Site icon PinterPolitik.com

Prancis Manfaatkan Ketakutan Prabowo?

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menerima Menteri Luar Negeri Prancis H.E. Jean-Yves Le Drian (Foto: Kemhan)

Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA) dari Amerika Serikat (AS) dianggap menjadi penyebab Indonesia membatalkan niatan membeli jet tempur SU-35 dari Rusia. Di sisi lain, Indonesia semakin gencar mendatangkan alat utama sistem senjata (alutsista) dari Eropa. Mungkinkah ada skenario tersembunyi yang menguntungkan produsen alutsista Eropa di balik aturan CAATSA? 


PinterPolitik.com 

Ketika Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu, Prabowo Subianto berulang kali menyampaikan dalam kampanye politiknya bahwa ia akan memperkuat kekuatan militer, khususnya modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setelah terpilih menjadi Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo sepertinya tidak ingin melupakan ambisi besarnya tersebut. 

Dalam dua tahun terakhir ini publik beberapa kali diramaikan oleh perbincangan tentang rencana pembelian alutsista udara dan laut mewah. Mungkin, yang paling populer adalah niatan Prabowo untuk membeli jet tempur canggih, seperti F-15 EX asal Amerika Serikat (AS), SU-35 asal Rusia, dan Dassault Rafale asal Prancis. Namun sayang, dari tiga jenis pesawat tersebut, SU-35 harus keluar dari daftar belanja modernisasi alutsista Indonesia. 

Pada Desember 2021, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal Fadjar Prasetyo mengatakan bahwa  pihaknya telah memutuskan untuk mengerucutkan daftar belanja jet tempur ke F-15 EX dan Dassault Rafale. Dengan berat hati, ia menyebutkan, Indonesia harus meninggalkan rencana pembelian SU-35.  

Fadjar mengklaim alasan pembatalannya adalah mengenai anggaran. Namun, sepertinya sudah menjadi rahasia umum bahwa ada alasan lain yang turut membatalkan pembelian jet tempur Rusia ini, yaitu Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA). Pada dasarnya, dengan aturan ini AS berhak menjatuhkan sejumlah sanksi pada negara yang melakukan transaksi senjata dengan Rusia, Iran, dan Korea Utara. 

Hal menarik yang perlu kita sorot adalah, meskipun aturan CAATSA membatasi pembelian senjata berasal dari AS, kenyataannya dengan adanya perangkat hukum ini, Indonesia malah lebih banyak membeli alutsista Eropa. 

Fenomena pembelian alutsista Eropa pun tidak hanya terjadi dengan Prancis. Faktanya, Prabowo telah melakukan pendekatan dengan banyak negara Eropa lain, contohnya seperti pembelian fregat Arrowhead 140 dari Inggris dan fregat Fincantieri FREMM dari Italia.  

Lantas, mungkinkah dengan adanya CAATSA, justru malah negara Eropa yang lebih diuntungkan? 

Baca juga: Prancis Pilihan Terbaik Prabowo?

Prancis Tunggangi CAATSA? 

Manuver pembelian alutsista yang menghindari ancaman CAATSA, dan mencari jalan aman ke Eropa tidak hanya terjadi di Indonesia. Melihat dari perkembangan berita sekarang, ini telah menjadi sebuah fenomena internasional. Mesir sebelumnya sudah lebih dahulu memborong 30 unit jet tempur Rafale, tetapi mereka kemudian disusul oleh Uni Emirat Arab (UEA) yang dikabarkan membeli 80 unit, ini membuatnya sebagai negara pembeli Rafale terbesar dalam sejarah. 

Alur cerita yang dilalui Mesir pun tidak jauh berbeda dengan skenario wacana pembelian jet tempur Rusia oleh Indonesia. Pada tahun 2019, sebelum membeli Rafale, dilaporkan bahwa pemerintah Mesir akan merealisasikan kontrak pembelian dua lusin SU-35. Tidak lama setelah itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS periode itu, Mike Pompeo melempar ancaman akan menerapkan sanksi CAATSA jika Mesir ingin melanjutkan transaksinya dengan Rusia. 

Cerita yang dimiliki UEA juga tidak kalah menariknya. Disebutkan dalam artikel di media BreakingDefense yang berjudul The UAE is buying the French Rafale. What does it mean for the F-35?, alasan UEA memborong Rafale adalah dikarenakan negosiasinya untuk membeli jet tempur F-35 dari AS mengalami kemandekan, akibat dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan potensi infiltrasi Rusia, yang dinilai AS dapat mencuri wawasan teknologi dari jet F-35. Oleh karena itu, mereka mendapatkan jawaban alternatif dengan mendekati Prancis. 

Dari cerita-cerita di atas, pantas jika kita curigai, adakah sebuah skenario tersembunyi dari sanksi AS yang bertujuan menguntungkan Prancis dan negara manufaktur alutsista Eropa? 

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES), Khairul Fahmi menduga kuat bahwa CAATSA sedari awal memang didesain untuk menjadi alat tekan, sekaligus perangkat untuk memperbesar peluang bisnis para sekutu AS dari Eropa. Buktinya pun ada di depan mata kita, karena setelah adanya CAATSA, negara Eropa mendapat banjiran pesanan alutsista dari negara yang sedang membutuhkan penguatan kapabilitas militernya, seperti Indonesia. 

Terlebih lagi, urgensi penguatan alutsista juga didorong oleh beberapa isu panas kontemporer, Fahmi mencontohkannya dengan pergolakan politik di Asia Tenggara setelah adanya pakta keamanan Australia, Inggris, dan AS (AUKUS). Ia menilai, pengumuman rencana pembangunan kapal selam bertenaga nuklir di Australia bukanlah skema pertahanan semata, namun juga sebuah skema bisnis.  

