Polemik presidential threshold (preshold) mencuat kembali jelang Pilpres 2024. Preshold 20 persen dianggap berpotensi menyebabkan beberapa tokoh yang dijagokan untuk maju sebagai capres menjadi terhambat langkahnya. Lantas, mungkinkah preshold nol persen dapat terwujud?
Indonesia adalah negeri yang penuh dengan catatan politik unik. Keunikan itu mengalami evolusinya, di mana politik Indonesia mulai mendapatkan warnanya akhir-akhir ini, yaitu tentang perbedaan pandangan akan sistem demokrasi.
Muncul kelompok yang mengidam-idamkan demokrasi di Indonesia berjalan sesuai dengan track-nya, dengan asumsi dalam pemilihan presiden semua anak bangsa diberikan kesempatan untuk mencalonkan diri tanpa adanya syarat ambang batas atau presidential threshold (preshold).
Kampanye preshold nol persen menjadi narasi politik yang dikemukakan oleh pakar Hukum Tata Negara Refly Harun. Belakangan kampanye ini jadi sorotan publik, dikarenakan banyak pihak menginginkan peraturan tentang preshold direvisi, agar peserta pemilihan presiden lebih beragam latar belakangnya, tidak hanya berasal dari partai-partai besar saja.
Lewat sebuah video yang tayang di kanal YouTube-nya, Refly menyebut bahwa ia mendukung semua tokoh yang berpotensi maju di Pilpres 2024, seperti Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Airlangga Hartarto, Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo, Ridwan Kamil, dan Khofifah Indar Parawansa.
Menurut pengakuannya, Refly memberikan dukungan pada tokoh-tokoh tersebut karena ingin semua tokoh yang potensial baik di pusat maupun daerah bisa berlaga di Pilpres 2024. Lebih lanjut Refly menyoroti dampak diterapkannya preshold yang berpotensi menyebabkan beberapa tokoh yang dijagokan untuk maju sebagai capres menjadi terhambat langkahnya.
Bagaikan bola salju, kampanye Refly ini pun bergulir menjadi gugatan yang masif disuarakan banyak pihak, mulai dari warga sipil, mantan pejabat, hingga anggota DPD. Paling baru, gugatan juga datang dari 27 Warga negara Indonesia (WNI) dari luar negeri.
Semakin banyak elemen yang mendukung preshold nol persen ini, melahirkan pertanyaan besar. Dengan fakta telah ditolak di Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak 13 kali, apakah preshold nol persen punya peluang untuk dilaksanakan dalam sistem politik saat ini?
Baca juga: Kenapa Partai Tidak Gugat Preshold 20 Persen?
Dilema Multipartai
Sejatinya polemik gugatan preshold telah terjadi sejak beberapa kali pengalaman pemilu presiden. Namun kali ini, persoalan dimunculkan kembali sebagai bentuk protes oleh beberapa kalangan tokoh yang membangun narasi bahwa preshold menghalangi prinsip-prinsip demokrasi.
Seperti yang kita ketahui, preshold berlandaskan pada Pasal 222 dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik/gabungan partai peserta pemilu dengan persyaratan perolehan kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional.
Berbagai argumentasi menolak preshold menegaskan bahwa aturan ini membatasi ruang berdemokrasi. Dengan adanya ketetapan UU No. 7/2017, maka hanya partai yang saat ini menduduki parlemen yang dapat mengajukan calon presiden.
Selain itu, narasi gugatan merujuk pada nasib partai baru yang tidak dapat mengajukan calon lantaran pada pasal 222 disebutkan partai peserta pemilu dengan kriteria 20 persen untuk kursi parlemen atau 25 persen untuk suara nasional pada pemilu sebelumnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai regulasi yang mencederai prinsip demokrasi.
Sedikit berspekulasi, katakanlah preshold dihilangkan, seperti apa efeknya terhadap pemilih ketika menghadapi calon alternatif yang begitu banyak? Serta bagaimana partai baru yang belum tentu diakui oleh publik, serta apakah ada kaitannya dengan konsekuensi presidensial-multipartai yang ada di Indonesia?
Jika kita telisik, problematika sistem presidensial pada umumnya terjadi ketika dikombinasikan dengan sistem multipartai, apalagi dengan tingkat fragmentasi dan polarisasi yang relatif tinggi. Presidensialisme dan sistem multipartai bukan hanya merupakan kombinasi yang sulit, melainkan juga membuka peluang terjadinya deadlock dalam relasi eksekutif-legislatif yang kemudian berdampak pada instabilitas demokrasi presidensial.
Nassir Agustiawan dalam tulisannya Pengaruh Multi Partai Dalam Sistem Presidensil di Indonesia, meminjam pendekatan ilmuwan politik Mainwaring yang memberikan kesimpulan setelah mempelajari sistem presidensial di negara Amerika Latin, menyatakan bahwa kombinasi antara sistem presidensial dan sistem multipartai yang terfragmentasi adalah musuh stabilitas demokrasi.
Penerapan sistem multipartai di Indonesia bisa menjadi masalah yang serius karena paska reformasi, UUD memberikan kedudukan kepada parlemen yang begitu kuat dan cenderung berlebihan (legislative heavy).
