Dinamika warrior dan diplomat dalam diplomasi Indonesia terlihat dari pendekatan agresif militer hingga diplomasi multilateral ASEAN. Kini, di bawah Prabowo Subianto, dinamika serupa muncul dengan kontrol militer yang kuat melalui Sugiono sebagai menteri luar negeri (Menlu).
“Master Zhuge, why do you play up others’ mettle and dampen our own spirit? What is there to worry about with a mere old pawn?” – Guan Yu, Romance of the Three Kingdoms Podcast (2015-2019)
Pada masa Tiga Kerajaan di Tiongkok, Shu Han menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kekuatannya melawan Wei dan Wu. Di tengah situasi ini, dua tokoh utama tampil sebagai pilar kerajaan: Guan Yu sebagai panglima perang yang gagah berani dan Zhuge Liang sebagai diplomat dan strategis yang cerdas. Keduanya memiliki peran yang berbeda namun sama pentingnya dalam menjaga stabilitas Shu Han.
Guan Yu, yang dijuluki “Dewa Perang,” menjadi simbol keberanian dan kesetiaan. Ia bertugas menjaga Provinsi Jing, wilayah strategis yang menjadi benteng Shu Han. Namun, sifatnya yang angkuh membuatnya lengah terhadap ancaman dari Wu.
Ketika Wu mengkhianatinya dan merebut Provinsi Jing, Shu Han kehilangan basis strategis yang penting, melemahkan posisinya di panggung politik Tiga Kerajaan. Ini menunjukkan risiko pendekatan militer yang tidak disertai kehati-hatian dalam diplomasi.
Sementara itu, Zhuge Liang menjadi otak strategi Shu Han dengan pendekatan yang cermat dan penuh perhitungan. Ia berhasil membangun aliansi strategis dengan Wu untuk melawan Wei dan menggunakan taktik-taktik kreatif seperti Strategi Kota Kosong.
Namun, kendala sumber daya dan tekanan internal sering kali menghambat keberhasilan militernya. Meskipun Zhuge Liang adalah diplomat ulung, kekuatannya tidak cukup untuk menggantikan kelemahan militer Shu Han yang terus berlanjut.
Kisah ini mengajarkan pentingnya keseimbangan antara kekuatan militer dan kecerdasan diplomasi dalam mempertahankan stabilitas negara. Ketergantungan yang berlebihan pada salah satu aspek dapat menjadi bumerang yang melemahkan fondasi kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia, bagaimana dinamika Guan Yu dan Zhuge Liang mencerminkan tantangan menjaga keseimbangan antara peran militer dan diplomasi? Apa pelajaran yang dapat dipetik oleh pemerintah Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto untuk membangun hubungan internasional yang strategis sekaligus menjaga kedaulatan nasional?
Warrior vs Diplomat
Dalam kebijakan luar negeri, terdapat dua pendekatan utama yang sering kali saling melengkapi. Namun, terkadang keduanya bertentangan: pendekatan “warrior” yang mengutamakan kekuatan militer, dan pendekatan “diplomat” yang berfokus pada negosiasi dan kerja sama internasional.
Seperti yang dijelaskan oleh Hans Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, kebijakan luar negeri sering kali mencerminkan pertarungan antara penggunaan kekuatan untuk mempertahankan kepentingan nasional dan diplomasi untuk mencapai konsensus. Dua pendekatan ini sering terlihat dalam dinamika politik global, terutama dalam bagaimana negara menyeimbangkan antara mempertahankan kedaulatan dan menjaga hubungan internasional.
Pendekatan “warrior” biasanya menekankan kekuatan militer sebagai alat utama dalam melindungi kepentingan nasional. Misalnya, selama Perang Dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet sering menggunakan kekuatan militer untuk menunjukkan dominasi dan melindungi sekutu mereka.
