Media Australia menyamakan Prabowo dengan Donald Trump. Memang sebanyak apa kemiripan keduanya?
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]eberapa waktu terakhir, Prabowo sedang gencar mewarnai pemberitaan dalam negeri. Mulai dari ucapan Indonesia akan bubar di tahun 2030, hingga dugaan bahwa tanah di Indonesia dikuasai oleh beberapa persen elit.
Seakan tak mau ketinggalan, Sidney Morning Herald dari Australia, ikut memberitakan persiapan Prabowo memasuki gelanggang Pemilu 2019 mendatang. Media konservatif ini memasukkan pengamatan pakar Indonesia dari Australian National University (ANU), Dr. Marcus Meitzner yang menyebut Prabowo adalah Trump-nya Indonesia.
Kesamaannya itu, disampaikan Meitzner, terletak pada sifat Prabowo yang impulsif, cenderung otoriter, populis, dan sulit ditebak. Siapa yang rela disamakan dengan sifat-sifat demikian?
Prabowo sendiri belum memberi respon lebih lanjut soal pemberitaan ini, barangkali dia sudah ‘lelah’ sebab berkali-kali dihantam pemberitaan miring soal diri dan pandangan politiknya oleh media Australia tersebut. Namun Prabowo memang pernah mencetus bahwa, “Australia punya fobia dengan Indonesia,” untuk membalas pemberitaan soal keterlibatannya dalam aksi massa 212, kejahatan HAM 1998, hingga sepak terjangnya di Timor Timur.
Menyamakan Trump dengan Prabowo, selain dari sikap dan pandangan politiknya tentu sangat mudah ditilik berbagai pernyataannya. Tetapi, sebenarnya banyak pula perbedaan latar belakang keduanya. Perbedaan dan persamaan ini, ternyata juga tak membuat posisi Jokowi lebih baik.
Prabowo, Mirip ‘Tak Mirip’ Trump
Seperti yang sudah dipaparkan, bila menilik persamaan sikap antara keduanya, memang mudah menyebut Prabowo punya banyak kesamaan dengan Trump. Hal itu bahkan diamini oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari.
Ia berkata, selain sama-sama berusaha menaikkan elektabilitas dan terus dibahas media, baik Trump dan Prabowo sama-sama membangun ketakutan, pesimisme mengenai situasi dan kondisi dalam negeri. “Dengan asumsi-asumsi tersebut (pesimisme dan ketakutan), mereka-mereka yang takut akan datang, bakal lari ke dia, mendukung dia, dan tidak mendukung yang sekarang ini (Jokowi),” jelasnya.
Bisa saja, Prabowo memang terinspirasi dari strategi yang dijalankan oleh Trump di negara Paman Sam tahun 2016 itu, untuk menghadapi Pilpres tahun 2019. Sebab, pola pidato yang diucapkannya memiliki kesamaan.
Sebagai contoh, pidato Trump, seperti yang pernah dilaporkan The Guardian, biasanya langsung tertuju ke inti persoalan, tanpa banyak cingcong. Setelah sapaan singkat, ia langsung menukik dan menggigit, menyengat, dan menyerang, dengan kata-kata: Enam juta dolar. Veteran. Pers. Membunuh. “Aku akan menaikkan anggaran 6 juta dollar untuk para veteran, dan pers membunuhku. Sulit dipercaya,” begitu ungkap Trump.
Prabowo tentu tidak memulai pidato seberingas itu. Ia masih menjabarkan kata-kata sambutan panjang, dan ungkapan salam serta syukur yang diucapkan politisi dengan berhati-hati. Tetapi selanjutnya, kata-kata ‘mental maling’, ‘goblok’, ‘tak setia pada rakyat’, dan menyerang media, meluncur keluar dari mulutnya. Kata-kata tersebut disamakan dengan bagaimana Trump memilih diksinya saat berpidato.
Julukan-julukan ‘aduhai’ yang disematkan kedua tokoh dalam pidatonya ini, makin menegaskan pertentangan, yang dianggap beberapa kalangan, menumbuhkan rasa takut dan perasaan terancam. Dari sana, baik Indonesia maupun AS, seolah digentayangi oleh ancaman asing dan aseng lewat pidato yang disampaikan.
Dari sikap berpolitik, apakah lantas pandangan politik keduanya juga serta merta sama? Ternyata tidak juga. Bila Mietzner berkata keduanya populis, tetapi mereka sebetulnya ada di jalur yang berbeda.
Seperti yang sudah diketahui, Trump lahir dari keluarga berlatar belakang pengusaha. Latar belakangnya ini yang mengantarkannya menjadi salah satu miliarder AS. Selain itu, Trump tak punya pengalaman politik sama sekali sebelumnya. Selama beberapa dekade, ia sibuk membangun kerajaan bisnis dari satu tempat ke tempat lain, hingga beberapa kali muncul di televisi dan film sebagai kameo.
Sementara Prabowo dilahirkan di keluarga birokrat profesional, ayahnya adalah begawan Ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo. Ia sudah kenyang makan pendidikan dan petualangan di dunia militer. Bukan tanpa alasan bila citra nasionalis adalah nilai yang paling kentara melekat pada dirinya. Tak hanya pada dirinya, kecintaan pada tanah airnya itu juga tercetak pada Partai Gerindra, partai yang didirikannya.
Bila dibandingkan dengan sepak terjang di dunia politik, jelas saja Prabowo punya lebih banyak pengalaman ketimbang miliarder Amerika tersebut. Trump, sudah punya angan menjadi Presiden AS sejak tahun 1980-an, dan baru mewujudkannya tahun 2016 yang lalu. Sementara Prabowo, baru menjalankan angan menjadi Presiden di tahun 2004, sampai saat ini nasib baik belum menemuinya. Tetapi dibandingkan Trump, Prabowo sudah mengenal medan politik sejak masih membangun karir di bidang militer.
