Dinamika isu global yang semakin mendorong negara untuk mengambil peran internasional membuat Indonesia perlu pertimbangkan calon presiden (capres) yang memiliki pola pikir strategis dan outward-looking dalam Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024). Mungkinkah jawabannya ada di kandidat berlatar militer?
Tidak dipungkiri bahwa dinamika isu internasional dalam tiga tahun terakhir ini cukup memprihatinkan dan berhasil mengalihkan perhatian banyak negara dari permasalahan domestiknya.
Dimulai dari pandemi Covid-19 yang membuat banyak negara harus melakukan sejumlah manuver diplomasi demi mendapatkan vaksin untuk masyarakatnya, hingga imbas konflik antara Rusia dan Ukraina pada alur perdagangan energi dan pangan dunia, sepertinya sekarang ini para pemimpin dunia tidak bisa hanya berdiam diri jika ingin negaranya survive.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentu menjadi studi kasus yang menarik dalam melihat fenomena dunia ini. Seperti yang sudah pernah dibahas dalam artikel PinterPolitik berjudul Mungkinkah Putin Diajak Berunding?, Jokowi adalah tipe pemimpin yang bisa dibilang lebih menerapkan konsep inward-looking dalam politik luar negerinya.
Sang mantan Wali Kota Solo itu adalah tipe pemimpin yang tidak menyukai pertemuan-pertemuan internasional dan lebih memilih mengirim menteri-menterinya untuk menjalani kerja sama luar negeri. Menariknya, setelah menjadi buah bibir dunia bahwa Indonesia harus berbuat banyak untuk meredam konflik Rusia-Ukraina karena menjadi Presiden G20 tahun ini, Jokowi akhirnya terbang ke Ukraina dan Rusia.
Menurut beberapa pemberitaan, tujuan Jokowi pergi bertemu dengan presiden dari masing-masing negara yang berkonflik ini adalah untuk mempercepat proses perdamaian. Ini jelas adalah bukti bahwa di zaman ini pemimpin yang inward-looking akan dituntut untuk memainkan peran internasionalnya.
Semua ini kemudian menjadi catatan penting bagi Indonesia untuk menentukan calon presiden (capres) Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) mana yang paling pas terkait perkembangan geopolitik global.
Siapapun pengganti Jokowi nanti, Indonesia tampaknya membutuhkan pemimpin yang lebih memiliki pandangan outward-looking atau mempunyai visi yang luas dalam dunia internasional, jika Indonesia ingin lebih unggul dari negara-negara lain di masa krisis ini.
Lantas, kriteria pemimpin outward-looking seperti apa yang dibutuhkan oleh seorang capres Pilpres 2024?
Kita Butuh Seorang Diplomat?
Ada dua kisah menarik dari politik luar negeri Jokowi setelah konflik Rusia-Ukraina meletus.
Pertama, adalah terkait Presidensi Indonesia di G20. Seperti diketahui, semenjak konflik terjadi, Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat mendorong Indonesia untuk tidak mengundang Presiden Rusia, mereka pun mengatakan bahwa Indonesia seharusnya mengundang Ukraina jika ingin pertemuan yang dijalankan mendapatkan solusi yang efektif.
Meski pertama-tama berusaha tidak tampak memihak, Indonesia akhirnya menyetujui bahwa Zelensky perlu diundang ke pertemuan 20 negara ekonomi terbesar di dunia tersebut, walaupun Ukraina bukanlah negara anggota.
Kedua, adalah saat Jokowi menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di AS pada awal Mei lalu. Ketika itu, Jokowi tidak disambut oleh pejabat-pejabat AS. Meski ada beberapa pembelaan, seperti karena ini adalah pertemuan multilateral maka tidak perlu disambut, kenyataannya, negara tetangga kita yakni Singapura justru disambut oleh Presiden Joe Biden sendiri.
Beberapa pengamat, seperti Rocky Gerung, mengartikan ini terjadi akibat ketidakmampuan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi dalam melobi pejabat AS agar Presiden Jokowi bisa diberikan prioritas.