Karena dengan adanya AUKUS, negara-negara Asia Tenggara perlu menyesuaikan kebijakan pertahanan negaranya demi mempersiapkan diri akan konflik bersenjata yang bisa meletus kapan saja. Artinya, akan ada belanja senjata yang lebih besar di kawasan ini sebagai respons. Tentu saja ini adalah peluang bisnis yang bagus bagi negara manufaktur alutsista, bahkan sebelum kapal selam nuklir Australia ini benar-benar terrealisasi dan menjadi ancaman nyata. 

Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa negara Eropa seperti Prancis sesungguhnya telah “menunggangi” agenda politik AS. Apakah ada kong kalikong formal di belakangnya?  

Well, sepertinya itu hanya bisa kita imajinasikan. Yang jelas, praktik bisnis penunggangan seperti ini adalah hal yang sangat lumrah terjadi dalam perdagangan internasional, fenomena ini diberi istilah piggyback strategy atau strategi kuda-kudaan.  

Richard P. Nielsen dalam tulisannya Piggybacking Strategies for Nonprofits: A Shared Costs Approach, menjelaskan piggyback strategy adalah strategi pemasaran di mana dua entitas berkolaborasi dan memasarkan produknya masing-masing, di suatu pasar yang kompetitif, daripada bersaing satu sama lain. Dalam strategi ini, terdapat dua peran, yaitu peran penunggang (rider), dan peran pengangkut (carrier), yang ujung-ujungnya memiliki hubungan saling menguntungkan. 

Jika kita ingin menganalogikan apa yang dilakukan antara AS dan Prancis sebagai bentuk strategi piggyback, maka ini akan sangat masuk akal karena dengan mengalihkan pembelian alutsista negara Asia Tenggara ke dirinya dan Prancis, AS tidak hanya akan mendapatkan keuntungan dari penjualan jet tempur F-15, tetapi juga memperdalam pengaruh politiknya ke kawasan tersebut.  

Di sisi Prancis, selain mendapat keuntungan dari penjualan jet Rafale, mereka juga bisa menanamkan jangkar politik di wilayah kedaulatan kepulauan mereka di Indo-Pasifik. 

Lantas, jika memang Prancis “menunggangi” kepentingan politik AS sebagai peluang bisnis alutsista, apa yang harus dilakukan Indonesia? 

Baca juga: Macron, Kontender Ketiga Indo-Pasifik?

Ikut Bermain Saja? 

Meskipun secara awam apa yang dilakukan Prancis terlihat seperti eksploitasi, dari sudut pandang Indonesia, kehadiran alutsista Prancis sesungguhnya adalah sebuah peluang yang perlu dimanfaatkan secara maksimal. 

Brian Healy dan Arthur Stein dalam tulisannya The Balance of Power in International History: Theory and Reality mengenalkan konsep triadic balance. Konsep ini menjelaskan bahwa dalam sebuah dilema antara memilih dua kubu negara besar, suatu negara berkembang yang umumnya menjadi korban pertikaian, membutuhkan adanya alternatif ketiga sebagai jalan keluar yang bisa menempatkan mereka sebagai negara yang netral dan turut memproyeksikan keseimbangan kekuatan (balance of power). 

Baca juga: Saatnya Indonesia Berpihak di Indo-Pasifik

Prancis yang tidak memposisikan dirinya sebagai antagonis ataupun protagonis dalam persaingan perdagangan senjata internasional, menjadi pilihan yang paling masuk akal bagi Indonesia. Terlebih lagi, Prancis juga memiliki kepentingan di wilayah Indo-Pasifik, karena memang sebagian penduduk mereka tinggal di kepulauan-kepulauan yang tersebar di kawasan ini. 

Selain itu, perlu diketahui juga bahwa Prancis sangat memberikan toleransi terhadap penggunaan skema ofset. Singkatnya, ini adalah hak-hak yang diperoleh pihak pembeli atas pembelian senjata, yang umumnya berbentuk alih teknologi, pemberian suku cadang, dan jaminan perawatan.  

Indonesia memiliki prioritas menggunakan skema bisnis tersebut karena dianggap dapat memberikan dampak pengembangan teknologi yang berkesinambungan. Penggunaan skema ofset dalam belanja alutsista sudah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 76 Tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dari Luar Negeri. 

Penguatan alutsista sendiri adalah sebuah keniscayaan bagi Indonesia, karena seperti apa yang dikatakan ilmuwan politik, John J. Mearsheimer, dalam bukunya The Tragedy of Great Power Politics, kekuatan militer tidak hanya menjadi simbol kapabilitas pertahanan suatu negara, melainkan juga menjadi manifestasi kemajuan ekonomi. Dua variabel itu sangat penting dalam menciptakan daya tawar negara di pentas internasional. Terlebih lagi jika di kawasan negara tersebut terdapat suatu pemanasan situasi politik, seperti yang terjadi saat ini di Indo-Pasifik dengan isu Laut Tiongkok Selatan (LTS). 

Oleh karena itu, jika memang benar kepentingan dagang alutsista Prancis telah menunggangi CAATSA, itu tidak menjadi masalah yang besar bagi Indonesia.  

Karena pada akhirnya, yang perlu digarisbawahi dalam upaya pembelian alutsista oleh Indonesia ini sesungguhnya adalah mengenai pentingnya transfer teknologi. Menjalin hubungan perdagangan senjata yang erat dengan Prancis bisa menjadi salah satu cara mewujudkan tujuan besar Indonesia dalam rangka mengubah belanja sektor pertahanan menjadi investasi. (D74) 

Baca juga: ASEAN, Korban Pertama Hegemoni Tiongkok?

Exit mobile version