Oleh karenanya, akan menjadi masalah jika Presiden tidak mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen, meskipun sejatinya sistem pemerintahan presidensial tidak tergantung dengan parlemen, karena parlemen tidak bisa melengserkan Presiden dan sebaliknya Presiden tidak bisa membubarkan parlemen.
Selain itu, Dimas Lazuardy Firdauz dalam tulisannya Bagaimana Jika Presidential Threshold Ditiadakan, mengatakan, jika preshold ternyata ditetapkan nol persen atau dihapuskan akan menciptakan banyak alternatif calon, maka polarisasi pemilih terhadap calon cenderung fleksibel, abstrak bahkan tidak terorientasi, atau praktik golput mungkin tidak terhindarkan.
Dapat kita katakan, polemik preshold nol persen ini adalah bagian unik yang lahir dari sistem demokrasi di negeri kita. Satu sisi, menganut sistem presidensial, dan sisi lain sekaligus sistem multipartai. Dari pernyataan yang telah disinggung di atas, selain menghambat pengambilan kebijakan, preshold nol persen juga berpotensi membuat praktek golput menjadi tidak terhindarkan akibat polarisasi calon yang banyak.
Lantas, jika demikian masalah yang membayangi skema preshold nol persen, kenapa para tokoh masih memperjuangkan narasi ini?
Baca juga: Presidential Threshold Bikin Keki
Kondisi Alamiah Preshold
Filsuf Friedrich Nietzsche dalam kajiannya tentang eksistensialisme, mengartikulasikan pandangan kehidupan manusia dalam dua pandangan moral, yaitu moralitas tuan dan moralitas budak. Moralitas budak berkaitan dengan masalah keadilan dan perlindungan yang lemah. Disebut moralitas budak karena penekanan dan fokusnya adalah pada mereka yang tidak berdaya, dikendalikan atau dalam posisi minoritas.
Berbeda dengan moralitas tuan yang kukuh menantang dunia, mereka yang tergolong moralitas budak umumnya mengutuk dunia. Mereka kerap berlindung di balik dalih-dalih moralitas untuk membenarkan kekalahannya.
Jika diabstraksikan, sekiranya pandangan Nietzsche di atas dapat memotret fenomena para tokoh politik yang tidak laku di partai politik. Alih-alih mengikuti aturan tentang preshold yang telah ada, para tokoh masih tetap memperjuangkan preshold nol persen. Kebanyakan dari mereka adalah tokoh yang ingin terlibat dalam politik elektoral, tetapi tidak mempunyai kendaraan politik, yaitu partai politik.
Padahal, dalam pemilu seorang calon presiden misalkan, memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tentunya biaya politik seperti itu sulit ditanggung oleh individu, di sinilah perlunya partai politik, bahkan gabungan atau koalisi partai untuk bekerjasama memenangkan calon dalam pilpres.
Senada dengan hal tersebut, Toto Izul Fatah, peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia, mengatakan bahwa seorang calon presiden harus menyediakan dana di atas Rp 1 triliun untuk bersaing dalam pesta demokrasi lima tahunan itu.
Menurut Toto, dalam sebuah program yang terukur, pos-pos pengeluaran seorang calon antara lain sosialisasi media untuk pengenalan calon. Hal ini meliputi door to door campaign, pesan pendek (SMS) blast, serta media ruang publik seperti baliho, iklan, dan spanduk.
Pada tahap pertama, yakni untuk pengenalan calon bisa mencapai Rp 200-Rp 500 miliar. Nilai tersebut belum mencakup keperluan untuk membuat seorang calon disukai calon pemilih. Selain itu, masih ada tahap membangun kesan bahwa seorang calon mempunyai kapasitas dan kualitas yang juga menelan biaya.
Baca juga: Jokowi: Presidential Threshold 20 Persen!
Tahap berikutnya adalah upaya upgrading dan downgrading, yakni mengangkat citra calon dan/atau menjatuhkan kompetitor yang oleh banyak orang sering diterjemahkan sebagai kampanye hitam atau kampanye negatif.
Selain itu, ada pengeluaran lain yang tidak bisa dihindari, yakni membayar saksi pengawal suara, dengan asumsi Rp 200 ribu-Rp 300 ribu per saksi. Jika merujuk jumlah TPS pada Pemilu 2019 yang sebanyak 810.329 TPS, setidaknya untuk saksi dibutuhkan Rp 162 miliar.
Dalam kondisi normal, pos pengeluaran seorang calon meliputi empat tahapan tersebut. Namun, apabila seorang calon presiden tergoda melakukan money politic, maka ongkos kandidat akan lebih besar lagi.
Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menanggapi terkait biaya untuk menjadi presiden bisa mencapai triliunan, menyebutkan pencalonan pilpres memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Menurut berbagai pihak, totalnya disebut bisa mencapai Rp 7-9 triliun.
Pada akhirnya, calon akan butuh partai untuk menunjang mesin politik yang begitu mahal. Secara alamiah preshold tetap akan ada, bukan hanya karena ini bagian dari solusi presidensial multipartai saja, melainkan juga secara matematika pemilu, calon membutuhkan ongkos besar yang menandakan ia membutuhkan partai bahkan koalisi partai untuk dapat berlaga dalam politik elektoral. (I76)
Baca juga: Presidential Threshold Hilang, Jokowi Tumbang?