Dari dua contoh ini saja, kita bisa melihat bahwa penting sekali bagi seorang presiden di era krisis ini untuk memiliki citra internasional yang bagus. Lantas, bagaimana capres 2024 nanti bisa memperbaiki ini?
Well, setidaknya ada tiga kriteria yang perlu dipenuhi oleh capres “diplomat” Indonesia nanti. Pertama, dan hal yang paling mendasar, yakni kelihaian berbahasa Inggris. Meski sering dianggap enteng, hal ini sesungguhnya adalah keperluan yang sangat krusial. Mantan Presiden AS, Theodore Roosevelt bahkan pernah mengatakan, “if you can’t speak English, go home”.
Meski secara sekilas tampak bersifat supremasis, perkataan Roosevelt ini ada benarnya karena Bahasa Inggris masih menjadi bahasa utama yang digunakan oleh para negara maju. Tentunya, jika ingin menyampaikan dan mendengarkan sesuatu dalam diplomasi, kemampuan Bahasa Inggris akan sangat membantu keputusan seorang Presiden, karena ia bisa menalarkan logika di balik pernyataan lawan bicaranya tanpa menggunakan interpretator atau kamus.
Di dalam studi bahasa, manfaat ini diberi istilah metalinguistic awareness atau kesadaran berbahasa.
Karen Roehr-Brackin dalam tulisannya Metalinguistic Awareness and Second Language Acquisition, menilai bahwa dengan memahami bahasa kedua, khususnya Bahasa Inggris, seseorang bisa memiliki kemampuan menjadikan bahasa yang ia pelajari sebagai bahan refleksi dan menyusun penilaian yang mendalam tentang suatu kalimat, dengan mengikuti intuisi atau pengetahuan linguistik yang ia dapatkan. Karena itu, penting sekali bagi capres 2024 untuk memiliki kelihaian berbahasa Inggris.
Kedua, capres 2024 juga harus memiliki wawasan geopolitik yang mendalam dan luas. Ali Hamdan, pengajar non-residen Studi Geopolitik di Universitas George Washington mengatakan bahwa meski saat ini dunia semakin “global”, menjaga citra negara dalam geopolitik masih menjadi hal yang penting sekaligus bertambah rumit.
Karena adanya perkembangan zaman, kini untuk benar-benar memahami geopolitik seseorang harus juga melihat korelasi politik internasional terhadap aspek budaya (geocultural), ekonomi (geoeconomics), baru kemudian hal-hal yang memang sejak dulu memang jadi kajian geopolitik, yakni militer dan politik itu sendiri.
Sebagai penjelasan singkat, geopolitik dalam budaya adalah kelihaian seseorang dalam memahami nilai dan norma seperti apa yang berlaku di suatu negara atau kawasan. Aspek ekonomi bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menelusuri kerja sama dengan negara mana yang lebih strategis dari segi geografis.
Ketiga, capres 2024 pun perlu memiliki strategi internasional atau geostrategi yang kuat. Mengapa geostrategi ini penting? Well, ini karena secara geografis Indonesia memiliki posisi yang sesungguhnya bisa dijadikan sebagai kekuatan.
Pemerintah Orde Baru sepertinya menyadari ini, karena pada zaman itu Indonesia pernah memiliki formula politik luar negeri yang disebut Concentric Circle atau Lingkaran Konsentris.
Sederhananya, Lingkaran Konsentris ini mengarahkan strategi politik luar negeri Indonesia melalui beberapa seri lingkaran prioritas. Lingkaran prioritas pertama adalah Asia Tenggara, lingkaran kedua adalah tetangga Asia Pasifik – seperti Australia dan Kepulauan Pasifik -, lingkaran ketiga adalah Timur Tengah dan Afrika, lingkaran keempat baru hubungan dengan negara besar seperti AS dan Eropa.
