Dengarkan artikel ini:
Politik dinasti seakan-akan menjadi hal wajar dalam politik Indonesia meskipun ini bisa membawa efek candu yang berbahaya. Bagaimana kaitannya dengan Pramono Anung yang kini maju sebagai calon gubernur Jakarta?
“The road to power is paved with hypocrisy, and casualties” – Frank Under, House of Cards (2013-2018)
Dalam serial House of Cards (2013-2018), Frank Underwood digambarkan sebagai sosok yang terus-menerus haus akan kekuasaan. Ia memulai perjalanan politiknya dengan licik, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi.
Bersama istrinya, Claire, mereka berdua membangun kerajaan politik yang tampaknya tak tergoyahkan. Kekuatan politik bagi mereka bukan hanya alat untuk mencapai tujuan, tapi menjadi tujuan itu sendiri.
Semakin banyak kekuasaan yang mereka dapatkan, semakin besar pula keinginan untuk memiliki lebih banyak. Kekuasaan yang awalnya hanya alat untuk mengubah kebijakan, akhirnya berubah menjadi candu yang terus-menerus memanggil mereka untuk memegang kendali.
Frank dan Claire menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang bisa diraih sekali saja. Kekuasaan harus dipertahankan, diperluas, dan dipergunakan sebagai senjata untuk menjaga dominasi.
Kecanduan mereka terhadap kekuasaan tidak terhenti ketika mereka mencapai posisi tertinggi. Justru, mereka semakin terjebak dalam permainan politik yang semakin kompleks dan penuh tipu muslihat.
Kisah Frank dan Claire ini tidak asing dalam politik di banyak negara, termasuk Indonesia. Di sini, kecanduan terhadap kekuasaan juga bisa terlihat ketika tokoh-tokoh politik terus berusaha mempertahankan jabatan mereka dalam pemerintahan atau partai politik.
Seperti Frank, mereka tak pernah puas dengan apa yang telah diraih. Setiap periode kepemimpinan membuka peluang baru untuk memperkuat cengkeraman mereka, memastikan bahwa mereka tetap berada di puncak struktur politik.
Kekuasaan yang seharusnya bersifat sementara seringkali menjadi obsesi yang sukar dilepaskan. Dalam politik, seperti halnya di dunia House of Cards, kekuasaan adalah permainan tanpa akhir.
Lantas, bagaimana dengan dinamika politik di Indonesia? Mengapa ‘kecanduan’ seperti ini bisa berdampak buruk dalam kaitannya dengan sosok Pramono Anung, calon gubernur (cagub) Jakarta nomor urut tiga?
Kecanduan Dinasti Politik?
Kecanduan mungkin tidak hanya terjadi dalam ranah zat-zat adiktif seperti rokok, alkohol, atau obat-obatan terlarang. Kecanduan juga meliputi soal kekuasaan politik (power).
Di sisi psikologis, buku The Power Paradox: How We Gain and Lose Power oleh Dacher Keltner menjelaskan bahwa kekuasaan menciptakan rasa kendali dan superioritas yang bisa menimbulkan ketergantungan. Ketika individu atau keluarga merasakan kekuasaan, dorongan untuk mempertahankannya tumbuh karena kekuasaan menjadi bagian dari identitas mereka.
Di banyak negara, kekuasaan ini diwariskan seperti harta keluarga, bukan diperoleh melalui kompetisi politik yang sehat. Keluarga politik seperti Marcos di Filipina dan Nehru-Gandhi di India menjadi contoh nyata, di mana kekuasaan diwariskan antar-generasi.
Dalam bukunya Why Leaders Lie: The Truth About Lying in International Politics, John Mearsheimer menjelaskan bahwa kecanduan politik terjadi karena keinginan untuk mempertahankan kontrol dan keuntungan kekuasaan. Keluarga yang sudah lama berkuasa sering merasa posisi itu adalah hak mereka dan berupaya menjaga status quo.
Dalam politik dinasti, ada perasaan aman ketika kekuasaan dipegang oleh keluarga yang sama. Hal ini memperkuat kecanduan, karena mereka menganggap posisi politik sebagai cara melindungi aset dan pengaruh mereka dari ancaman luar.
Di Indonesia, kecanduan politik dinasti terlihat di beberapa daerah, di mana jabatan kepala daerah sering dipegang oleh anggota keluarga yang sama. Lingkaran kekuasaan ini memperkuat oligarki lokal, dan sulit ditembus oleh figur politik baru.
Menurut Galinsky dan Magee, kekuasaan menciptakan identitas dan rasa kontrol yang kuat, membuatnya sulit dilepaskan. Ini menjelaskan mengapa politik dinasti terus berulang dan berkelanjutan di berbagai negara.
Lantas, bila kekuasaan politik bisa menyebabkan rasa candu, mungkinkah konsekuensi lanjutan terjadi? Mengapa ini berkaitan erat dengan Pramono dan masa depan Jakarta?
Pramono Anung dan Dinasti Politiknya
Pramono kini mencalonkan diri sebagai gubernur Jakarta untuk pemilihan 2024, mengusung pengalaman panjangnya dalam dunia politik. Sejak awal kariernya, Pramono telah membangun dinasti politik yang kuat di Kediri, Jawa Timur (Jatim), di mana keluarganya memiliki pengaruh yang signifikan.
Dalam struktur politik di Kediri, beberapa anggota keluarga Pramono menjabat sebagai pejabat publik. Putranya, Hanindito Pramana, saat ini menjabat sebagai Bupati Kediri, sementara kakaknya, Pulung Agustanto, menjadi anggota DPR. Dua adiknya, Wara Sundari Pramana dan Sunarsiwi Pramana, juga terlibat aktif dalam politik sebagai anggota DPRD Jawa Timur dan DPRD Kediri. Kakak iparnya, Gus Sunoto, juga berperan sebagai anggota DPRD Kediri. Jaringan kekuasaan ini semakin mengukuhkan posisi Pramono dan mempermudah langkahnya untuk maju ke Jakarta.
Maju sebagai calon gubernur Jakarta, Pramono berambisi menerapkan pengalaman dan pengaruh yang telah ia bangun selama ini untuk memajukan ibu kota. Namun, ada kekhawatiran bahwa kecanduan terhadap politik dinasti dapat terbawa ke Jakarta, yang dapat memengaruhi kebijakan dan arah pembangunan kota.
Politik dinasti sering kali menciptakan pola pemikiran yang berulang, yang dapat menghambat inovasi dan regenerasi yang sangat dibutuhkan dalam pemerintahan. Apalagi, Jakarta merupakan daerah yang memiliki banyak persoalan kompleks.
Dari perspektif psikologi, kecanduan akan kekuasaan memiliki konsekuensi yang signifikan dalam pengambilan keputusan. Seperti yang dijelaskan di bukunya, Keltner menjelaskan bahwa kekuasaan menciptakan rasa kendali dan superioritas yang bisa menimbulkan ketergantungan. Hal ini sangat relevan di Jakarta, yang merupakan kota global dan pusat ekonomi Indonesia.
Ketika kekuasaan politik tetap terfokus pada satu keluarga atau kelompok, potensi untuk perbaikan dan pembaruan bisa terhambat. Oleh karena itu, Pramono, meskipun memiliki pengalaman politik yang luas, perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam jebakan politik dinasti.
Transformasi yang dibutuhkan Jakarta sebagai kota global tidak hanya bergantung pada pengalaman politik, tetapi juga pada kemampuannya untuk mendengarkan suara-suara baru dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi yang lebih inklusif. Bukan begitu? (A43)