HomeNalar PolitikPrabowo Wajib Gandeng RK untuk Kalahkan Anies?

Prabowo Wajib Gandeng RK untuk Kalahkan Anies?

Partai Gerindra mengaku siap apabila Prabowo Subianto akan berhadapan dengan Anies Baswedan di Pilpres 2024. Untuk mengalahkan Anies sekaligus menjadi pemenang di Pilpres 2024, mungkinkah Prabowo harus menggandeng Ridwan Kamil (RK) sebagai cawapres?


PinterPolitik.com

Sebuah pepatah Prancis yang terkenal berbunyi, L’Histoire se Répète – sejarah mengulang dirinya sendiri. Pepatah ini kiranya sangat relevan untuk menggambarkan situasi politik yang tengah menghinggapi Prabowo Subianto.

Pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012, Prabowo adalah salah satu sosok terdepan yang mendukung Joko Widodo (Jokowi). Menurut Ross Tapsell dalam bukunya Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution, Partai Gerindra menghabiskan biaya besar untuk iklan dan kampanye politik Jokowi di televisi pada saat itu.

Namun, menariknya, sosok yang didukung itu justru menjadi rival Prabowo dan Partai Gerindra di dua gelaran pemilihan presiden (pilpres). Pada edisi 2019, Prabowo bahkan menerima tawaran menjadi Menteri Pertahanan (Menhan) dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin. Sangat menarik, dari penyokong berubah menjadi bawahan.

Kini, kejadian serupa kemungkinan akan terulang. Setelah Partai NasDem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) di Pilpres 2024, eks DKI-1 itu berpotensi akan menjadi rival Prabowo. Ini disebut mengulang sejarah karena Prabowo juga mendukung Anies di Pilgub DKI Jakarta 2017.

Merespons deklarasi NasDem, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengaku siap memenangkan Prabowo jika berhadapan dengan Anies di Pilpres 2024.

Lantas, apakah pepatah Prancis yang terkenal akan kembali dirasakan Prabowo? Apakah eks Danjen Kopassus itu akan kembali takluk oleh sosok yang didukungnya di Pilgub DKI Jakarta? 

310808020 5590762504336802 6560760253443552073 n

Duel Modal Politik 

Untuk saat ini, tentu prematur untuk menyimpulkan Anies akan mengalahkan Prabowo. Selain karena Pilpres 2024 masih setahun lagi, Anies juga belum tentu maju di 2024. Mengutip Ketua Bappilu PDIP Bambang “Pacul” Wuryanto, perlu diingat bahwa Anies belum menjadi capres, melainkan bakal capres.

Oleh karenanya, yang dapat dilakukan adalah uji probabilitas dengan memetakan dan membandingkan kekuatan politik yang saat ini dimiliki Anies dan Prabowo. Dalam literasi politik, kekuatan politik itu disebut dengan political capital atau modal politik. 

Kimberly L. Casey dalam tulisannya Defining Political Capital menjelaskan modal politik adalah metafora yang digunakan untuk menggambarkan gabungan berbagai modal yang membuat politisi memiliki daya tawar. 

Mengutip teori interconvertibility dari Pierre Bourdieu, Casey memetakan berbagai jenis modal yang dapat menjadi modal politik, yakni modal institusional, modal sumber daya manusia (SDM), modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, modal simbolik, dan modal moral.

Pertama, jika berbicara modal ekonomi, secara head to head Prabowo tentu jauh di atas Anies. Kekayaan Prabowo sebesar Rp2,03 triliun (LHKPN 31 Maret 2022), sedangkan Anies hanya Rp10,9 miliar (LHKPN 31 Maret 2022). 

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Namun, modal kapital tidak melulu soal kekayaan individu, melainkan juga soal jejaring relasi yang dapat memberikan bantuan finansial. Di kubu Prabowo, ada sang adik, Hashim Djojohadikusumo yang memiliki kekayaan senilai Rp10,4 triliun (Forbes 2020).

Sementara di kubu Anies, ada Jusuf Kalla (JK) dengan kekayaan sebesar Rp900,8 miliar (LHKPN 31 Desember 2019). Kemudian ada Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dengan kekayaan sebesar Rp6,7 triliun (Forbes 2020).

Tentunya, ini belum termasuk jejaring dan sosok-sosok lain yang dapat memberikan bantuan dana kampanye untuk keduanya. Singkatnya, jika mengacu pada dana minimum kampanye pilpres yang ditaksir sebesar Rp5-7 triliun, Anies dan Prabowo tidak memiliki masalah dalam sektor finansial.

Kedua, modal institusional, yakni partai politik keduanya belum aman. Meskipun Gerindra dan NasDem sudah deklarasi mengusung Prabowo dan Anies, Gerindra masih berjuang mengamankan koalisi dengan PKB, sedangkan NasDem perlu meyakinkan Partai Demokrat dan PKS. 

Ketiga, secara modal SDM, keduanya dapat dikatakan mumpuni. Prabowo dan Anies adalah pembaca buku. Secara intelegensia, mereka adalah sosok yang layak untuk maju.

Keempat, modal sosial keduanya, yakni popularitas dan elektabilitas juga dapat dikatakan seimbang. Dalam berbagai survei elektabilitas, nama Anies dan Prabowo konsisten berada di tiga terbesar.

310264315 5590447694368283 3002328380512267191 n

Anies Lawan yang Tangguh?

