Sejak kapan hukum praperadilan jadi trend bagi para koruptor?
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]esakitan hukum ‘termasyhur’ yang juga pimpinan tertinggi DPR RI, Setya Novanto (Setnov), akan menghadapi praperadilan kasusnya hari ini, Kamis (30/11). Kelompok yang fokus dan memusatkan perhatiannya pada isu pemberantasan korupsi, seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), sudah mengambil ancang-ancang untuk menilik dan mengali latar belakang Hakim Kusno, hakim yang akan mengadili Setnov.
Hal ini dinilai perlu dilakukan, agar publik dapat memberi pengawasan terhadap proses peradilan dan sidang yang berlangsung. Tujuannya agar publik dan media memastikan sidang berjalan adil dan sesuai dengan bukti-bukti yang diajukan ke ruang pengadilan.
Latar belakang dan sepak terjang seorang hakim, dianggap mampu memberikan gambaran keputusan yang akan diambilnya saat sidang putusan. Dalam persidangan ini, Hakim Kusno akan berhadapan dengan ‘protes’ Setnov terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tak mengindahkan prinsip “ne bis in idem” dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh institusi anti rasuah tersebut.
Merujuk pada pasal 76 ayat (1) KUHAP, “ne bis in idem” memiliki makna seseorang tak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat putusan dan berkekuatan hukum tetap. Setnov bersikeras jika KPK kembali menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi dengan menggunakan alat bukti yang sama, maka penetapan status tersangkanya tidak sah.
Hakim Kusno sendiri tercatat sudah empat kali membebaskan terdakwa korupsi sepanjang karir kehakimannya. Para terdakwa korupsi itu adalah Dana Suparta di tahun 2013, Muksin Syech M. Zein di tahun 2013, Riyu dan Suhadi Abdullani. Dari sini, ICW melihat ada peluang bagi Setnov kembali lolos di tangan Kusno.
Namun begitu, Kusno juga tercatat selalu menolak semua gugatan praperadilan yang pernah ia sidangkan. Mengetahui kemungkinan perhatian publik akan besar terhadap sidang praperadilan itu, Kusno sendiri berjanji akan menangani kasus Setnov dengan profesional.
Lantas, sebetulnya apa dan bagaimana sejarah hukum praperadilan berlaku dan terjadi di Indonesia?
Serba Serbi Praperadilan
Hukum praperadilan diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 1 angka 10, pasal 77 a/d Pasal 83, Pasal 95 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 97 ayat (3), dan Pasal 124.
Hukum praperadilan mengatur hak tersangka/terdakwa dalam mengajukan keberatan terhadap perlakuan aparatur hukum dalam empat hal, yakni penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan.
Dalam praktik hukum, seringkali ketentuan UU tak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyatanya merupakan bentuk pelanggaran hak asasi, sehingga yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari negara.
Hal ini dianggap sebagai sebuah terobosan hukum yang baik. Cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia yang sangat penting. Hukum bukan hanya aspek normatif yang diukur dari kepastiannya, tetapi juga values atau nilai yang terus berkembang, dinamis, dan terbarukan, sesuai dengan keadaan masyarakatnya.
Amerika Serikat juga mengenal sistem hukum praperadilan yang disebut sistem pre-trial. Di Amerika Serikat sendiri, pre trial ini memiliki tiga acara proses yang meliputi arrangement (sangkaan dibacakan di depan hakim dan ditanyakan sikap bersalah atau tidak), preliminary hearing (ada tidaknya alasan kuat tersangka telah melakukan pidana), dan pre trial conference (perencanaan sidang pengadilan, termasuk hak-hak berperkara dan pembuktian).
Pada proses pre trial conference, pengadilan di Amerika Serikat sama sekali tidak melakukan pengajuan dan penyidikan terhadap alat bukti berkaitan dengan sangkaan terhadap tersangka, sebab kontrol keabsahan perolehan alat bukti dari penegak hukum diselaraskan dari exclusionary rules pada saat pemeriksaan sangkaan di persidangan pokok, yaitu court trial dan bukan pengadilan pre trial.
Di Indonesia, sistem praperadilan dibangun dan dipahami berdasarkan KUHAP, untuk melihat norma kewenangan penegak hukum, tetapi juga perlindungan hak asasi seorang tersangka sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di muka hukum,”
Awalnya cara pandang praperadilan di Indonesia muncul saat kasus Sengkon dan Karta, yang menjadi titik balik lahirnya peninjauan kembali sistem hukum tanah air. Karta dan Sengkon dianggap sebagai pembunuh sepasang suami istri di tahun 1974. Mereka menolak segala tuduhan perampokan dan pembunuhan sadis tersebut, serta menolak menandatangani berita acara pemeriksaan.