Namun, seperti yang diungkapkan oleh Robert J. Art dalam esainya American Foreign Policy and The Fungibility of Force, kekuatan militer memiliki keterbatasan dalam menyelesaikan konflik yang bersifat kompleks dan membutuhkan solusi diplomatik. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan militer saja tidak cukup untuk mencapai stabilitas jangka panjang.
Sebaliknya, pendekatan “diplomat” menggunakan dialog, negosiasi, dan aliansi untuk mencapai tujuan tanpa melibatkan kekerasan. Contohnya adalah keberhasilan diplomasi multilateral di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menyelesaikan konflik internasional.
Namun, menurut Hedley Bull dalam bukunya The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics, diplomasi sering kali membutuhkan dukungan kekuatan untuk dapat dipercaya oleh pihak lain. Ini menggarisbawahi bahwa kedua pendekatan ini harus saling melengkapi, bukan saling menggantikan.
Lantas, bagaimana dinamika dua pendekatan ini juga terjadi dalam dunia diplomasi Indonesia? Mengapa ini juga perlu menjadi perhatian pemerintah Indonesia di bawah Prabowo?
Prabowo vs Kemlu?
Dalam sejarah diplomasi Indonesia, dinamika antara pendekatan warrior dan diplomat sering kali muncul dalam berbagai momen penting. Pada era Soekarno, misalnya, pendekatan militer yang agresif terlihat dalam Konfrontasi Malaysia (1963–1966), ketika Indonesia menggunakan kekuatan bersenjata untuk menolak pembentukan Federasi Malaysia.
Namun, di sisi lain, Soekarno juga memainkan peran diplomat dengan memimpin Gerakan Non-Blok (GNB), menciptakan aliansi negara-negara dunia ketiga untuk menjaga netralitas di tengah Perang Dingin.
Tokoh militer seperti Jenderal A.H. Nasution juga menjadi simbol pendekatan warrior pada masa itu, terutama dalam perannya memimpin strategi pertahanan nasional. Di sisi lain, Adam Malik sebagai menteri luar negeri (Menlu) menjadi arsitek kerja sama diplomasi yang lebih kooperatif, seperti dalam pembentukan ASEAN di era Orde Baru. Pendekatan ini berlanjut di bawah Soeharto, yang menggabungkan stabilitas regional melalui diplomasi ASEAN dengan operasi militer, seperti di Timor Timur.
Pada masa reformasi, pendekatan diplomasi semakin ditekankan oleh tokoh seperti Hassan Wirajuda. Sebagai Menlu, ia memimpin Indonesia dalam multilateralisme, seperti penyelesaian konflik Aceh melalui dialog internasional. Namun, isu keamanan seperti Laut China Selatan (LCS) tetap menjadi tantangan, di mana militer tetap diperlukan untuk menjaga kedaulatan wilayah.
Kini, dinamika ini mulai terlihat kembali di bawah pemerintahan Prabowo Subianto, yang membawa latar belakang militer ke ranah politik luar negeri. Penunjukan Sugiono, orang dekat Prabowo, sebagai Mwnlu mengindikasikan potensi pergeseran kontrol diplomasi ke tangan pemimpin dengan perspektif keamanan yang kuat. Perbedaan pendapat terkait LCS menjadi contoh awal bagaimana pendekatan warrior yang berfokus pada kedaulatan nasional dapat bersinggungan dengan diplomasi multilateral tradisional.
Kisah Shu dari Tiga Kerajaan, di mana Guan Yu sebagai panglima perang dan Zhuge Liang sebagai strategis bekerja sama untuk mempertahankan kerajaan, menjadi analogi yang relevan. Seperti Shu yang gagal karena ketidakseimbangan antara militer dan diplomasi, Indonesia juga harus belajar menyeimbangkan pendekatan ini.
Keseimbangan antara kekuatan militer dan kecerdasan diplomasi akan menjadi kunci keberhasilan politik luar negeri Indonesia ke depan. Bukan begitu? (A43)