Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dikabarkan memiliki daftar belanja alutsista yang cukup panjang. Prancis, AS, Rusia, bahkan Korea Selatan sempat disinggung menjadi potensi “toko” senjata. Kira-kira, negara mana yang paling tepat untuk dipilih Indonesia?
“You can do a lot more with weapons and politeness than just politeness alone,” – Vladimir Putin, Presiden Rusia
Pada saat masih dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Soeharto, beberapa pihak menjuluki Indonesia sebagai negara Singa Asia karena dianggap memiliki kapabilitas militer yang patut diacungi jempol.
Saat ini, tampaknya Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto berusaha kembali mendapatkan julukan tersebut dengan memperkuat alat utama sistem senjata (Alutsista) melalui sebuah rumusan daftar belanja mega dahsyat ke beberapa negara produsen teknologi militer.
Pertama, Prabowo disebutkan sangat ambisius ingin mendatangkan jet tempur multifungsi generasi 4.5 buatan Prancis, Dassault Rafale. Tidak tanggung-tanggung, kabarnya mantan Panglima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) tersebut berniat mendatangkan 30-40 unit jet tempur. Terkait hal ini, Prabowo pada akhir Juni lalu sempat menandatangani perjanjian kerja sama pertahanan dengan Menhan Prancis, Florence Parly.
Selain ke Prancis, Prabowo juga dikabarkan berniat membeli jet tempur siluman generasi ke-5, F-35 asal Amerika Serikat (AS). Namun, sayangnya pihak AS menolak “pinangan” Indonesia, dengan alasan Indonesia masih membutuhkan melakukan transisi teknologi untuk punya jet tempur generasi 5. Alasan lainnya adalah karena jet tempur canggih seperti F-35 hanya diberikan kepada sekutu terdekat AS.
Penolakan ini juga sempat membuat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan kesal, lantaran ketika dirinya menghadiri pertemuan dengan AS di Pentagon pada September 2020, AS sepakat untuk memberikan negara tetangga Indonesia, Singapura jet tempur F-35. Sementara itu, AS dikabarkan hanya berkeinginan menjual jet tempur F-16 Viper dan F-15 EX ke Indonesia. Dua jet tempur ini tergolong generasi ke-4.
Baca Juga: Prabowo dan Jebakan Pilihan Militer
Kemudian Prabowo juga dikatakan berniat membeli jet tempur SU-35 asal Rusia. Bahkan, dikatakan di tahun 2021 sendiri, Prabowo setidaknya sudah berkunjung tiga kali ke Kremlin.
Di belahan dunia yang lain, Prabowo diketahui sempat menghidupkan kembali proyek jet tempur siluman KF/IF-21 dengan Korea Selatan (Korsel). Namun, sayangnya akhir-akhir ini beberapa media mengabarkan Indonesia belum melunasi porsi pembayaran proyek tersebut. Padahal di awal sampai pertengahan tahun 2021, Prabowo disebut sering melakukan kunjungan ke Korsel terkait proyek ini.
Lantas, ke mana prioritas tempat belanja alutsista Prabowo? Dan kemudian, di antara negara-negara tersebut, faktor apa saja yang menjadi hambatan dan keuntungan bagi Indonesia?
Tidak Semudah Belanja di Supermarket
Transaksi jual-beli alutsista memiliki prosedur dan mekanisme yang cukup rumit dan berbeda-beda di setiap negara. Terlebih lagi, hal yang jarang diketahui orang adalah, dalam belanja alutsista, Indonesia sering menerapkan yang namanya skema ofset. Sederhananya, ini adalah hak-hak yang diperoleh pihak pembeli atas pembelian senjata, yang umumnya berbentuk alih teknologi, pemberian suku cadang, dan jaminan perawatan. Penggunaan skema ini diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 76 Tahun 2014.
Skema ofset ini menjadi penting karena ada beberapa negara yang menentangnya, contohnya seperti AS. Dengan adanya kebijakan Buy American Act, AS sangat ketat dalam menerapkan aturan penjualan teknologi canggih, terlebih lagi ke negara yang bukan bagian dari koalisi pertahanannya. Dan utamanya, dengan adanya kebijakan ini, AS menolak skema ofset negara pembeli dengan alasan menjaga kekayaan intelektualnya. Suatu pandangan yang mereka pelajari dari masa Perang Dingin.
Karena itu, pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie, mengatakan bahwa sepertinya mustahil bagi Prabowo untuk bisa membeli pesawat tempur canggih sekelas F-35 dari AS. Alasan utamanya tentu berkaitan dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang menganut prinsip bebas aktif. Jika Indonesia ingin memperoleh F-35 seperti Singapura, maka Prabowo harus meyakinkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk bergabung ke koalisi pertahanan AS.
Sementara, beberapa media kabar menyebutkan proyek jet tempur siluman KF/IF-21 mandek karena Indonesia ogah bayar. Tetapi, penulis berpandangan, selain karena faktor finansial, ada faktor penting lain yang harus kita sorot. Perlu diketahui bahwa proyek jet tempur antara Indonesia dan Korsel ini sangat mengandalkan teknologi dari perusahaan dirgantara AS, Lockheed Martin. Ini artinya, Indonesia kembali dihadapkan pada masalah yang sama seperti ketika ingin membeli F-35.
Berdasarkan keterangan dari Defense Industry Daily, disebutkan bahwa pada 2014 Lockheed Martin setuju membantu proyek KF/IF-21, akan tetapi mereka memblokir akses ke teknologi Radar AESA, Infrared Search and Track (IRST), perangkat pelacakan target elektro-optik, dan teknologi penghalau sinyal radio. Karena hal ini, pemerintah Korsel dan Indonesia perlu mengembangkan teknologi sendiri. Secara finansial dan teknis, hal ini membutuhkan sumber daya yang cukup besar.
