Pencapresan Prabowo Subianto di ambang dukungan koalisi besar partai politik (parpol) pasca pertemuan dengan Ketua Umum (Ketum) PKB, Partai Golkar, PAN, PPP plus Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan kalkulasi serta berbagai variabel dan skenario yang ada, Prabowo mungkin akan terpilih sebagai RI-1 secara “aklamasi”. Benarkah demikian?
Kemarin tampaknya menjadi momentum khusus yang patut dicatat jelang Pemilu dan Pilpres 2024. Itu setelah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang diperkuat Partai Gerindra dan PKB melakukan “silaturahmi politik”.
Tak tanggung-tanggung, seluruh ketua umum (ketum) partai politik (parpol) tersebut hadir dengan didampingi oleh para elite partai, termasuk level sekretaris jenderal (sekjen).
Yang istimewa, kehadiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) kiranya membuka ruang interpretasi tertentu tentang proyeksi koalisi dan arah pencapresan di 2024.
Angin segar kemudian tampak berembus ke kandidat bakal calon presiden (capres) 2024 yang juga Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Memang, acara silaturahmi lima parpol besar itu tak diisi dengan deklarasi kesepakatan resmi apapun mengenai kontestasi elektoral 2024. Akan tetapi, sejumlah variabel politik agaknya patut membuat Prabowo sumringah. Mengapa demikian?
Pertama, KIB sejauh ini masih diliputi kebuntuan dalam penentuan capres. Elektabilitas Prabowo yang konsisten di tiga besar dalam sejumlah survei membuat opsi mengusung eks Danjen Kopassus itu kemungkinan besar menjadi pilihan utama jika KIB-KKIR merger.
Kedua, pertemuan elite Partai Golkar dan PPP saat buka puasa bersama Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS (koalisi pengusung capres Anies Baswedan) minggu sebelumnya kemudian tampak tak berarti signifikan dengan absennya PAN.
Terlebih, dengan kehadiran Presiden Jokowi plus tidak diundangnya Partai NasDem dalam acara silaturahmi lima parpol kemarin.
Ketiga, skenario kemenangan mutlak bisa saja dapat dengan mudah dipetakan Prabowo dan koalisi KIB-KKIR dengan kondisi politik belakangan ini, termasuk yang sedang dialami calon rival.
Bukan tidak mungkin, dengan kalkulasi logis, Prabowo pada akhirnya akan merangkul dan didukung mayoritas parpol, serta ditasbihkan sebagai Presiden RI di 2024 secara “aklamasi”. Benarkah demikian?
“Permainan Politik” Ideal?
Sebelum masuk ke analisis probabilitas dukungan mayoritas parpol kepada Prabowo di 2024, Presiden Jokowi sempat menyinggung satu hal menarik saat menghadiri silaturahmi lima partai besar kemarin.
Kepala negara menyebut dirinya enggan dikaitkan dengan koalisi parpol dan pencapresan siapapun. Tak hanya itu, mantan Wali Kota Solo itu turut menyiratkan keluhan mengenai para ketum parpol yang sedikit-sedikit mengklaim manuvernya sudah direstui presiden.
Akan tetapi, Presiden Jokowi tetaplah politisi dan naik ke tampuk kekuasaan berkat proses dan kompromi politik. Itu lah yang membuat gestur, perkataan tersirat, hingga dan restunya sulit untuk tidak ditafsirkan memiliki sinyal politik tertentu. Tak terkecuali kehadirannya di acara silaturahmi lima parpol besar kemarin.
Keengganan dirinya untuk dikaitkan dengan koalisi parpol dan pencapresan sosok manapun kemudian tampak menjadi sikap normatif semata atau yang kerap dikenal sebagai lip service.
Kembali kepada potensi dan skenario dukungan mayoritas parpol kepada Prabowo, konsep big tent atau tenda besar kiranya akan menjadi landasan konseptual untuk memahami probabilitas tersebut.
Konsep tenda besar sendiri telah dipakai menjadi strategi politik akomodatif yang dipraktikkan di dunia politik.
Secara umum, definisi politik tenda besar sendiri dijelaskan Abdul Halim Saad dalam publikasi berjudul Big Tent Politics.
Dia menyebut kelompok politik tenda besar memiliki kebijakan untuk mengizinkan, mengundang, atau mendorong partai atau kelompok politik lain untuk bergabung meskipun dengan ideologi politik yang berbeda.
Menariknya, strategi tenda besar dapat dipraktikkan di dalam sistem demokrasi dan sistem kepartaian negara-negara yang berbeda.
Analis politik Amerika Serikat (AS) Fareed Zakaria, misalnya, menyoroti strategi politik tenda besar Joe Biden dalam kolom tulisannya yang berjudul Biden Understands What Twitter Doesn’t: Democrats Need a Big Tent.
Zakaria melihat Biden cukup gencar mempromosikan ideological diversity atau keragaman ideologi pada kampanye Pilpres 2020 lalu, sesuatu yang berbeda dari kampanye capres Partai Demokrat mana pun sebelumnya.
Kala itu, Zakaria melihat Biden cukup terbuka untuk merangkul serta mengakomodasi kepentingan aktor lain, yang bahkan tak memiliki irisan kepentingan dengan Partai Demokrat.
Ihwal itu selaras dengan analisis Saad bahwa Partai Republik lah yang justru memiliki karakteristik dan strategi tenda besar paling dominan di AS.
Sementara itu, latar belakang meningkatnya penggunaan strategi politik tenda besar juga dijabarkan Saad dalam analisisnya. Pertama, tentu poros politik menjadi besar dan kuat, termasuk untuk menangkal serangan para rival.