Dengan demikian, perkataan Mietzner sendiri sebetulnya tidak 100 persen terbukti bila Prabowo akan menjadi menjadi ‘kloning’ Trump di Indonesia, jikalau dirinya terpilih menjadi presiden. Tetapi, bisa disepakat bila Trump dan Prabowo memang punya kesamaan merangkai pidato yang memainkan emosi para pendengarnya.
Sebenarnya, mengungkap pidato yang menggugah emosi dengan memanfaatkan sisi psikologis seperti Prabowo dan Trump, sama sekali tak disalahkan. Tetapi hal yang patut diperhatikan adalah, dampak panjang bagi demokrasi. Kebiasaan menyentuh dimensi emosi ketimbang akal sehat, belum tentu berdampak positif terhadap perkembangan demokrasi.
Lantas, bagaimana dengan Jokowi? Apakah dirinya lebih baik dibandingkan dengan Prabowo?
Jokowi dan Trump, Pengusaha
Bila hendak memulai, Jokowi punya latar belakang yang sama dengan Trump, yakni sama-sama pengusaha. Tetapi, usaha sang presiden ini tidak membuatnya menjadi kuat sehingga bisa maju menjadi presiden.
Jokowi memulai karir sebagai Walikota Solo, lalu Gubernur Jakarta, dan Presiden dalam waktu singkat. Saat dirinya menjadi Presiden, ia mengambil kebijakan ekonomi yang ternyata juga diambil oleh Trump, yakni proteksionisme.
Trump pernah menyebut jika dirinya kecewa oleh perdagangan bebas yang telah berlangsung selama puluhan tahun tersebut. “Globalisasi lebih banyak mendatangkan duka ketimbang suka,” begitu ungkapnya.
Atas dasar itu, ia akhirnya keluar dari pakta perdagangan North American Free Trade Agreement (Nafta) yang selama ini dianggap memudahkan perdagangan antara AS, Kanada, dan Meksiko. Hal ini berimbas pada turunnya nilai mata uang Meksiko.
Sementara Presiden Jokowi mengambil langkah proteksionis dengan pengetatan impor sejumlah produk dan pengetatan kewajiban penggunaan bahan atau produksi lokal dalam negeri. Selain itu, Jokowi juga gencar memungut pajak dari berbagai lini, salah satunya adalah perusahaan raksasa internet, Google.
Yang menarik, kebijakan ekonomi ini sempat dikritik oleh Duta Besar AS, Joseph R. Donovan, yang berkata kalau pembatasan impor seperti itu bukanlah hal yang tepat karena hanya akan membatasi perdagangan. Kritik atau tepatnya keluhan, tersebut sangatlah bisa dipahami sebab AS bergantung dengan pasar Indonesia. Membatasi impor sama saja mengancam keperluan dagang AS.
Kini, Trump memberlakukan hal yang sama dengan negaranya. Ini pun juga mendapat sorotan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sama seperti nada Donovan, Sri Mulyani juga menuding kesalahan yang dilakukan oleh kebijakan ekonomi Trump.
Bila dibandingkan, dalam mengambil kebijakan ekonomi, baik Jokowi dan Trump, sebetulnya lebih punya banyak kesamaan. Selain lahir dari rahim bisnis, keduanya memberlakukan proteksionisme ekonomi dan tak lupa saling menyalahkan.
Balas Dendam Pada Prabowo?
Bila dibandingkan dengan Jokowi, Prabowo memang lebih banyak dihajar dengan isu, yang disebutnya, itu-itu saja. Yakni HAM, sifat tempramennya, serta tendensi populisme politik yang dimainkannya.
Jokowi sebetulnya juga tak luput dari kritik soal pencitraan yang dijalankannya oleh media asal Negeri Kangguru tersebut. Namun, berbeda dengan Jokowi, Prabowo menjadi sasaran empuk karena pernah terlibat dalam Operasi Seroja, operasi tempur TNI di Timor Timur.
Prabowo saat itu bertugas sebagai ketua Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Timor Timur. Di tengah kemelaratan, usaha mempertahankan diri karena keterbatasan pasokan makanan, serta mengajar Bahasa Inggris, Prabowo juga dianggap terlibat dalam pembunuhan 5 jurnalis Australia. Peristiwa itu dikenal sebagai Balibo Five.
Selain itu, sebagai pemimpin muda Kopassus, Prabowo juga getol mengejar para milisi Fretilin. Sementara saat itu, Australia berada di belakang Fretilin karena memiliki kepentingan dalam mencaplok sumber minyak di laut lepas pantai Timor Timur.
Berdasarkan dua hal ini, bukan tak mungkin akan menjadi penyebab mengapa Australia lebih leluasa menuding Prabowo ketimbang Jokowi. Selain karena hubungan Indonesia dan Australia yang memang sudah ‘rapuh’, Australia dikenal masih belum bisa menerima bila warga negaranya dihukum mati karena kasus Narkoba di Indonesia, yaitu yang ‘terbaru’ adalah Andrew Chen dan Myuran Sukumaran di tahun 2016.
Tapi mau bagaimana lagi? Indonesia, bagaimana pula, masih menjadi pasar yang berharga bagi Australia. Cara termudah meredam ‘dendam’ barangkali melempar Prabowo dengan “tanah”, dari pijakan longsor Pemerintahanan Jokowi yang diinjak oleh Australia sendiri. (A27)