Dengarkan artikel ini:
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka diumumkan sebagai pasangan pemenang di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Lantas, bagaimana kebijakan ekonomi Prabowo saat menjabat nanti?
“Remember when my first meal was school lunch? Now I spit a 16 straight with no punch” – Danny Brown, “Grown Up” (2012)
Tahun itu adalah tahun 2045. Semua siswa-siswi berkumpul di kantin. Semuapun tampak mengantri dengan rapi. Petugas dari sekolah terlihat mulai membagikan kemasan makanan yang berisikan nasi, lauk, dan sayur.
Mungkin, anekdot di atas bisa menggambarkan Indonesia di masa depan, yakni ketika setiap anak-anak bisa menikmati makan siang gratis yang disediakan di setiap sekolah – sebuah kebijakan yang diusulkan pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada tahun 2024.
Meski ini makan siang, bukan tidak mungkin ini adalah makanan pertama yang sejumlah anak makan sejak pagi. Pasalnya, tentu, tidak semua anak memiliki privilese untuk mendapatkan sarapan yang bergizi.
Mungkin, inilah yang dirasakan oleh Danny Brown, seorang penyanyi rap (rapper) asal Amerika Serikat (AS) saat masih bersekolah dulu. Bahkan, kisahnya ini diekspresikannya di lirik-lirik lagunya, seperti yang ada di atas.
Brown kinipun merasa telah menjadi salah satu penyanyi rap sukses. Kemampuannyapun di atas rata-rata. Diapun bisa melakukan rap non-stop sebanyak 16 baris.
Apa yang dirasakan oleh Brown ini bisa menjadi pelajaran bagi para pengambil kebijakan, termasuk di Indonesia. Mungkin, karena inilah juga, program ini menjadi program prioritas Prabowo.
Dengan makan siang gratis, bukan tidak mungkin anak-anak Indonesia bisa memiliki kemampuan lebih. Boleh jadi, kemampuan mereka untuk belajar juga meningkat dan melahirkan “Brown-Brown” baru di banyak bidang berbeda.
Bukan tidak mungkin, dengan lahirnya “Brown-Brown” baru, sumbangsih terhadap ekonomi Indonesia-pun bisa meningkat. Prabowo sendiri pernah menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang bisa mencapai tujuh hingga delapan persen.
Mungkinkah makan siang gratis bisa menjadi jawaban atas persoalan-persoalan ekonomi Indonesia? Mengapa ini bisa jadi kunci kemajuan Indonesia di masa depan?
Belajar dari India dan Tiongkok
Sebenarnya, kebijakan Prabowo untuk memberikan makan siang gratis di sekolah-sekolah bukanlah resep baru. Sejumlah negara telah terlebih dahulu menerapkan kebijakan serupa.
India, misalnya, telah menerapkan kebijakan Midday Meal Scheme (MMS) sejak sekitar tahun 1950-an. Kebijakan ini dimulai dari sekolah SMP khusus laki-laki bernama Sourasthra di Madurai, Tamil Nadu.
Kebijakan MMS ini bertujuan untuk meningkatkan gizi anak-anak sekoalh di tingkat pendidikan dasar (SD) dan pendidikan menengah pertama (SMP). Kini, MMS telah memberikan makan siang gratis di hari kerja untuk sekitar 120 juta anak-anak di 1,27 juta sekolah.
Tidak hanya India, negara terbesar di Asia Timur-pun juga menerapkannya, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Pada tahun 2011, pemerintah Tiongkok menerapkan sebuah kebijakan yang bernama Nutrition Improvement Program (NIP).
Sedikit berbeda dengan India yang sudah menjalankan programnya secara nasional, kebijakan NIP ini lebih ditujukan untuk memperkecil keseimbangan gizi anak-anak sekolah di masyarakat urban dan masyarakat pedesaan Tiongkok. Namun, tujuannya-pun tetap sama, yakni untuk meningkatkan gizi anak-anak di usia 6-16 tahun.