Jika empat modal pertama keduanya dapat dikatakan seimbang, perbedaaan sekiranya ada di tiga modal terakhir.

Pada modal kelima, yakni modal kultural, Anies dapat dikatakan di atas Prabowo. Seperti yang telah dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Prabowo Kalah Karena Kurang “Jawa”?, salah satu faktor kekalahan Prabowo adalah dirinya yang kurang terampil dalam memainkan politik dan kultur Jawa.

Menurut Aris Huang dalam tulisannya Jokowi-Prabowo political reconciliation as Javanese strategy, dominasi Jawa di Indonesia telah membentuk lanskap politik di mana Presiden berperilaku seperti penguasa-penguasa Jawa. 

Menurut Aris Huang, karena Jawa merupakan budaya mayoritas di Indonesia, setiap analisis politik Indonesia tidak boleh dilepaskan dari unsur-unsur budaya Jawa.

Berbeda dengan Anies yang dinilai piawai memainkan tutur narasi yang halus, Prabowo dikenal dengan sosok yang ceplas-ceplos dan garang. Ini kontras dengan budaya Jawa yang dikenal dengan tutur halus. 

Pada modal keenam, yakni modal moral, suka atau tidak, banyak pihak kecewa dengan sikap Prabowo yang meninggalkan pendukungnya dan memilih bergabung dengan koalisi pemerintah. 

Secara holistik, sebagaimana dijabarkan oleh Greg Fealy, Sally White, dan Burhanuddin Muhtadi dalam penelitian Counter-polarisation and political expediency, keputusan Prabowo bergabung ke koalisi pemerintah adalah langkah bijak karena terbukti mengurangi polarisasi di tengah masyarakat.

Namun, seperti yang ditegaskan Andy Murdock dalam tulisannya When it comes to politics, you’re not as rational as you think, dalam politik, individu sering kali digerakkan oleh sentimen personal yang subjektif, alih-alih menggunakan penilaian objektif yang rasional.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Dengan kata lain, meskipun keputusan Prabowo dapat diafirmasi sebagai langkah yang bijak, pendukungnya pada Pilpres 2019 akan sulit melihatnya demikian. Pada akhirnya, Prabowo dilihat sebagai sosok pengkhianat dan sulit untuk dipercaya.

Terakhir, pada modal ketujuh, yakni modal simbolik, lagi-lagi Anies dapat dikatakan unggul dari Prabowo. Suka atau tidak, secara simbolik Anies jauh lebih terlihat islami dari Prabowo. Dengan fakta Indonesia adalah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, konteks itu menjadi kata kunci tersendiri.

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi dalam buku Kaum Demokrat Kritis: Analisis Perilaku Pemilih Indonesia sejak Demokratisasi, menyebut faktor identitas seperti keislaman menjadi salah satu faktor terkuat yang mendukung keterpilihan.

Pada kasus Prabowo yang dicitrakan meninggalkan massa 212 dan berbagai ulama yang mendukungnya pada Pilpres 2019, ceruk suara itu sekiranya akan beralih ke Anies Baswedan.

Well, menyimpulkan hasil ketujuh komparasi modal politik tersebut, dapat dikatakan Anies berada di atas Prabowo. Skornya adalah empat lawan tujuh. Empat untuk Prabowo, dan tujuh untuk Anies.

Lantas, jika demikian kondisinya, apakah Prabowo masih mungkin untuk mengalahkan Anies di Pilpres 2024?

310622422 5595463827200003 1932826358690881636 n

Wajib Gandeng RK?

Kembali menegaskan, jika berbicara kalkulasi probabilitas, kemenangan itu masih dapat diraih. Kuncinya adalah Prabowo butuh calon wakil presiden (cawapres) yang dapat menutupi kelemahan di tiga modal politik terakhir.

Memetakan berbagai nama potensial yang ada, nama yang tepat digandeng Prabowo mungkin adalah Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK).

Secara modal kultural, RK juga memiliki kepiawaian bertutur dan bernarasi sebaik Anies. RK sekiranya dapat mengimbangi Anies dalam soal retorika dan memainkan politik Jawa.

Pada modal moral, rekam jejak RK dapat dikatakan bersih. Pada modal ini, RK bahkan dapat dikatakan unggul dari Anies yang sedang dirundung kasus dugaan korupsi Formula E.

Kemudian pada moral simbolik, tidak banyak yang mengetahui bahwa RK berasal dari keluarga pondok pesantren. “Keluarga saya punya delapan pesantren yang tersebar di Jawa Barat dan saya salah satu calon dari kalangan pesantren, sekaligus membawa aspirasi dari pesantren,” ungkapnya pada 6 Agustus 2017 lalu.

Dengan demikian, Ridwan Kamil dapat dengan mudah mendekati pemilih Islam karena memiliki ikatan historis dan psikologis.

Singkatnya, jika mengacu pada kalkulasi probabilitas alias hitungan di atas kertas, menggandeng Ridwan Kamil menjadi cawapres sekiranya adalah keputusan yang tepat. Prabowo sendiri juga pernah mengatakan bahwa RK adalah sosok yang diperhitungkan olehnya.

Well, sebagai penonton dalam orkestra politik, kita hanya dapat menikmati bagaimana kelanjutan orkestra yang terjadi. Kita lihat saja, dan mari menikmati. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...