Sebagai koalisi politik yang memiliki spektrum ideologi politik yang beragam, “tenda besar” dapat berubah menjadi kelompok politik yang lebih menarik dengan bertransformasi menjadi persekutuan yang lebih kuat.
Kedua, politik tenda besar agaknya kini cocok dengan apa yang digagas filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel, yakni zeitgeist atau roh/relevansi zaman.
Saad menyebut budaya politik politik abad ke-21 di banyak negara di dunia diwarnai dengan ideologi politik yang lebih beragam.
Jika diinterpretasikan, hal itu agaknya berkorelasi dengan perhitungan logis aktor politik demi meraih keuntungan semaksimal mungkin dan menghindari kerugian seminimal mungkin dalam bingkai positive sum game di bawah naungan “tenda besar”.
Ketiga, dalam hal-hal yang tangible seperti logistik politik hingga level jangkauan konstituen, sebuah koalisi tenda besar tentu memiliki keunggulan.
Berkaca pada politik tenda besar, penafsiran lanjutan mengenai potensi dan skenario dukungan mayoritas parpol kepada Prabowo kemudian terbuka saat lima parpol bersilaturahmi kemarin.
Satu yang menarik adalah jika KIB-KKIR menjadi nyata, PDIP pun kemungkinan akan merapat. Mengapa demikian?
Selain opsi merapat ke koalisi pengusung Anies hampir mustahil, sangat riskan bagi PDIP berjuang sendirian di 2024 dengan dinamika politik belakangan ini yang kurang menguntungkan bagi mereka.
Apalagi, relasi dengan Prabowo dan lima parpol KIB-KKIR selama ini tampak cukup harmonis dalam poros politik penyokong pemerintahan yang dipimpin PDIP. Sesuatu yang kemudian akan memperkuat tenda besar pencapresan Prabowo.
Namun, meski merger KIB-KKIR plus PDIP terwujud, lalu Prabowo diusung sebagai capres, dan parpol nonparlemen lain ada yang turut bergabung koalisi, kemenangan secara mutlak tetap tidak bisa dipastikan.
Tak lain, eksistensi Anies Baswedan dan Koalisi Perubahan (Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS) menjadi batu sandungan terakhir yang harus dihadapi Prabowo dan koalisi.
Akan tetapi, jika berhasil memenangkan duel, terlepas dari siapapun cawapresnya, Prabowo bisa saja merangkul para aktor dan entitas politik pendukung Anies ke kekuasaan.
Hal itu sebagaimana tercermin dari adopsi filosofi yang ditulis di buku berjudul Kepemimpinan Militer Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto yang disusun sendiri oleh Panglima Kostrad ke-22 itu.
Prabowo mengutip filosofi adalah seorang Samurai dan Daimyo Jepang (penguasa feodal) pada akhir periode Sengoku yang dianggap sebagai “Pemersatu Besar” kedua Jepang.
Dikisahkan, pada satu waktu, Hideyoshi di ambang pertempuran dengan pasukan musuh yang sama hebatnya. Namun di akhir cerita, dengan kecintaan yang sama kepada negara, mereka mengurungkan pertarungan dan bersatu demi kepentingan yang lebih besar.
Uniknya, itu juga pernah dialami sendiri oleh Prabowo saat dirangkul pemerintahan Presiden Jokowi pada 2019 lalu.
Jika demikian, pengakuan kemenangan secara “aklamasi” di akhir laga 2024 bukan tidak mungkin diraih Prabowo atas langkah politik tenda besar koalisinya.
Tetapi di balik skenario itu, terdapat kemudaratan yang mungkin menjadi residu atas implementasi strategi tenda besar dan akan membalikkan proyeksi kemenangan Prabowo. Apakah itu?
Jangan Remehkan Koalisi Anies?
Meski tampak menjanjikan setelah pertemuan lima parpol besar, skenario kemenangan Prabowo kiranya tak serta merta akan berjalan mulus.
Selain mengacu pada peluang dan kemampuan Anies serta koalisi parpol pengusungnya itu sendiri, kesadaran pemilih di 2024 atas residu politik tenda besar kiranya bisa saja membuyarkan skenario kemenangan Prabowo di atas.
Saat Prabowo dirangkul ke koalisi pemerintah, terdapat dampak negatif yang terjadi dan jamak dinilai oleh sejumlah kalangan, yakni lemahnya poros politik penyeimbang pemerintah.
Parpol penyeimbang, yakni Partai Demokrat dan PKS kerap dinilai tak memiliki taring. Akhirnya, fungsi kontrol politik DPR terhadap pemerintah melemah.
Kekuasaan dengan tendensi hegemonik partai pendukung pemerintah di DPR kemudian mengemuka. Melemahkan fungsi kontrol DPR, melemahkan check and balances, dan bermuara pada hadirnya sikap politik dan undang-undang (UU) yang tidak aspiratif dan partisipatif.
Jika ini disadari oleh mayoritas pemilih di 2024 dan berpengaruh pada pilihan politiknya di bilik suara, tak menutup kemungkinan proyeksi nasib Anies akan sangat menarik. Tidak hanya sebagai antitesis Jokowi tetapi juga Prabowo.
Yang jelas, para pemilih di 2024 diharapkan dapat benar-benar berpartisipasi menentukan pilihan politik secara cermat dan komprehensif. Bukan hanya ketertarikan subjektif semata, tetapi bagi terciptanya situasi politik dan pemerintahan yang ideal bagi kepentingan rakyat ke depan. (J61)