Jelang tahun politik, Partai Gerindra dan Demokrat sudah mulai menjajaki kemungkinan untuk menjalin koalisi. Bagaimana prediksi koalisi di Pilpres 2019 nanti, berdasarkan sepak terjang partai politik saat ini?
PinterPolitik.com
“Dalam setiap keberhasilan koalisi, pada akhirnya akan menemukan kalau kemenangan mereka begitu singkat.” ~ Benjamin Disraeli, Mantan Perdana Menteri Inggris
[dropcap]P[/dropcap]erpolitikan Indonesia belakangan ini berjalan begitu dinamis, terutama dalam menyambut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Beberapa partai bahkan sudah mulai mengatur strategi menyambut tahun politik tersebut, termasuk kemungkinan koalisi dengan partai politik (parpol) lainnya.
Di tingkat Pilkada, pergerakan dan hitung-hitungan kepentingan untuk berkoalisi begitu cair diantara parpol. Kepentingan koalisi antar parpol umumnya terjadi hanya untuk dapat mengusung kader atau sosok yang memungkinkan mereka meraih suara terbanyak dan memenangi kontestasi tersebut.
Lain halnya dengan koalisi dalam Pilpres. Koalisi antar parpol yang terbangun, bukan semata-mata untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Sebab keberpihakan parpol akan sangat terikat dengan berbagai kepentingan dan lobi politik yang jauh lebih besar – termasuk dalam kebijakan-kebijakan pemerintah.
Hadapi Pilpres 2019, Begini Rencana Formula Koalisi Gerindra https://t.co/C2qttCqg86 via @po_st
— Fadli Zon (@fadlizon) July 28, 2017
Kepentingan akan keberpihakan inilah yang kemudian menimbulkan ‘kubu’. Sejauh ini, kubu yang terbentuk sejak Pilpres 2014 adalah kubu pendukung pemerintah dan oposisi, sementara Demokrat berdiri sendiri sebagai partai ‘penyeimbang’. Posisi abu-abu atau netral ini memungkinkan Demokrat ‘bergerak bebas’ sesuai kepentingannya.
Berbeda dengan Gerindra. Partai andalan Prabowo Subianto ini memilih menjadi oposisi yang selalu mengkritik dan nyaris berupaya menjatuhkan pemerintah. Dalam pergerakannya, Gerindra berhasil menarik PKS untuk bergabung dalam kubunya. Menyusul PAN yang ‘berkhianat’ dari kubu pendukung pemerintah walau ada kadernya yang duduk di kabinet.
‘Keberhasilan’ Gerindra merebut PAN menjadi oposan, membuat Wakil Ketua Umumnya Fadli Zon, memastikan kalau mereka juga akan berupaya merangkul partai-partai lain, terutama Demokrat. Apalagi saat ini Demokrat belum terlihat memiliki sosok maupun kader yang dapat diusung sebagai calon presidennya sendiri. Sehingga posisi ini menguntungkan bagi Gerindra yang akan kembali mendukung Prabowo.
Mungkinkah ambisi Gerindra ini bisa menjadi nyata? Lalu parpol mana lagi kiranya yang mungkin ‘membelot’ dari kubu pendukung pemerintah? Apakah mungkin PDI Perjuangan salah satunya?
Faktor Utama Koalisi Parpol
“Koalisi adalah kerja organisasi-organisasi secara bersama untuk mencapai tujuan atau kehendak bersama.” ~ Cenap ÇAKMAK, Coalition Building in World Politics.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, koalisi parpol ditingkat nasional terbentuk berdasarkan beberapa faktor. Menurut Peneliti dari Cambridge University, Sidney G. Tarrow dalam bukunya “Strangers at the Gates: Movements and States in Contentious Politics”, setidaknya ada empat faktor yang mendasari sebuah koalisi terbentuk.
Selain kepentingan akan kekuasaan, anggota koalisi juga umumnya memiliki tujuan sama, orientasi atau ideologi partai yang sama, serta komitmen berbagi diantara mereka. Sehingga, koalisi di Pilpres bukan sekedar koalisi untuk mencari suara (vote seeking) tapi juga sebagai alat pencari kekuasaan (power seeking).
Berkaca pada Pilpres 2014 lalu, kita bisa melihat orientasi parpol dalam melakukan koalisi. Karena ketika memenangkan kontestasi lalu, Jokowi hanya didukung oleh PDI Perjuangan, PKB, NasDem, Hanura, dan PKPI.
Sementara di kubu oposisi, Gerindra memotori legislatif dengan membangun Koalisi Merah Putih (KMP) yang juga didukung oleh PAN, PPP, PKS, PBB, dan Partai Golkar. Sementara Demokrat, walau memiliki jumlah kursi cukup besar di parlemen, memilih untuk bersikap netral. Ini memperlihatkan kalau Demokrat tidak melihat koalisi dari segi ideologi, kekuasaan, maupun komitmen, tapi berdasarkan tujuan yang sama.