Setelah beberapa waktu, ternyata pelakunya mengaku, dan ia adalah Genul, keponakan Sengkol yang sudah lebih dahulu masuk penjara Cipinang lantaran kasus pencurian. Bobroknya sistem hukum, membuat Sengkon dan Karta tetap mendekam meski pembunuh aslinya sudah divonis. Mereka dianggap tak mengajukan banding, sehingga vonis kepada keduanya dianggap berkekuatan hukum tetap. Mereka dibebaskan beberapa waktu kemudian, dalam keadaan sakit dan miskin, sebab menanggung beban membiayai perkaranya dan tak bisa bekerja karena disiksa dalam penjara.
Dalam hukum, wujud perlindungan hak asasi juga telah diatur dalam KUHAP yang mengatur ketentuan tata cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Jadi dari sana, dalam wilayah hukum praperadilan, hukum tak tak hanya mempersoalkan kebenaran tindakan hukum atas suatu perkara, tetapi juga tindakan hukum yang bersinggungan dengan perlindungan hak asasi setiap tersangka.
Bermula Dari Sarpin
Namun di Indonesia pemberlakuan hukum praperadilan tak sesederhana dan semudah itu. Sebuah langkah dan terobosan cara pandang hukum agar para penegak hukum menggali objek atau suatu kasus abstrak secara gramatikal, historis, teologis, dan sejarah, kini malah digunakan untuk mempersempit interpretasi hukum dan lebih buruk lagi, melakukan konstruksi hukum. Sidharta, pegiat hukum progresif dari Bina Nusantara berkata bahwa dalam konstruksi hukum, sesuatu yang tak ada menjadi ada.
Ia mengambil contoh bagaimana hukum praperadilan dimainkan sedemikian rupa oleh Hakim Sarpin saat mengabulkan praperadilan Budi Gunawan. Dalam konteks Sarpin, yang terjadi adalah penetapan tersangka (yang tak ada diatur dalam teks KUHAP) dibuat menjadi ada. “itu sudah konstruksi sebetulnya. Hakim melakukan konstruksi hukum,” jelas Sidharta.
Penetapan tersangka tak bisa digeser maknanya menjadi upaya paksa. Sehingga putusan hakim dilihat dari metode konstruksi juga keliru. Sidharta juga menegaskan metode dalam putusan praperadilan Sarpin, tidak jelas. Sehingga Sidharta berkesimpulan bahwa putusan Sarpin untuk membebaskan Budi Gunawan, keluar dari norma penemuan hukum.
Tak Harus Menjadi Yurisprudiensi
Apa yang dilakukan Budi Gunawan terhadap hukum praperadilan, ramai-ramai diikuti oleh pesakitan hukum lainnya. Mulai dari mantan menteri agama Suryadarma Ali, mantan Ketua BPK Hadi Purnomo, hingga alm. Soetan Batugana. Dari sana, muncul sebuah istilah Sarpin effect, yakni hukum praperadilan digunakan oleh koruptor dan dikabulkan oleh hakim, sebab beberapa hakim menganggap putusan Sarpin bersifat yurisprudensi.
Yurisprudensi memiliki pengertian bahwa keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara yang tidak diatur dalam UU, dijadikan sebagai bahan pedoman bagi para hakim yang lain untuk menyelesaikan suatu perkara yang sama.
Mengambil sebuah keputusan sebagai yurisprudensi memang kembali pada sifat ‘personal’ seorang hakim sendiri. Chairul Huda, ahli pidana dari Univeristas Muhammadiyah mengatakan bahwa mengambil suatu kasus dan menjadikannya yurisprudensi, itu tergantung kepada hakim (mau atau tidak).
Namun begitu, sebuah putusan yurisprudensi, tak harus diikuti oleh semua hakim di Indonesia. Hakim memiliki kewenangan untuk mengikuti putusan yang sudah ada atau tidak. Dengan demikian, putusan Hakim Sarpin terhadap Budi Gunawan seharusnya tak mutlak dilihat sebagai yurisprudensi.
Tentu saja keputusan seorang hakim dalam menafsirkan suatu perkara tak mudah dan melalui berbagai tahapan. Sudah pasti seorang hakim akan mencocokkan fakta, aturan, dan barang bukti yang sah menurut hukum. Namun, bukan berarti tafsiran seorang hakim tak bisa dikualifikasi kembali.
Jika penetapan hukum terhadap suatu peristiwa tertentu kurang jelas, maka ia wajib memperjelas penafsirannya supaya tak menyimpang terhadap ketentuan umum. ‘Sebebas’ apapun seorang hakim membuat ‘penafsiran’ atau bahkan ‘penemuan’ hukum, selalu ada hal yang paling utama yang harus dipertimbangkan, yakni keadilan dalam masyarakat.
Nah, apakah hal tersebut mampu dilakukan oleh hakim-hakim lain yang berhadapan dengan praperadilan dari para koruptor? Berikan pendapatmu. (Berbagai Sumber/ A27)