Site icon PinterPolitik.com

Presiden Jokowi Batalkan Proyek IKN?

jokowi karhutla

Presiden Joko Widodo meninjau lahan hutan yang terbakar di Pelalawan, Provinsi Riau pada 17 September 2019 silam. (Foto: Antara/Puspa Perwitasari)

Wacana kenaikan harga BBM diikuti dengan sentimen minor terhadap pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang justru meminta kenaikan anggaran ke DPR. Respons skeptis bisa saja membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan proyek ambisius tersebut. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Diskursus kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terus mengemuka. Itu seiring dengan perekonomian sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih berjuang untuk bangkit dari dampak pandemi Covid-19.

Sayangnya, keputusan pemerintah untuk menaikkan harga produk Pertamina tersebut agaknya sudah bulat dengan beredarnya detail harga kenaikan masing-masing jenis BBM.

Jauh-jauh hari, pro dan kontra telah mengiringi wacana kenaikan. Pihak yang sepakat menilai bahwa memang harus diakui subsidi selama ini telah cukup besar membebani anggaran negara.

Ditambah dengan preseden tidak tepatnya subsidi itu juga seolah menambah semangat pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menaikkan harga BBM.

Sementara pihak yang kontra, menilai kenaikan harga BBM belum perlu dilakukan pemerintah. Para perumus kebijakan dinilai harus bijaksana memperhatikan prioritas dan kondisi riil perekonomian masyarakat saat ini.

Kritik itu juga kerap dikorelasikan dengan aspek lain, terutama pembangunan infrastruktur dan proyek raksasa yang terus dikebut Presiden Jokowi. Salah satunya adalah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Menariknya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) meminta tambahan anggaran sebesar Rp10,3 Triliun untuk pembangunan IKN dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR kemarin.

Padahal, Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR telah menerima anggaran sebesar Rp25,03 triliun berdasarkan Surat Bersama (SB) Bappenas dan Menteri Keuangan, serta Surat Menteri PUPR tentang penyesuaian Pagu Anggaran Tahun Anggaran 2023.

Sebelumnya, keterkaitan antara wacana kenaikan harga BBM dengan skeptisme pembangunan IKN sempat disoroti oleh Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.

Dia menilai anggaran pembangunan IKN seharusnya bisa digunakan untuk bantalan sosial saat harga BBM naik.

Itu penting untuk dilakukan mengingat kelompok masyarakat ekonomi yang rentan dianggap akan sangat terdampak dengan dampak multiaspek kenaikan bahan bakar.

Menurut Bhima, penundaan proyek infrastruktur menjadi salah satu opsi yang dapat ditempuh pemerintah untuk memulihkan perekonomian secara maksimal.

Namun, mengapa IKN menjadi sektor yang mendapat sentimen skeptis atas setiap kebijakan “memungut dana lebih” dari masyarakat?

IKN Dibiarkan Mangkrak?

Secara umum, proyek IKN kerap mendapat sentimen negatif akibat dianggap terlalu ambisius jika dilihat secara politik.

Variabel berupa kenaikan harga BBM tampaknya secara otomatis akan menjadikan IKN sebagai komparasi utama karena dianggap hanya sebagai kebutuhan tersier negara saat ini.

Impresi minor yang muncul dan dikorelasikan terhadap IKN, aganya berasal dari kemungkinan miskalkulasi yang dilakukan atas proyek tersebut.

Pada Februari lalu, Presiden Jokowi sempat menyebut akan melakukan upacara kemerdekaan di IKN pada 17 Agustus 2024. Artinya, jarak dua tahun pembangunan membutuhkan dana segar yang harus segera dikonversi menjadi infrastruktur fisik tahap awal IKN.

Di sisi lain, penerimaan negara masih belum sepenuhnya stabil setelah terpuruk sebagai dampak pandemi. Terlebih, belum ada investor asing yang diumumkan pemerintah secara resmi hingga saat ini.

Nana Shibata dalam tulisannya yang berjudul Jokowi struggles to drum up investors for new Indonesia capital mengatakan rencana ambisius IKN Presiden Jokowi belum pernah terjadi sebelumnya jika mengacu standar global.

Dari total dana Rp466 triliun yang dibutuhkan, rencana 80 persen didanai dengan investasi dari luar, terutama dari sektor swasta dan pemerintah negara-negara kaya tampak masih belum menemui titik terang.

Dengan kata lain, 20 persen sisa pendanaan dari kas negara tampaknya mau tidak mau harus diakselerasi lebih cepat. Dan boleh jadi itu bermuara pada dipungutnya dana dari masyarakat di sektor di mana negara memiliki kewenangan dan power untuk itu, seperti tarif listrik, pajak, hingga BBM.

Selain itu, sentimen minor terhadap IKN juga kiranya muncul dari perspektif analisis politik.

Ya, periode terakhir PDIP dan Presiden Jokowi berkuasa menimbulkan ketidakpastian politik. Shibata juga melihat hal ini sebagai salah satu faktor penyebab investor asing cenderung “wait and see” terhadap IKN.

Meskipun telah diatur oleh undang-undang, Shibata menilai pembangunan IKN masih dilihat oleh banyak analis belum menjamin bahwa proyek pembangunannya akan berlanjut setelah 2024.

