Site icon PinterPolitik.com

Presiden Wong Cilik Hanya Mitos?

Presiden Wong Cilik Hanya Mitos?

Presiden Joko Widodo bersalaman dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di tengah masyarakat (Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

Di setiap gelaran pilpres, narasi Presiden Wong Cilik selalu menjadi jualan utama. Presiden Jokowi, misalnya, disebut sebagai representasi rakyat kecil karena bukan merupakan elite partai maupun militer. Namun, mungkinkah narasi Presiden Wong Cilik yang selama ini digembar-gemborkan hanyalah mitos semata?


PinterPolitik.com

Dalam bukunya yang terkenal, The End of History and the Last Man, Francis Fukuyama memberi prediksi yang membuat namanya menjadi perbincangan dunia, yakni demokrasi liberal adalah pemenang dari pergulatan sistem politik, khususnya dengan marxisme.

Namun, ada satu pembacaan yang kerap kali luput dari berbagai pihak. Dukungan Fukuyama sebenarnya bukan kepada demokrasi liberal, melainkan kepada gagasan thumos atau thymos dari Plato. Thumos adalah hasrat jiwa manusia yang paling mendasar, yakni hasrat untuk diakui.

Menurut Fukuyama, sejauh ini, sistem politik yang menjamin hasrat mendasar itu adalah demokrasi liberal, khususnya liberalisme. Tidak seperti sistem kerajaan, di mana kebebasan berekspresi dibatasi, dalam demokrasi liberal setiap individu mendapatkan hak yang setara. Tidak hanya hak untuk mengekspresikan diri, melainkan juga hak untuk menjadi pemimpin. 

Kehadiran demokrasi yang satu paket dengan pemilu langsung, khususnya di Indonesia kemudian mengubah diskursus politik publik. Jika dulunya kandidat pemimpin membahas dia keturunan siapa? Sekarang perdebatan masyarakat adalah, apakah sosok tersebut merepresentasikan suara rakyat?

Berbeda dengan sistem kerajaan, di mana pemimpin adalah perkara keluarga raja yang paling berhak. Sekarang pertanyaannya berputar pada “apakah ia merupakan wong cilik?” 

Dian Dwi Jayanto dalam tulisannya Pragmatisme Sebagai Ideologi Partai Politik juga menangkap pola ini. Menurutnya, meskipun di atas kertas setiap partai mengklaim ideologinya berbeda, namun mereka memiliki kesamaan narasi, yakni membela rakyat kecil. Setiap partai dan politisi berlomba-lomba untuk menampilkan dirinya sebagai wakil suara rakyat, khususnya golongan papa yang terabaikan.

Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Kenapa Jokowi Bisa Jadi Presiden?, persoalan ini juga telah dibahas. Dalam setiap diskursus pemilu, khususnya pilpres, ada pola strategi marketing yang sama, yakni membangun citra “kesederhanaan” dan “dekat dengan rakyat”. Misalnya saja blusukan, masuk ke gorong-gorong, hingga menginap di rumah warga yang sederhana.

Namun, seperti penegasan Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, sangat bias dan menyesatkan apabila menilai kualitas politisi atau pejabat dari nilai-nilai personalnya – mungkin lebih tepat disebut citranya. Morgenthau menekankan, kualitas politisi harus dilihat dari kemampuan dan dampak dari kebijakan yang dibuatnya. Itu adalah penilaian yang lebih objektif.

Nah, bertolak dari penegasan Morgenthau, serta berbagai fakta bahwa janji politik hanya sebagai buaian kata-kata, apakah ada yang disebut sebagai Presiden Wong Cilik?

Melihat Jokowi

Ketika terpilih pada 2014 sebagai Presiden Republik Indonesia, berbagai pihak menyebut Joko Widodo (Jokowi) adalah Barack Obama-nya Indonesia. Mengutip Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Hanta Yuda, Jokowi adalah sosok fenomenal. Cara berpolitiknya dipandang publik autentik, asli, muncul apa adanya, serta merupakan magnet elektoral. Majalah Time bahkan menulis “A New Hope” untuk menggambarkan mantan Wali Kota Solo ini. 

Bukan tanpa alasan. Dengan status bukan dari kalangan elite, bukan petinggi partai, bukan deretan orang terkaya Indonesia, serta bukan berlatar militer, Jokowi justru dapat mengalahkan nama besar Prabowo Subianto. Salah satu pemimpin populis dunia yang bombastis, ungkap Ruth Pollard dalam tulisannya New Culture Wars Worsen Political Slide in Indonesia, untuk menggambarkan Jokowi.

Dengan citra kesederhanaan yang kuat, khususnya karena bukan berlatar elite, Jokowi disebut sebagai representasi rakyat yang sesungguhnya. Jokowi adalah Presiden Wong Cilik yang selama ini didambakan masyarakat. “Jokowi adalah kita,” bunyi narasi kampanye pada Pilpres 2014 lalu.

Namun, kembali pada pertanyaan awal, benarkah narasi itu? Benarkah Jokowi adalah Presiden Wong Cilik? Benarkah ia adalah wong cilik yang kemudian melejit menjadi Presiden?

Peran Oligarki

Ross Tapsell dalam bukunya Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution, menjelaskan kemenangan Jokowi di 2014 telah menjadi fokus pembahasan berbagai pihak terkait peran oligarki dalam politik Indonesia. Dengan status bukan hierarki mapan Orde Baru, kemenangan Jokowi disebut sebagai kemenangan rakyat. Ia naik karena dibantu rakyat yang berkampanye untuk melihat bukan elite oligarki yang menjadi pemimpin.

