Apakah ketimpangan sama dengan bubarnya suatu negara?
PinterPolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]i tengah optimisme soal Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2030, sebuah pandangan alternatif muncul. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto muncul dengan ramalan yang jauh berbeda: Indonesia akan bubar pada tahun 2030.
Masyarakat pun dibuat gempar oleh pernyataan mantan Danjen Kopassus tersebut. Bagaimana mungkin, Indonesia yang diramalkan akan semakin kuat justru akan bubar di tahun 2030? Bagaimana bisa Prabowo mendapat kesimpulan demikian?
Prabowo menilai kondisi tersebut mungkin terjadi dikarenakan sebagian besar aset kekayaan bangsa ini hanya dimiliki satu persen rakyat saja. Secara spesifik, ia menyebutkan bahwa saat ini 80 persen lahan di negeri ini dipegang oleh satu persen orang saja.
Ketimpangan memang pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan negeri ini. Akan tetapi, benarkah ketimpangan kepemilikan itu akan membuat Indonesia bubar pada tahun 2030? Akankah Indonesia bubar karena lahan dikuasai oleh satu persen rakyat?
Tanah Air yang Timpang
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ketimpangan pengelolaan lahan memang terjadi di negeri ini. Dalam data yang dikumpulkan pada tahun 2017, disebutkan bahwa seluruh wilayah daratan Indonesia, 71 persen-nya dikuasai oleh korporasi kehutanan.
Sisa penguasaan lahan ini tersebar ke dalam beberapa kelompok. Sebanyak 16 persen lahan dimiliki oleh korporasi perkebunan skala besar. Para konglomerat kemudian menguasai total 7 persen lahan. Sementara itu, rakyat kecil hanya memiliki sisanya.
Jika dilihat melalui indeks rasio gini, ketimpangan kepemilikan lahan juga terlihat nyata. Berdasarkan data pada tahun 2013, indeks rasio gini lahan di negeri ini mencapai 0,64.
Secara spesifik, ketimpangan kepemilikan lahan ini dapat terlihat dari pertumbuhan lahan sawit di tanah air. Selama tahun 2012 hingga 2017, luas perkebunan sawit milik swasta mengalami pertumbuhan hingga 2,05 juta ha. Sementara itu, pertumbuhan luas perkebunan sawit milik rakyat hanya mencapai 620.000 ha.
Hal ini berdampak pada ketimpangan kekayaan yang ada di negeri ini. Ini misalnya dibuktikan melalui rilis Credit Suisse yang menyebutkan bahwa satu persen orang kaya di negeri ini menguasai 49 persen kekayaan nasional.
Lalu apakah ketimpangan ini akan membuat Indonesia serta-merta bubar? Bagi beberapa pengamat, ketimpangan tidak secara serta-merta membuat suatu negara ambruk. Ada banyak variabel lain yang menyebabkan negara bubar, apalagi hingga tergolong negara gagal. Di Rusia misalnya, satu persen orang terkaya menguasai 74,5% kekayaan nasional. Akan tetapi, sulit untuk mengatakan Rusia sebagai negara gagal.
Di tengah laju kapitalisme, ketimpangan kepemilikan lahan adalah hal yang tidak terhindarkan. Tetapi apakah kesenjangan ini benar-benar sesuatu yang merugikan?
Kendala Membagi Lahan
Jika menyangkut dengan kedaulatan, terutama kedaulatan rakyat, idealnya kepemilikan lahan dan kekayaan lainnya dimiliki oleh rakyat. Di atas kertas, tanah di negeri ini harus dapat dimanfaatkan seluas-luasnya oleh masyarakat.
Meski begitu, di tengah derasnya persaingan ekonomi di era kapitalisme, hal tersebut sepertinya akan sulit untuk diwujudkan. Bagi beberapa pengamat, jika dipaksakan seluruh lahan dimiliki secara langsung oleh rakyat, maka ada kemungkinan lahan tersebut menjadi tidak produktif.
Umumnya, lahan jika diberikan secara luas akan digunakan untuk pertanian. Di era seperti ini, sulit untuk mengharapkan kemajuan dari sektor pertanian. Berdasarkan penelitian Salim Rashid, sektor pertanian umumnya tergolong kecil dalam kontribusi ekonomi nasional. Ketika lahan dikuasai oleh rakyat, umumnya lahan tersebut dikelola secara pribadi. Kegiatan bercocok tanam umumnya dilakukan tidak dalam bentuk kelompok.
Pembagian lahan secara pribadi menyebabkan lahan yang dimiliki masing-masing individu menjadi sangat terbatas. Hal ini berakibat pada rendahnya hasil dari aktivitas produksi di lahan tersebut. Lahan tidak dapat menghasilkan produk yang dapat memenuhi kebutuhan di sekitarnya. Kalaupun bisa, umumnya tidak dalam jumlah yang besar.