Secara politik dan kekuasaan, hal itu dapat dimaknai dari konsep sirkulasi elite yang dikemukakan oleh filsuf dan sosiolog Italia, Vilfredo Pareto.

Konsep tersebut menjelaskan di dalam setiap era, akan selalu ada sirkulasi atau perputaran elite. Baik elite yang satu digantikan oleh elite yang lainnya, maupun aktor atau pihak non-elite yang justru menggantikan elite yang tengah berkuasa.

Jika skenario politik di 2024 terpilih presiden yang kemudian menjadikan PDIP dan Jokowi sebagai lawan politik, bukan tidak mungkin proyek IKN yang dijadikan glorifikasi itu akan dibiarkan mangkrak demi pelimpahan sentimen minor.

Apalagi, justifikasi kendala investor hingga pertimbangan lain yang mengiringi pembangunan Nusantara saat ini bisa saja akan menjadi landasan sahih pembiaran tersebut.

Lalu, terdapat satu faktor menarik lain yang kiranya membuat skeptisisme terhadap IKN muncul, yang bahkan berasal dari calon investor asing. Apakah itu?

Kegagalan Diplomasi Marketing?

Satu hal yang kiranya kontraproduktif terhadap impresi positif IKN dihadapan investor asing agaknya berasal dari marketing pemerintahan Presiden Jokowi sendiri.

Dalam pidatonya yang juga menjadi tagline IKN, salah satu penggalan pernyataan Presiden Jokowi menyebut calon ibu kota baru sebagai forest city with world class education and health service atau kota hutan dengan layanan pendidikan dan kesehatan kelas dunia.

Buzzword semacam itu memang kerap terdengar dari para pejabat eksekutif di tanah air dalam mempromosikan proyek-proyek ambisius. Selain konteks IKN, gagasan proyek metaverse bukit algoritma juga jamak dinilai hanya menjadi tagline berlebihan yang tidak substansial.

Kembali pada konteks IKN, buzzword itu agaknya menjadikan marketing IKN cenderung “over-sell”, sebagaimana dijelaskan Kishan S. Rana dalam Economic diplomacy: what might best serve a developing country?.

Dalam diplomasi ekonomi antar-negara, over-sell nyatanya justru akan dilihat sebagai janji yang tidak realistis atau menyesatkan pihak asing, khususnya calon investor.

Masih dalam tulisan Shibata, salah satu komentar yang berasal dari narasumber anonim pemerintah Jepang mengatakan “Nusantara lacks a big-picture vision” atau jika dimaknai IKN Nusantara minim visi gambaran besar yang konkret.

Selain daripada itu, Presiden Jokowi juga boleh jadi terbuai dalam bias optimisme. Professor Emeritus Rutgers University Neil D. Weinstein ialah yang pertama kali mengemukakan konsep tersebut dalam Unrealistic Optimism About Future Life Events.

Dalam kondisi tertentu, individu dapat mengambil keputusan yang tidak realistis. Mereka kerap memprediksi bahwa hasil masa depan akan lebih menguntungkan daripada yang disarankan oleh sebuah standar objektif yang relevan.

Presiden Jokowi bukan tidak mungkin merasa Indonesia cukup mudah mendapatkan investor karena berbagai upaya yang telah ditempuh selama ini. Indonesia pun kerap mendapat pujian asing atas torehan di sektor perekonomian.

Mulai dari regulasi kemudahan investasi via Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, hingga sanjungan dari International Monetary Fund (IMF) pada Maret lalu.

Padahal, yang menantikan suntikan dana investor terkemuka dengan dana segar besar bukan hanya Indonesia dengan IKN Nusantara-nya.

Sementara itu, bias optimisme yang ada juga kiranya berbenturan dengan kalkulasi untung-rugi riil dari para investor. Setelah perusahaan Softbank asal Jepang menarik diri sebagai investor IKN, konsultan manajemen EY-Parthenon Nobuko Kobayashi menyiratkan investor cenderung menahan diri bahkan enggan melirik IKN.

Kobayashi mengatakan Nusantara merupakan proyek yang tidak pasti, baik secara ekonomi maupun politik. Dia juga menambahkan, sejarah menunjukkan pemindahan ibu kota cenderung gagal atau terhenti di banyak tempat lain.

Di titik ini, proyek IKN tampak seperti pepatah “maju kena mundur kena”. Jika diteruskan, tentu akan membutuhkan biaya besar yang berdampak luas. Sementara, apabila menunda atau mundur tentu akan menghancurkan reputasi politik Presiden Jokowi, plus PDIP.

Akan tetapi, keberanian pemerintah meneruskan proyek IKN juga menghadirkan interpretasi lain bahwa investasi asing mungkin saja sudah diamankan.

Dalam safari Presiden Jokowi ke Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang pada medio Juli lalu, dua negara selain negeri asal Softbank sekilas tertarik dengan proyek di Provinsi Kalimantan Timur itu.

Bagaimanapun, kepastian keberlanjutan proyek IKN hingga tuntas sendiri masih merupakan tanda tanya. Dan tampaknya akan berdampak lintas sektoral terhadap kebijakan di sektor penerimaan negara lainnya secara tidak langsung. (J61)

Exit mobile version