Namun, mengutip Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy and Democracy in Indonesia, Tapsell menyebut kemenangan Jokowi di Pilgub DKI Jakarta 2012 tidak mungkin terjadi tanpa oligarki Prabowo dan adiknya yang kaya raya, Hashim Djojohadikusumo. Menurut Tapsell, Partai Gerindra telah menghabiskan biaya besar untuk iklan dan kampanye politik Jokowi di televisi.

Tulis Tapsell, Winters percaya bahwa oligarki yang punya sumberdaya untuk mengubah potensi Jokowi sebagai kandidat menjadi kenyataan. Bahkan tegas Winters, meskipun Jokowi didukung dan dibantu banyak pihak, mantan Wali Kota Solo ini tidak akan pernah dipilih jika bukan karena kaum oligarki. 

Ini sederhana untuk dipahami. Percuma Jokowi mendapat simpati dan didukung banyak pihak, jika ia tidak terpilih menjadi kandidat di kontestasi pemilu. Nah, untuk berhasil menjadi kandidat, peran oligarki sangat menentukan.

Tidak hanya Winters, Tapsell juga mengutip tulisan-tulisan Vedi Hadiz dan Richard Robison, yang menyebutkan Jokowi “terpaksa” bersekutu dengan berbagai kelompok oligarki Orde Baru agar dapat memenangkan ajang pemilihan presiden. Tulis Hadiz, Jokowi melekat dengan sistem oligarki, dan tidak menghadirkan patahan penting dari presiden-presiden sebelumnya.

Aaron L Connelly dalam tulisannya Indonesian Foreign Policy Under President Jokowi, misalnya, menyebut Jokowi telah menjalin hubungan dengan Luhut Binsar Pandjaitan sejak tahun 2008. Saat itu, Luhut tengah mencari pihak yang dapat mengubah kayu mentah dari konsesi hutannya di Kalimantan menjadi produk jadi. Seorang kenalan kemudian memperkenalkannya dengan Jokowi, pengekspor furnitur yang baru terpilih sebagai Wali Kota Solo.

Yang menarik, Tapsell juga mengutip tulisan-tulisan Marcus Mietzner dan Edward Aspinall, yang menyebutkan kekuatan intervensi oligarki perlu digugat dan dipertanyakan. Disebutkan, terpilihnya Jokowi adalah bukti “populisme elektoral”, di mana itu merupakan kekuatan pendorong kelas bawah untuk menekan oligarki.

Dalam bukunya Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia, Mietzner bahkan menyebut Jokowi bukanlah pilihan kaum oligark, melainkan fenomena tidak diinginkan yang terpaksa diterima kaum oligark. 

Leo Suryadinata dalam tulisannya Golkar’s Leadership and the Indonesian President, juga menyebutkan bahwa pada Pilpres 2014, berbagai petinggi PDIP sebenarnya tidak begitu menyukai Jokowi. Namun, karena elektabilitasnya tinggi, Megawati terpaksa memilihnya sebagai calon presiden.

Well, dari uraian tersebut kita dapat menarik dua posisi. Pertama, Jokowi naik karena dipilih oligarki. Kedua, Jokowi naik karena “populisme elektoral” memaksa oligarki untuk memilihnya. Kendati dua posisi tersebut dinilai berbeda, misalnya dari pembacaan Mietzner, kita dapat menarik satu kesimpulan. 

Entah apa pun itu, baik yang pertama maupun yang kedua. Entah itu dipilih langsung, atau terpaksa dipilih, intinya Jokowi bisa menjadi kandidat karena didorong oligarki. Pun demikian pada gelaran pemilu lainnya, hal yang sama juga terjadi. Terlebih lagi, dengan pilpres yang disebut memakan biaya Rp 7-9 triliun, dukungan kapital dari para oligarki jelas sangat dibutuhkan.

Prime Momentum

Sebagai penutup, kita dapat menarik dua kesimpulan. Pertama, seperti yang diperlihatkan Tapsell, peran oligarki tidak dapat dipisahkan dari sistem perpolitikan Indonesia. Apalagi, dengan syarat pengusungan kandidat capres-cawapres yang harus melalui partai atau gabungan partai politik, kandidat independen menjadi tidak mungkin untuk maju berkompetisi.

Kedua, mengutip kesimpulan Aspinall dan Mietzner, sekalipun oligarki memiliki pengaruh dan kekuatan memilih, “populisme elektoral” atau dorongan rakyat bawah tetap memiliki peran signifikan. Artinya, oligarki bukanlah pemain tunggal. 

Terdapat faktor yang disebut dengan prime momentum atau momentum prima, yakni bertemunya kehendak rakyat dan oligarki. Maksudnya, tidak mungkin oligarki memilih kandidat, jika kandidat tersebut tidak memiliki potensi untuk menang. Sebagai investor politik, mestilah mereka ingin investasinya membuahkan hasil.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa narasi Presiden Wong Cilik mungkin hanya setengah benar. Di satu sisi, mungkin benar sang kandidat bukanlah sosok berlatar oligarki. Sementara, di sisi lain, ia butuh dukungan oligarki untuk menjadi kandidat di pilpres.

Namun, pada ujungnya, sosok wong cilik tersebut akan berkompromi dengan kehendak oligarki. Seperti kesimpulan Kate Lamb dalam tulisannya Joko Widodo: how ‘Indonesia’s Obama’ failed to live up to the hype, Jokowi disebut telah gagal memenuhi ekspektasi sebagai Obama-nya Indonesia.

Sosok yang dikenal merakyat dan sederhana tersebut, disebut Lamb, justru semakin terlihat dekat dengan elite dan menelurkan kebijakan-kebijakan kontroversial, khususnya terkait demokrasi. (R53)

Exit mobile version