Baca Juga: Mampu Prabowo Lawan “Mister M”?
Mantan Wakil Menhan, Wahyu Sakti Trenggono pernah menyampaikan kekhawatirannya terkait hal ini. Bahkan ia berkata bahwa Indonesia cenderung dirugikan di proyek KF/IF-21 karena hanya dapat 15 persen kepemilikan, lalu hanya diberi satu prototipe jet tempur.
Kalau Prabowo berniat membeli SU-35 ke Rusia, Indonesia terancam akan mendapat sanksi dari AS. Berdasarkan Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA), negara mana pun yang melakukan transaksi dengan sektor pertahanan Rusia harus menghadapi sanksi AS. Ini tentu adalah risiko yang terlalu besar bagi Indonesia, karena AS merupakan mitra yang sangat berharga.
Lalu, bagaimana dengan Prancis? Diketahui bahwa pemerintah Prancis tidak menerapkan adanya larangan skema ofset. Militer Prancis juga lebih mandiri, mereka tidak ketergantungan dengan teknologi dari AS. Kemudian, dengan adanya traktat Australia, Inggris, dan AS (AUKUS), banyak pengamat menilai kepemimpinan Joe Biden tidak terlalu mengandalkan aliansi dengan Prancis untuk Indo-Pasifik.
Sebagai nilai tambah yang bisa menjadi keuntungan Indonesia, Prancis memiliki arah politik ke Indo-Pasifik dengan adanya doktrin France’s Indo-Pacific Strategy dan kepemilikkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di kepulauan wilayah Oseania dan Samudera Hindia.
Lantas, bagaimana kita mengartikan faktor-faktor di atas dengan keputusan yang perlu diambil Prabowo, melihat situasi geopolitik saat ini?
Prancis, Pilihan Paling Tepat?
Sebagai upaya membaca taktik belanja alutsista Prabowo, kita perlu memiliki pandangan yang sama mengenai keperluan belanja alutsista. Belakangan ini, banyak yang memberi komentar negatif terkait pendanaan militer yang tinggi, dengan argumen bahwa kita tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk militer jika ancaman perang belum nyata. Pandangan seperti ini kurang tepat dalam konteks politik internasional.
Berdasarkan teori neorealisme defensif dari Kenneth Waltz, perlu dipahami bahwa meskipun sistem internasional saat ini sudah modern, jika dibandingkan dengan masa Perang Dunia, negara tetap memerlukan adanya kekuatan militer. Hal ini karena tatanan dunia sifatnya adalah anarkis, yang artinya tidak benar-benar ada yang bisa mengatur perilaku negara.
Karena sistem politik yang anarkis seperti inilah Indonesia menjadi terdorong untuk melakukan gerakan sosial yang sifatnya moderat dalam perpolitikan internasional, dengan berusaha semampu mungkin meminimalisir potensi konsekuensi politik dari negara lain.
Gerakan yang moderat ini berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan teori konstruktivisme yang disampaikan oleh Alexander Wendt, yang menjelaskan bahwa konsekuensi politik yang dapat terjadi, bisa diterawang dengan memahami ketegangan dan struktur sosial-politik yang terjadi di suatu kawasan, dalam konteks ini, adalah Indo-Pasifik. Oleh karena itu, dalam membaca taktik pembelanjaan alutsista Prabowo, kesadaran kita akan hal ini menjadi faktor yang penting.
Dan tampaknya, Prabowo menyadari itu. Dengan bergerak memperoleh alutsista ke negara-negara Eropa, seperti Prancis, Prabowo mampu menghindari akibat tidak diinginkan yang dapat muncul dari AS ataupun Tiongkok, dalam konteks jual beli jet tempur tentunya. Karena meskipun terkadang Prancis memiliki gesekan retorika politik dengan AS dan Tiongkok, dalam segi pertahanan, Prancis tidak pernah menimbulkan ancaman signifikan.
Baca Juga: Jepang, “Pelindung” Baru Prabowo?
Pengamat politik internasional Abraham Singh Yadav berpendapat bahwa Prancis tampaknya menyadari peran penting Indonesia di Indo-Pasifik, sehingga akan memiliki kepentingan tersendiri agar kebutuhan suku cadang, latihan, serta pengalaman tempur para pilot Indonesia terpenuhi secara optimal. Titik ini sangat penting dipahami secara politik international, di mana nilai mitra strategis Indonesia dapat diperhitungkan khususnya dalam konsepsi Indo-Pasifik.
Oleh karena itu, dengan belanja alutsista ke Prancis, Indonesia akan memperoleh dukungan kuat untuk selanjutnya digunakan agar dapat menjadi titik sentral dalam mengembangkan wilayah free and open Indo-Pacific yang disegani oleh musuh maupun kawan.
Di sisi lain, dalam jangka panjang maupun menengah, Indonesia akan untung, karena adanya proses alih teknologi dari Prancis. Secara ekonomi, ini dapat membuka banyak lapangan pekerjaan, dan secara teknologi, dapat mendorong kemandirian alutsista.
Pada intinya, tampaknya kita perlu terus mendorong Menhan Prabowo untuk terus memperdalam kerja sama teknologi militer dengan negara-negara maju dengan kriteria seperti Prancis. Hal-hal seperti ini yang jarang diperhatikan oleh khayalak, namun perlu diapresiasi. (D74)