahwa penghapusan presidential threshold tidak hanya berarti memberikan kesempatan yang setara untuk menjadi calon yang bisa dipilih. Gugatan tersebut juga berpotensi memberikan kesempatan yang setara bagi calon untuk memenangi pemilu. Kemungkinan menang tidak lagi dimonopoli oleh petahana atau kandidat yang memuncaki survei.
Oleh karena itu, sangat wajar jika partai-partai pendukung Jokowi harap-harap cemas jika gugatan dikabulkan oleh MK. Bukan tidak mungkin ada presiden baru yang muncul melalui Pilpres putaran kedua akibat ada lebih dari dua calon. (H33)