Site icon PinterPolitik.com

Prabowo-Titiek: Cinta Berselimut Politik

Isu rujuk Prabowo dan Titiek adalah bagian dari upaya pembentukan citra politik Prabowo. Tujuan untuk membentuk citra family man yang tidak dimiliki oleh Prabowo.


PinterPolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]andidat calon Presiden Prabowo Subianto tampak tak kehabisan akal untuk menciptakan gimmick politik. Berbagai upaya selama ini telah ditempuh untuk mengakomodasi kepentingan politiknya jelang Pilpres 2019. Mulai dari pertemuan dengan pentolan FPI, Rizieq Shibab di Mekkah, hingga merilis video yang berisi kritikan terhadap pemerintah.

Ia bahkan tanpa tedeng aling-aling di atas mimbar pidato, pernah bilang: Indonesia akan bubar 2030, mengutip novel fiksi, Ghost Fleet. Tentu apa yang dilakukan merupakan sebuah provokasi politik yang ditujukan untuk mencari simpati. Dari lagaknya, tampak dia sudah tak tangan lagi untuk berkuasa.

Marcus Mietzner dalam “Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy and Political Contestation in Indonesia” pernah bilang, praktik politik yang dilakukan Prabowo pada Pilpres 2014 lebih mengikuti jejak populisme klasik dengan melakukan serangan terhadap perusahaan-perusahaan asing, sehingga memunculkan citra politik anti-asing.

Lantas, apakah itu membuat dia terpilih pada Pilpres 2014? Tidak juga. Tapi jangan salah, kali ini Prabowo tampak melakukan hal berbeda, namun memiliki tujuan sama yakni berupaya meningkatkan elektabilitas politik di mata rakyat. Hal yang dilakukannya pun terbilang sensitif dengan berbalas-balas unggahan foto dengan mantan istrinya hingga memicu isu rujuk alias bersatu kembali dengan mantan istri.

Isu rujuk antara Prabowo Subiantodan Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soehartomemang muncul dalam satu pekan terakhir ini. Sebelumnya, isu ini pernah muncul dalam Pilpres 2014. Hal ini berawal ketika Titiek mengunggah foto bersama Prabowo dalam rangka hari ASI sedunia.

Tak lama berselang, Prabowo pun kemudian membalas postingan itu dengan mengunggah foto keluarga saat dirinya masih bersama Titiek. Berbagai komentar pun muncul, mulai dari yang bertendensi negatif hingga politis.

Prabowo dan Titiek menikah pada Mei 1983 dan dikaruniai seorang putra bernama Didit Prabowo.Meski demikian, bahtera pernikahan ini ternyata harus kandas. Tak jelas, apa alasan mereka berpisah.

Jika dilihat dari relasi keluarga, dapat dibilang Prabowo memiliki akses yang begitu dekat dengan kekuasaan. Prabowo adalah anak dari Soemitro Djojohadikoesoemo, sementara Titiek merupakan anak keempat mantan Presiden Soeharto.

Tak salah, berapa pandangan mengatakan Prabowo merupakan salah satu generasi oligarki di Indonesia yang masih aktif dalam perpolitikan. Sementara, Titiek juga demikian, sebelumnya dirinya aktif di Partai Golkar bersama beberapa keluarganya, namun kemudian memilih hijrah ke Partai Berkarya, besutan Tomy.

Prabowo-Family Man?

Nah, melihat dari pengalaman politik dan sejarah keduanya, tentu aksi balas –membalas foto di instagram juga mengandung aspek politik. Tidak menutup kemungkinan, apa yang ingin disampaikan oleh Titiek dan Prabowo bertujuan untuk membentuk sebuah citra politik, terutama menyangkut konsep family manyang sangat penting bagi pemilih Indonesia.

Konsep family man secara umum dapat diartikan sebagai seorang lelaki yang mengutamakan kepentingan keluarga dalam hidupnya, termasuk memiliki waktu luang bersama keluarga. Tentunya, jika dibandingkan dengan Jokowi, Prabowo tidak memiliki kesan seperti ini. Jokowi dalam banyak kesempatan, baik itu secara formal maupun tidak, dirinya kerap ditemani sang istri, sementara Prabowo tidak.

Jokowi juga seringkali mengunggah foto ketika dia berkumpul bersama keluarga dan bermain bersama anak-cucunya.  Dengan begitu, konsep Family Man lebih melekat pada Jokowi ketimbang Prabowo. Entah, hal itu juga merupakan sebuah pencitraan politik Jokowi, yang jelas rakyat dapat menangkap kesan positif dari aksi-aski Jokowi seperti itu.

