Tertangkapnya tiga pelaku pedofil yang beroperasi melalui media sosial, mengejutkan masyarakat. Waspada, predator anak (masih) merajalela di sosial media!
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]S[/dropcap]iapa yang tidak suka melihat anak-anak? Mereka begitu lucu dan menggemaskan. Bahkan Jokowi saja mengaku selalu merindukan cucu pertamanya yang usianya masih di bawah tiga tahun (batita), Jan Ethes Sri Narendra. Langkah mungilnya yang tertatih-tatih dan suara tawanya yang menular, membuat orang dewasa rela melakukan apa saja demi kebahagiaannya. Bahkan bagi seorang presiden sekalipun!
Tapi tidak semua anak-anak beruntung seperti Jan Ethes, dikelilingi keluarga yang mencintainya dan juga kawalan pasukan pengawal presiden (Paspampres). Di luar sana, begitu banyak anak-anak yang tidak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, baik secara fisik, mental, maupun seksual. Semakin lama, para predator anak yang kerap disebut pedofilia sepertinya semakin banyak jumlahnya. Mereka tak hanya mencari gadis kecil tapi juga bocah kecil sebagai sasaran kelainan seksualnya.
Tertangkapnya tiga pelaku pedofil yang beroperasi di media sosial oleh Dirteskrimsus Polda Metro Jaya, membuat semua orang – bukan orangtua saja – terhenyak. Lebih terpana lagi ketika polisi menyatakan kalau kelompok ini memperjualbelikan sekitar 750 ribu gambar dan video pornografis yang dilakukan oleh lelaki dewasa pada seorang bocah laki-laki. Sintingnya lagi, gambar dan video ini disebarkan melalui grup pedofil yang disebut Video Gay Kids (VGK) Premium dengan harga murah, yaitu Rp 100 ribu untuk 50 video!
Kasus Video Gay Anak, KPAI Akan Undang Twitter https://t.co/jGglxBLFLI
— Handika Dhitayana (@Handika2311) 17 September 2017
Lebih miris lagi, sebagian besar anak-anak yang menjadi korban pelaku berwajah Melayu. Bahkan polisi memastikan mereka berasal dari Indonesia, padahal penjualan gambar dan video tersebut tersebar ke hampir 49 negara. Sungguh operasi asusila yang luar biasa sekaligus begitu memalukan negara. Sebegitu lemah kah penjagaan anak-anak di Indonesia, sehingga para pedofil tersebut mampu melaksanakan kejahatan begitu mudahnya? Bisakah kita menyalahkan orangtua mereka yang tak mampu menjaga buah hatinya? Ataukah negara dengan segenap aparat keamanannya?
Terjangan monster PPC di Kendari dan terbongkarnya kelompok predator pedofilia, membuktikan kalau anak-anak Indonesia masih sangat rentan posisinya. Kadang jeratan ekonomi dan kurangnya pengetahuan orangtua, menjadi mata rantai yang membuat permasalahan perlindungan anak menjadi lingkaran setan yang menyedihkan. Sudah lelah rasanya air mata mengalir menangisi permasalahan bangsa ini, namun bila keluarga dan negara saja tak mampu menjaga keamanan generasi berikutnya, lalu siapa lagi yang bisa? (R24)