Ada gestur politik menarik dari Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Selaku politisi senior PDIP, ia justru menemani Ganjar Pranowo bersepeda ketika Gubernur Jawa Tengah itu tidak diundang dalam acara penguatan soliditas PDIP di Semarang. Mungkinkah gestur tersebut menunjukkan indikasi politik tertentu?
“If a picture is worth a thousand words, photographers are worth a million.” – Tupac Shakur, rapper asal Amerika Serikat
Awan gelap di langit Jawa Tengah. Begitulah kira-kira. Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo tengah menuai jalan terjal usai elite PDIP secara terang-terangan mengkritik ambisi politiknya untuk maju di Pilpres 2024.
Terkait persoalan yang baru panas akhir-akhir ini, PinterPolitik telah membahasnya pada 29 Maret lalu dalam artikel Ganjar “Bunuh Diri” Jika Tetap di PDIP?. PinterPolitik juga telah membahas bagaimana Ganjar memperoleh kemenangannya di Pilgub Jateng 2013 pada 26 Mei dalam artikel Ganjar Redup Tanpa PDIP?. Pada 28 Mei, Ganjar juga telah mengakui jasa Puan Maharani dalam kemenangannya di kontestasi tersebut.
Dalam tulisan ini, fokus analisisnya tidak hanya pada Ganjar, melainkan juga pada sosok yang tampaknya tengah mendukung Ganjar. Asumsi utama simpulan tersebut bertolak pada gestur politik ketika Ganjar tidak diundang dalam acara soliditas PDIP di Semarang, Jawa Tengah.
Menariknya, alih-alih menunjukkan raut kekecewaan, Ganjar justru tampil bersepeda dengan sumringah di depan media.
Yang lebih menarik, Gubernur Jawa Tengah ini ditemani oleh politikus senior PDIP yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) pada periode 2005-2010. Ya, dia adalah Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung Wibowo. Momen ini misalnya dibagikan di akun Instagram @hartonohosea.
Tentu pertanyaannya, bagaimana objek visual itu melahirkan simpulan tersebut?
Perang Tanda
Pertanyaan tersebut dapat dijawab menggunakan tulisan Alex Marland yang berjudul Political Photography, Journalism, and Framing in the Digital Age: The Management of Visual Media by the Prime Minister of Canada. Menurutnya, di era digital, jurnalis menjadi lebih rentan dimanfaatkan demi kepentingan visual politisi. Foto dan video dikelola sebagai pesan politik tertentu atau membingkai citra strategis.
Menurut Jayeon Lee dalam tulisannya Presidents’ visual presentations in their official photos: A cross-cultural analysis of the US and South Korea, persoalan itu terjadi karena evolusi bentuk komunikasi dari teks ke visual. Di tengah gelombang media sosial dan arus informasi yang begitu cepat, tampilan visual seperti foto yang impresif lebih mampu mempengaruhi masyarakat daripada teks-teks panjang.
Bertolak dari Marland dan Lee, sulit membayangkan gestur bersepeda Ganjar dan Pramono tidak memiliki pesan politis apa pun. Apalagi, itu bertepatan dengan acara PDIP di Semarang.
Setidaknya ada dua kesimpulan dari gestur tersebut. Pertama, itu seperti pesan bahwa Ganjar “baik-baik saja” meskipun tidak diundang. Selaku Gubernur Jawa Tengah, tentu menjadi pertanyaan serius mengapa ia tidak diundang di acara yang dihelat di daerahnya.
Kedua, ini dapat menjadi pesan bahwa Pramono berada di belakang Ganjar. Terkait ini, mungkin ada yang menyebutnya sebagai kebersamaan biasa. Pramono juga dikenal suka bersepeda.
Iya, mungkin saja itu benar. Tapi masalahnya, pesan terbuka Puan Maharani dan Bambang Wuryanto yang merupakan orang kepercayaan Megawati adalah indikasi kuat bahwa Ring-1 PDIP tidak merestui Ganjar. Artinya, jika kebersamaan tersebut adalah pesan politik, maka Pramono telah keluar dari komando Ring-1.
Baca Juga: Ganjar Harus Pakai Marketing Tradisional?
Ini mudah disimpulkan karena PDIP merupakan partai yang terkenal dengan komando hierarkis yang bertumpu pada sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Tentu di sini pertanyaannya, jika benar demikian, dengan status Pramono sebagai politikus senior PDIP yang bahkan pernah menjabat sebagai Sekjen, mengapa manuver itu dilakukan?