Secara budaya, konsep family man memang penting bagi orang Indonesia. Konsep ini telah mengakar dan terkadang menjadi sebuah patokan subjektif untuk menilai kemampuan seorang lelaki dalam bersikap sebagai pemimpin. Faktanya, dalam banyak komentar terkait foto Prabowo dan Titiek, adanetizen yang menulis Prabowo memimpin keluarga saja tak becus apalagi ingin memimpin negara. Komentar itu wajar saja dikeluarkan oleh netizen.

Pentingnya pandangan family man di mata rakyat Indonesia, secara politik tentu menyudutkan Prabowo. Belum lagi, ditambah dengan pandangan negatif lain, seperti tuduhan penculikan aktivis HAM serta narasi-narasi politik yang kadang diucapakan dan menjadi polemik, misalnya tentang prediksi Indonesia akan bubar.

Dengan begitu, apa yang dilakukan Prabowo dan Titiek, tentunya ingin berupaya untuk menutupi kekurangan itu secara politik. Hal ini juga diperkuat oleh komentar pengamat politik dari Indo Barometer, M Qodari, bahwa apa yang dilakukan Prabowo dan Titiek ini sebagai bagian dari komoditas politik atau ritual politik lima tahunan.

Dengan kata lain, apa yang dilakukan Prabowo adalah ingin menutupi kekurangannya dalam konteks family man. Dengan begitu, segala hal yang berpotensi menjadi serangan-serangan politiknya dapat diminimalisir.

Citra family man ini sendiri lazim terjadi di berbagai belahan dunia. Lewis L. Gould dari University of Texas at Austin misalnya menyoroti bagaimana Presiden AS Theodore Roosevelt memainkan citra tersebut. Roosevelt disebutkan sebagai presiden pertama yang menggunakan daya tarik keluarga untuk kepentingan politiknya.

Personal Branding

Bicara soal personal branding, sebenarnya Prabowo telah melakukan teknik ini berulang kali, pertemuannya dengan Rizieq Shibab di Mekah juga dapat dibilang sebagai upaya untuk menggaet suara dari kalangan pemilih Islam di Indonesia. Terutama bagi kelompok Islam yang garis ideologi diwakili oleh Rizieq Shibab.

Kendati, praktik yang dilakukan Prabowo dan Titiek dalam teori komunikasi dapat merujuk pada satu teori umum yakni personal branding. Menurut Dewi Haroen dalam buku Personal Branding mengatakan personal branding merupakan proses pembentukan persepsi masyarakat terhadap aspek yang dimiliki seseorang misalnya melalui kepribadian atau kemampuan untuk menimbulkan perspektif positif dari masyarakat.

Sementara, Walter Lippmann sebagaimana dikutip oleh Anang Anaz Azha berjudul “Pencitraan Politik Elektoral”  memberi defenisi singkat dan sederhana tentang sebuah pencitraan yakni segala sesuatu yang muncul di benak seseorang danpencitraan tidak selamanya sesuai dengan benak realitas. Namun, menurut Lippmann faktor utama untuk mempengaruhi seseorang kandidat untuk menang dalam perhelatan politik elektoral adalah citra.

Berdasar teori ini, tentu citra adalah barang mahal, semakin bagus citra politik di mata rakyat, semakin terbuka peluang untuk menang dalam kontestasi politik. Oleh sebab itu, dengan menggunakan kedua teori di atas, dapatlah dimengerti bahwa aksi balas-membalas foto antara Prabowo dan Titiek merupakan upaya pembentukan citra positif.

Secara khusus, hal itu dilakukan untuk meningkatkan elektabilitas Prabowo. Maklum, hingga saat ini berbagai lembaga survei masih menempatkan Prabowo dengan nilai terendah jika disandingkan dengan rivalnya Joko Widodo.

Upaya pembentukan citra sebagai family man kiranya dapat menjadisolusi Prabowo untuk menghalangi tudingan miring yang selama ini dialamatkan kepadanya sekaligus memperbesar elektabilitas politik Prabowo. Pendeknya, kesimpulan yang dapat ditarik dari fenomena ini adalah Prabowo sedang terjebak secara politik. Perlu strategi baru yang lebih segar supaya kekalahan pada 2014 tidak terulang lagi.

Apa yang dilakukan Prabowo untuk lebih dekat dengan kelompok Islam adalah langkah yang tepat, tapi tampaknya di sisi lain Jokowi juga berusaha mengimbangi strategi itu dengan mendekatkan diri dengan kelompok Islam. Tapi, dalam konteks family man Prabowo jelas kalah total.

Yang jelas, percayalah masih ada kejutan-kejutan politik selanjutnya, yang bertujuan untuk memperbesar peluang menang Prabowo pada Pilpres 2019. Kita tunggu saja, apa kejutan-kejutan itu. (A34)

Exit mobile version