Rendahnya penghasilan ini kerap membuat para pemilik lahan memutuskan untuk beralih pada sektor lain. Banyak masyarakat di pedesaan yang memilih meninggalkan lahan mereka untuk melakukan pekerjaan lain, karena lahan yang mereka memiliki tidak memberi banyak keuntungan. Akibatnya, lahan tidak hanya tidak produktif, tetapi juga terbengkalai.
Berdasarkan hal itu, terlihat bahwa jika lahan dikuasai secara pribadi oleh orang banyak, produktivitasnya menjadi tidak maksimal. Luas lahan yang dimiliki pribadi terlalu kecil sehingga tidak dapat dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan di wilayah sekitarnya.
Menjaga Produktivitas Lahan
Memberikan pengelolaan tanah kepada segelintir orang, memang terdengar amat menyedihkan. Akan tetapi, ada manfaat dari kondisi ini. Lahan akan dapat lebih produktif karena digunakan oleh pengusaha-pengusaha untuk melakukan kegiatan produksi.
Lahan dapat digarap oleh korporasi dengan lebih produktif. Umumnya, korporasi memiliki peralatan yang lebih canggih ketimbang masyarakat. Hal ini dapat membuat aktivitas produksi di lahan tersebut menjadi lebih produktif dan lebih cepat.
Kepemilikan lahan secara massal oleh industri menyebabkan hasil produksi lahan menjadi lebih besar. Kebutuhan masyarakat di sekitarnya atau bahkan kebutuhan nasional dapat mudah dipenuhi jika lahan dikelola oleh industri.
Sektor tenaga kerja juga dapat terbantu melalui pengelolaan tanah oleh korporasi ini. Masyarakat di sekitar lahan yang digunakan untuk produksi akan terserap melalui aktivitas tersebut. Aktivitas produksi ini umumnya tergolong padat karya, sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja.
Menurut penelitian Alain de Janvry dan Elisabeth Sadoulet, ada satu cara agar sektor dapat secara signifikan berkontribusi pada Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB). Salah satu hal yang mereka ungkapkan adalah sektor ini harus menghasilkan lebih banyak tenaga kerja.
Berdasarkan kondisi tersebut, sulit untuk mengharapkan sektor pertanian pribadi. Ketika lahan dikuasai secara pribadi oleh orang banyak, maka lahan yang dimiliki menjadi sangat kecil. Akibatnya, kebutuhan tenaga kerja dari sektor ini menjadi sangat kecil.
Kondisi tersebut berbeda jika lahan dikelola oleh korporasi besar. Kewajiban industri untuk memenuhi kebutuhan besar menyebabkan mereka membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar agar lebih produktif. Penyerapan tenaga kerja kemudian terjadi dalam jumlah yang lebih besar.
Selain dari ketenagakerjaan, pengelolaan lahan yang dilakukan oleh industri juga memberikan dampak pada PDB Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri kehutanan dan pertanian memberikan kontribusi sebesar 14,42% bagi PDB Indonesia.
Namun meski memiliki sejumlah manfaat, pemerintah harus memperhatikan penguasaan lahan oleh korporasi atau konglomerat ini. Berdasarkan kondisi belakangan, kerapkali terjadi konflik agraria antara korporasi dengan masyarakat.
Memberi ruang kepada korporasi untuk mengelola lahan, tidak berarti memberi keleluasaan kepada mereka untuk melakukan praktik land grabbing atau pengambilan lahan secara paksa. Pemerintah harus mampu menjadi jembatan bagi sengketa lahan yang membingungkan antara rakyat dengan korporasi. Pemerintah harus memastikan hak rakyat atas lahan, tetap terjaga ketika berhadapan dengan kekuatan korporasi.
Aspek lingkungan juga harus benar-benar diperhatikan pemerintah. Praktik yang dilakukan industri umumnya jauh lebih masif ketimbang masyarakat. Hal ini kerapkali melupakan kondisi lingkungan di sekitarnya. Akan sangat baik jika pemerintah tidak begitu saja memberikan izin kepada korporasi jika berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan.
Ketimpangan memang masih menjadi beban bagi negeri ini. Akan tetapi, pengelolaan lahan oleh korporasi terlihat lebih bermanfaat ketimbang memaksakan membagi lahan kepada seluruh rakyat. Berdasarkan kondisi tersebut, kepemillikan lahan oleh segelintir orang tidak serta-merta membuat Indonesia bubar, malah membuat lahan menjadi lebih produktif. (H33)