Ketika PPP, PAN, dan Golkar memilih hengkang dari kubu oposisi, Koalisi Merah Putih (KMP), dan bergabung ke koalisi pendukung pemerintah, sikap ini memperlihatkan kalau kekuasaan menjadi kepentingan utama bagi ketiga partai tersebut. Namun belakangan, PAN kembali membelot dan lebih sering berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Bisa jadi, karena PAN tidak seirama dengan laju parpol dalam koalisi lainnya.
Dalam tubuh PAN, walau tidak terpecah kepemimpinannya seperti yang terjadi pada PPP, namun ada dua kepentingan yang bertabrakan antara para petingginya. Bagi Ketua Umumnya, Zulkifli Hasan, berada di kubu pemerintah menguntungkan karena mereka mendapatkan jatah kursi di kabinet. Di sisi lain, Dewan Penasehat yang juga pendiri PAN, Amien Rais, memiliki ideologi yang berseberangan dengan pemerintah.
Memprediksi Arah Parpol
“Setiap koalisi memiliki permasalahan, layaknya setiap pasangan yang menikah.” ~ Arthur Hays Sulzberger, penerbit The New York Times
Tiga tahun pemerintahan Jokowi, kondisi koalisi pendukung pemerintah cenderung ‘satu suara’, bila PAN tidak termasuk di dalamnya. Namun diantara parpol yang ada di kubu ini, juga tak bisa dipungkiri kalau ada parpol-parpol yang mudah menyeberang ke sana kemari. Menurut Tarrow, parpol yang memiliki suara minoritas di parlemen memang cenderung beralih dukungan atas dasar kepentingan kekuasaan.
Selain PAN, partai lainnya yang kemungkinan “pindah ke lain hati”, adalah PPP. Dualisme kepemimpinan di internal PPP, memiliki potensi untuk berpindah ke kubu oposisi kembali. Apalagi kubu Ketua Umum PPP pimpinan Djan Fariz kini berseteru dengan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly yang merupakan kader PDI Perjuangan.
Sementara PKB, walau sejak awal masih setia mendukung pemerintahan Jokowi, namun dukungan ini pun berpotensi untuk berganti. Penyebab yang paling mungkin adalah karena Ketua Umumnya, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) memiliki ambisi untuk ikut maju di Pilpres 2019 nanti. Sehingga keberpihakan PKB kemungkinan besar lebih pada berkoalisi untuk meraih kekuasaan.
Lalu bagaimana dengan NasDem dan Hanura? Sejauh ini kedua parpol tersebut masih menjadi parpol penurut bagi pemerintah, terutama Jokowi. Pendiri Hanura, Wiranto, mendapatkan posisi yang cukup strategis sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang memiliki wewenang penting dalam menjaga stabilitas negara.
Begitu juga dengan NasDem, sejauh ini partai milik Surya Paloh ini cukup puas dengan jatah dua kursi di kabinet dan penguasa Kejaksaan Agung. Berbeda dengan parpol pendukung pemerintah lainnya, NasDem bahkan sudah mendeklarasikan kesediaannya untuk kembali mendukung Jokowi di 2019 nanti.
Dukungan koalisi NasDem maupun Hanura, bisa jadi atas pertimbangan keempat faktor yang telah terpenuhi. Sebab selain mendapatkan kekuasaan, baik Hanura maupun NasDem juga memiliki ideologi yang sama dengan pemerintah, dalam hal ini Jokowi, begitu pula tujuan dan komitmen yang ingin mereka bangun bersama.
Sementara itu sebagai partai kedua terbesar di koalisi pemerintah, dukungan Golkar memiliki arti yang cukup penting bagi Jokowi. Selain memiliki kursi cukup besar di parlemen dan sebaran kader yang nyaris merata di setiap wilayah, Golkar dapat menjadi partai alternatif bagi Jokowi bila PDI Perjuangan enggan mengusungnya lagi di 2019.
Dari segi loyalitas, Golkar memang merupakan partai yang terkenal ingin selalu dekat dengan kekuasaan. Sehingga dengan elektabilitas Jokowi yang cukup tinggi saat ini, kemungkinan Golkar untuk tetap loyal dengan pemerintah cukup tinggi. Apalagi Ketua Umumnya, Setya Novanto juga telah berhasil “dijinakkan” oleh Jokowi melalui KPK.
Posisi Golkar ini berbeda dengan partai pengusung Jokowi di 2014 lalu, karena posisi PDI Perjuangan saat ini malah mulai dipertanyakan. Selain kekuasaan, komitmen dan tujuan bersama antara Jokowi dengan Megawati kemungkinan besar menjadi penyebab lepas kongsi. Walau dugaan ini sempat ditepis, namun berbagai pernyataan dari petinggi PDI Perjuangan pun belum terlihat adanya komitmen untuk tetap bersama di 2019 nanti.
Sebaliknya, Demokrat yang berada di posisi abu-abu, kelihatannya mulai mengambil ancang-ancang untuk mulai menjalin koalisi. Walau Gerindra berupaya untuk merangkul partai dengan suara terbesar keempat ini, namun tampaknya Demokrat akan tetap berpegangan dengan prinsip tujuan yang sama dalam berkoalisi. Mungkinkah Jokowi memiliki tujuan yang sama dengan Demokrat? (R24)