HomeNalar PolitikPrabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Dengarkan artikel berikut

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 


PinterPolitik.com 

Amerika Serikat (AS) telah resmi menyelesaikan proses pemilihan presiden (pilpres) untuk menentukan orang yang akan memimpin negara mereka pada periode 2025-2029. Kendati memiliki angka elektabilitas yang begitu sengit sebelum hari pencoblosan, Donald Trump akhirnya kembali terpilih untuk menjadi orang nomor satu di Negeri Paman Sam. 

Bersamaan dengan itu, sejumlah pengamat ekonomi dan pebisnis langsung memprediksi bahwa kepemimpinan Trump akan membawa AS menjadi negara yang memiliki kebijakan perdagangan lebih proteksionis.  

Tidak aneh, Trump semasa kampanye memang kerap menyampaikan narasi akan lebih melindungi industri dalam negeri dan membuka peluang menerapkan tarif impor untuk sektor tertentu dari sejumlah negara. Narasi yang sejujurnya sejalan dengan ketika terakhir kali ia menjabat sebagai Presiden AS, yakni Make America Great Again (MAGA). 

Yang membuat dugaan ini lebih menarik adalah refleksi “semangat proteksionisme” yang belakangan juga cukup populer dibicarakan di Indonesia. Sebagai sesama presiden yang baru menjabat, Prabowo Subianto kerap diprediksi akan menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan yang cenderung proteksionis.  

Beberapa petunjuk akan hal ini tidak dipungkiri memang mulai terlihat, contohnya seperti rencana pengetatan keran impor yang belakangan cukup serius dibicarakan oleh Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita. 

Hal-hal ini bahkan sampai memunculkan julukan-julukan plesetan dari prinsip MAGA Trump di media sosial, yakni Make Indonesia Great Again (MIGA). 

Menarik kemudian untuk kita pertanyakan, jika para Prabowo dan Trump memang akan lebih menerapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat proteksionis, kira-kira akan bagaimana dampak nyatanya?

image

 

Argentina, Sejarah Kelam Proteksionisme 

Kecenderungan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menerapkan kebijakan perdagangan proteksionis patut menjadi perhatian, mengingat dampak historis dari kebijakan semacam ini yang sering kali berakhir negatif bagi perekonomian negara yang bersangkutan.  

Baca juga :  The War of Java: Rambo vs Sambo?

Sejarah telah mengajarkan bahwa proteksionisme jarang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang sehat dalam jangka panjang dan lebih sering menimbulkan stagnasi, bahkan kemunduran. Contoh klasiknya adalah Argentina. 

Argentina pada awal abad ke-20an diproyeksikan sebagai salah satu ekonomi terbesar dunia, dengan potensi besar berkat sumber daya alamnya yang melimpah dan ekspor pertanian yang berkembang pesat. Namun, sejak tahun 1950-an, utamanya ketika dipimpin oleh Juan Peron, negara tersebut mulai menerapkan kebijakan proteksionis secara ketat, seperti tarif tinggi dan pembatasan impor untuk melindungi industri domestiknya.  

Namun, alih-alih memperkuat ekonomi, proteksionisme Argentina berujung pada deindustrialisasi, tingginya inflasi (yang sempat capai peningkatan 100 persen), dan krisis keuangan yang berulang. Sektor-sektor yang dilindungi justru mengalami stagnasi karena kurangnya insentif untuk inovasi dan peningkatan produktivitas, serta lemahnya daya saing di pasar global.  

Akibatnya, Argentina kehilangan peluang besar untuk berkembang seiring dengan globalisasi, dan hingga kini, ekonominya masih belum sepenuhnya pulih, kendati sudah melewati waktu selama 70 tahun lebih. Tentunya, sebagai negara yang sedang mengalami proses perkembangan, Indonesia perlu menjadikan tragedi proteksionisme Argentina sebagai pelajaran. 

Lantas, apa yang bisa dipelajari dari Argentina dan menjadi kewaspadaan bagi Prabowo? 

image

MIGA Perlu Sekuat MAGA Terlebih Dahulu 

Kebijakan proteksionis hanya akan berhasil jika diterapkan dalam konteks industri domestik yang telah mumpuni dan kompetitif secara global. Negara-negara seperti Korea Selatan, Tiongkok, dan Amerika Serikat memberikan contoh yang relevan.  

Korea Selatan, misalnya, menerapkan proteksionisme yang cerdas selama era industrialisasi pada 1960-an hingga 1980-an, di mana mereka memberikan perlindungan kepada industri dalam negeri seperti otomotif dan elektronik. Namun, proteksi ini disertai dengan insentif untuk inovasi, target ekspor yang ambisius, dan kebijakan peningkatan kualitas produk. Dengan manufaktur yang kuat dan daya saing global, Korea Selatan berhasil memanfaatkan proteksionisme sebagai langkah transisi menuju pasar yang lebih terbuka. 

Baca juga :  Gagahnya Pindad Maung Garuda Limousine

Begitu pula dengan Tiongkok, yang berhasil menggunakan proteksionisme terarah untuk memperkuat industri domestiknya sebelum secara bertahap membuka pasar mereka. Penting untuk dicatat bahwa efektivitas proteksionisme bergantung pada kesiapan sektor industri domestik dan investasi dalam teknologi serta inovasi.  

Amerika Serikat, sebagai ekonomi besar, juga mampu menggunakan proteksionisme strategis (misalnya tarif pada produk impor) karena mereka memiliki basis manufaktur yang kuat dan ekosistem inovasi yang mendukung daya saing internasional. Kekuatan domestik ini pun tidak selalu membuat AS terproteksi dari dampak-dampak buruk proteksionisme, seperti ketika menerapkan Kebijakan Tarif Smoot–Hawley Tariff pada tahun 1930, yang justru membuat efek Depresi Hebat semakin besar. 

Sementara itu, sebagai refleksi, Indonesia saat ini belum memiliki ekosistem industri yang sekuat Korea Selatan, Tiongkok, atau AS. Jika kebijakan proteksionis diterapkan tanpa kesiapan dan strategi yang jelas untuk meningkatkan daya saing, negara berisiko terjebak dalam situasi yang serupa dengan Argentina.  

Proteksionisme dapat menyebabkan harga barang-barang impor melonjak, melemahkan daya beli konsumen, dan memicu inflasi. Selain itu, pelaku industri dalam negeri mungkin kehilangan insentif untuk berinovasi dan meningkatkan produktivitas jika mereka merasa dilindungi tanpa persaingan berarti. 

Dengan demikian, kebijakan proteksionis harus diterapkan dengan hati-hati, diiringi strategi jangka panjang untuk memperkuat sektor industri dan mempercepat inovasi, agar Indonesia dapat bersaing secara global tanpa merugikan pertumbuhan ekonomi. Semoga, pemerintahan Prabowo-Gibran sudah mempersiapkan langkah-langkah yang matang jika ingin terapkan kebijakan proteksionisme di masa depan. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

More Stories

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Taktik Psikologis di Balik Pembekalan Prabowo 

Dengarkan artikel berikut Acara pembekalan para calon menteri yang dilakukan Presiden Terpilih, Prabowo Subianto jadi sorotan publik. Kira-kira apa motif di baliknya?  PinterPolitik.com  Dalam dunia pendidikan, kegiatan...