Apalagi, Pramono adalah salah satu representasi PDIP di kabinet sejak periode pertama Jokowi. Bukankah itu menunjukkan trust yang tinggi dari partai banteng terhadapnya?
Konteks itu dapat kita lihat dari buku Niccolo Machiavelli yang terkenal, Il Principe dan tulisan George C. Edwards yang berjudul Neustadt’s Power Approach to the Presidency. Meskipun kedua teks tersebut terpaut hampir 500 tahun, hipotesisnya sama, yakni politisi yang berkuasa memperlihatkan kepercayaannya dengan memberikan posisi atau penunjukan tugas.
Mengamankan Posisi?
Kembali pada pertanyaan tadi, mengapa Pramono menampilkan gestur itu? Bukankah posisinya sedang aman saat ini?
Untuk menjawabnya, kita dapat mengutip Andri Wang dalam bukunya The Art of War: Menelusuri Strategi dan Taktik Perang ala Sun Zi.
Dalam bab “Operasi Pasukan”, Sun Tzu – ahli perang asal Tiongkok – menulis, “Bila memberi makan kuda dari pangan pasukan dan makan daging dari memotong hewan, serta mengumpulkan alat dapur dan tidak mau kembali ke markasnya, ini berarti ada tanda-tanda para pasukan sedang mempersiapkan diri untuk melarikan diri (desersi).”
Maksudnya, jika bawahan sedang mempersiapkan perbekalan atau modal politik, maka dapat disimpulkan mereka sedang mempersiapkan kendaraan politiknya sendiri.
Singkatnya, ada kemungkinan Pramono tengah memproyeksi Ganjar sebagai kendaraan politiknya yang baru. Jika benar demikian, maka dapat dipastikan bahwa posisi Pramono sedang tidak aman saat ini di PDIP. Sebagai representasi PDIP, kondisi tersebut sekaligus menunjukkan posisi yang tidak aman pula di Istana.
Pasalnya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bagaimana mungkin sosok yang begitu paham kultur di PDIP justru menampilkan gestur yang tidak sejalan dengan komando Ring-1?
Terlepas dari polemik Ganjar dengan PDIP saat ini, katakanlah Ganjar berhasil menjadi RI-1 atau setidaknya RI-2, itu dapat menjadi “jaminan” Pramono untuk tetap di lingkar Istana. Ini bertolak dari konsep political friendship yang dijelaskan Nicolas Hayoz dalam tulisannya Political Friendship, Democracy and Modernity.
Menurut Hayoz, tidak adanya teori sosiologis yang tegas menentukan batas-batas persahabatan atau kepercayaan personal di ruang publik membuat political friendship sangat sulit dihindari, bahkan dalam demokrasi.
Simpulan itu juga diperkuat dengan lumrahnya fenomena spoils system di Indonesia. Ini adalah praktik ketika pemenang pemilu memberikan posisi kepada pendukungnya sebagai hadiah karena telah berjasa dalam menghantarkan kemenangan. Selain sebagai insentif, pemberian posisi tersebut juga ditujukan sebagai garansi kesetiaan.
Istilah ini sendiri berasal dari frase “to the victor belong the spoils” yang diungkapkan oleh Gubernur New York, William L. Marcy ketika Andrew Jackson terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dalam Pilpres 1829.
Baca Juga: Rayuan Maut Ganjar untuk Megawati?
Pada akhirnya, tentu harus digarisbawahi, tulisan ini bertumpu pada asumsi dasar bahwa Pramono dan Ganjar yang bersepeda bersama merupakan pesan politik tertentu. Artinya, sangat mudah membantah tulisan ini. Cukup menunjukkan gestur itu bukanlah pesan politik.
Well, kita lihat saja kelanjutan persoalan Ganjar dengan PDIP ini. Apakah Ganjar akhirnya berlabuh ke partai lain seperti saran berbagai pengamat? Atau justru nantinya ada dinamika menarik, di mana hubungan Ganjar dan PDIP membaik.
Entahlah, namun yang jelas, Ganjarist (Ganjar Pranowo Menuju Indonesia Satu) yang bertujuan mengusung Ganjar di Pilpres 2024 telah dideklarasikan. Menarik ditunggu kelanjutannya. (R53)