Mantan Menlu Ali Alatas, sebagai penggagas lingkaran ini, meyakini bahwa stabilitas geopolitik dan citra politik Indonesia di panggung global bisa terjamin bila kita menjalankan geostrategi yang berlandaskan urutan lingkaran-lingkaran tersebut. Jika Indonesia kuat lebih dulu di ASEAN, maka strategi-strategi internasional sekiranya akan lebih mantap dan stabil untuk dijalankan.
Oleh karena itu, layaknya capres 2024 juga mampu merevitalisasi Lingkaran Konsentris.
Itulah tiga kriteria “diplomat” yang perlu dimiliki capres 2024 nanti. Sekarang tinggal pertanyaan besarnya, siapa kira-kira yang paling relevan?
Militer Lebih Memenuhi Kriteria?
Corneliu Bjola dalam tulisannya Diplomatic Leadership in Times of International Crisis menyebutkan ada tiga tipe diplomat, yakni maverick diplomat, congregator diplomat, dan pragmatist diplomat.
The maverick adalah pemimpin yang memiliki visi yang kuat, the congregator adalah diplomat pemimpin yang bisa membangun konsensus tetapi tidak memiliki visi yang kuat, dan the pragmatist adalah yang mengejar hubungan mutual asal menguntungkan.
Melihat dinamika global sekarang, ketika dibutuhkan gagasan yang kuat tidak hanya untuk menjamin, tetapi juga untuk memperkuat posisi internasional Indonesia, maka sepertinya tipe pemimpin maverick-lah yang dibutuhkan di Pilpres 2024 nanti.
Berkaitan dengan itu, secara gamblang, tampaknya pemimpin yang memiliki latar belakang militer cukup relevan jika ingin mencari sosok yang mampu membangun politik luar negeri yang lebih strategis, tetapi visioner.
Pertama, karena orang militer familiar dengan keadaan geopolitik, khususnya kawasan Asia Tenggara, kedua, karena orang militer juga terbangun untuk punya pola pikir yang strategis.
Tom Kolditz dalam tulisannya Why the Military Produces Great Leaders, menjelaskan bahwa pemimpin berlatar militer cenderung menjadi pemimpin yang lebih baik dari latar belakang lainnya karena mereka dibentuk oleh serangkaian tahapan progresif dalam hidupnya, mulai dari pelatihan mental dan fisik, pendidikan, dan pengalaman yang membuatnya lebih disiplin dan lebih mampu memilih keputusan karena telah beberapa kali mengalami keadaan yang tertekan.
Ini beresonansi dengan apa yang dikatakan oleh penulis ternama AS, Alvin Toffler. Dalam bukunya yang berjudul Future Shock, Toffler meyakini bahwa perumusan strategi yang baik membutuhkan pola pikir yang terbiasa dihadapkan pada situasi pengambilan keputusan. Kalau kita interpretasikan, ini tentunya adalah keunggulan yang dimiliki kalangan pemimpin militer.
Oleh karena itu, jika pada Pilpres 2024 nanti Indonesia ingin menjadi negara yang lebih besar dan lebih mampu beradaptasi dengan dinamika geopolitik, maka sepertinya pemimpin militer kembali menjadi pilihan yang menggiurkan.
Terkait itu, melihat bursa capres 2024 yang populer, tampaknya sosok seperti Prabowo Subianto, Andika Perkasa, Gatot Nurmantyo, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) perlu kita perhatikan.
Jika Indonesia kembali memiliki Presiden berlatar militer, isu-isu strategis seperti Laut China Selatan (LCS) dan konflik Ukraina-Rusia bakal mendapatkan perhatian lebih. Isu kerja sama ekonomi mungkin akan tetap menjadi perhatian, tetapi itu akan dilandaskan pada pertimbangan geoekonominya, dan jika demikian, maka kembali isu keamanan tetap jadi faktor utama dalam perumusan kebijakan luar negeri.
Namun ini semua tentu kembali pada pilihan rakyat, sudah siapkah rakyat memiliki Presiden berlatar militer lagi? (D74)