Donald Bundy dan rekan-rekan penulisnya dalam buku mereka yang berjudul Rethinking School Feeding: Social Safety Nets, Child Development, and the Education Sector menjelaskan alasan (rationale) di kebijakan-kebijakan yang dapat dikategorikan sebagai school feeding program (SFP).
Dalam buku itu, Bundy et al. menjelaskan bahwa makan gratis di sekolah-sekolah ini bisa meningkatkan kemampuan anak-anak untuk memperhatikan, mefasilitasi kegiatan belajar-mengajar, hingga mengurangi rasa laper. Belum lagi, dalam makanan, terkandung juga mikronutrien seperti zat besi, vitamin, dan iodin.
Manfaat lainnya dari kebijakan SFP ini adalah bagaimana makan gratis ini bisa meningkatkan kemampuan kognitif peserta didik. Di berbagai studi di banyak negara seperti Bangladesh, Jamaika, dan Uganda, SFP dinilai berkorelasi positif terhadap nilai ujian para peserta didik.
Lantas, untuk langkah lebih lanjutnya, mengapa kebijakan SFP ini begitu penting bagi Prabowo? Mungkinkah ini semacam strategi Prabowonomics?
Prabowo Ingin ‘Lompat Katak’?
Meningkatnya kemampuan akademik peserta didik bisa jadi berujung pada membaiknya sumber daya manusia atau SDM (human capital) Indonesia. Bukan tidak mungkin, ini menjadi kunci bagi Indonesia agar bisa melakukan “lompatan katak” (leapfrogging).
Ini sejalan dengan penjelasan Paul M. Romer dalam tulisannya yang berjudul “Increasing Returns and Long-Run Growth”. Dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) juga merupakan sebuah modal (capital) dan ini bisa menjadi salah satu faktor produksi dalam human capital.
Knowledge yang tinggi bisa berarti pertumbuhan yang lebih tinggi. Ini bisa dilihat dari bagaimana Tiongkok dan India bisa menjadi negara yang mampu bersaing dalam teknologi dan ilmu pengetahuan dengan negara-negara Barat.
Mengacu ke penjelasan Pooja Sharma dalam tulisannya yang berjudul “Role of Human Capital in Economic Growth: A Comparative Study of India and China”, human capital adalah salah satu bahan dan aspek penting dalam pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
Menariknya lagi, Sharma juga menjelaskan bahwa human capital memiliki dua komponen penting, yakni kesehatan dan pendidikan. Bisa dibilang, SFP turut meningkatkan dua komponen itu, yakni dengan meningkatkan gizi dan kemampuan belajar.
Tidak bisa dipungkiri, dua negara ini pula yang telah melakukan “lompatan katak” (leapfrogging) di abad ke-21 ini. Berdasarkan penjelasan M. Bhagavan dalam tulisannya yang berjudul “Technological Leapfrogging by Developing Countries”, lompatan katak bisa membuat sebuah negara lebih maju tanpa harus menguasai teknologi-teknologi sebelumnya terlebih dahulu.
Beberapa coiintohnya adalah Jerman dan Prancis. Dua negara Eropa ini melakukan lompatan katak tanpa harus mengusai langkah-langkah teknologi yang sebelumnya telah dikuasai oleh Britania (Inggris) Raya.
Namun, untuk melakukan lompatan katak ini, Indonesia harus menghadapi sejumlah persoalan. Salah satunya adalah kurang mumpuninya SDM Indonesia, khususnya di bidang teknologi.
Mengacu ke tulisan PinterPolitik.com yang berjudul “Pidato Jokowi, Jurus Loncat Katak”, kurangnya SDM Indonesia ini berdampak pada penguasaan teknologi yang minim. Ini juga menjadi salah satu faktor mengapa Indonesia disebut-sebut terperangkap dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap).
Well, pada akhirnya, bila program SFP ala Prabowo nantinya berhasil, bukan tidak mungkin hambatan terbesar untuk Indonesia agar bisa melompat bisa saja teratasi. Dan, siapa tahu inilah awal agar negara kepulauan Asia Tenggara ini bisa menjadi negara maju di masa depan? (A43)