Pasca beredarnya video Prabowo Subianto yang bertelanjang dada bersama kader Partai Gerindra, berbagai pihak mulai mengaitkannya dengan teori the great man. Apakah Prabowo memang dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin?
PinterPolitik.com
“Orang yang hidup tanpa tujuan seperti kapal yang berlayar tanpa kemudi.” – Thomas Carlyle
[dropcap]K[/dropcap]etika Aleksander III dari Makedonia atau yang lebih dikenal dengan nama Aleksander Agung (Alexander the Great) menginvasi India pada tahun 326 SM, ia mungkin tak pernah membayangkan dirinya akan dikenang sebagai salah satu pemimpin paling besar sepanjang sejarah peradaban manusia. Namun, itulah yang terjadi.
Puluhan generasi setelahnya, orang-orang masih membicarakan Aleksander Agung dengan segala kegagahan dan heroisme perangnya. Ia dianggap sebagai salah satu orang yang memenuhi syarat masuk dalam kelompok the great men – orang-orang hebat sepanjang sejarah manusia.
Kini, di negara yang berjalak 10 ribu kilometer dari Makedonia, orang-orang membicarakan satu tokoh politik besar: Prabowo Subianto. Tentu saja nama terakhir tidak sedang menginvasi sebuah negara.
Prabowo’s hardcore supporters will love this topless or telanjang dada video of their Indonesian “Strong Man” celebrating his presidential nomination in Putinesque style. pic.twitter.com/JXkpIs5baU
— Ericssen (@EricssenWen) April 12, 2018
Nama cucu pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) Margono Djojohadikusumo ini nyatanya dipergunjingkan karena aksinya bertelanjang dada pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Partai Gerindra beberapa waktu lalu.
Sebagai pesaing (contender) utama yang kemungkinan akan berhadapan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019 nanti, apa yang dilakukan oleh Prabowo ini tentu saja membuat banyak mulut menganga dan mata terbelalak. Sebagian pihak mungkin akan mencubit pipinya dan bertanya: “Apakah ini nyata?”
Tentu saja kita tidak sedang menyaksikan parodi politik. Sosok dalam video tersebut memang Prabowo. Maka, mulailah elegi saling “nyinyir” dikumandangkan. Para pendukung menyebut aksi Prabowo ini heroik, kharismatik dan gagah.
Sementara, lawan politik menyebutnya tidak pantas dan tidak sopan. Yang jelas, bagi kubu yang netral, aksi Prabowo ini cukup membuat “kagum” – mengingat Hambalang, Bogor, tempat acara tersebut digelar, adalah daerah yang dingin, dan dengan usia kepala enam, adalah mengagumkan Prabowo tidak takut masuk angin.
Namun, perdebatan yang paling mendasar adalah apakah kharisma dan kegagahan Prabowo seperti yang dikatakan oleh para pendukungnya, adalah hal yang sama dengan yang dimiliki oleh Aleksander Agung? Sebagai catatan, keduanya sama-sama “dilahirkan” sebagai pemimpin – Prabowo dari keluarga Djojohadikusumo dan Aleksander dari ayahnya yang juga raja Makedonia sebelum dirinya, Filipus II.
Layakkah Prabowo disebut sebagai the next great man – orang hebat selanjutnya?
Dilahirkan, bukan Dijadikan
Filsuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, yang lebih dikenal dengan nama Hegel (1770-1831) pernah membahasakan great man sebagai world historical individuals – orang-orang yang mempengaruhi sejarah dunia.
Namun, bukan Hegel yang memperkenalkan teori the great man. Adalah Thomas Carlyle (1795-1881) seorang filsuf asal Skotlandia yang pertama kali memperkenalkan teori tersebut. Menurutnya, pemimpin yang hebat yang disebut sebagai the great man adalah orang yang memang dilahirkan demikian.
The great men are born, not made. Pemimpin-pemimpin yang hebat tidak dijadikan – melalui proses sosial atau lingkungan hingga seseorang dewasa – tetapi memang dilahirkan demikian.
Jika ditelusuri, umumnya pemimpin-pemimpin yang demikian berasal dari golongan aristokrat, dan hanya sedikit yang berasal dari kelas di bawahnya. Oleh karena itu, dalam konsep pemikiran ini, kelahiran seorang pemimpin yang hebat sangat dipengaruhi oleh breeding process atau proses menuju kelahiran sang pemimpin tersebut – sering disebut sebagai persilangan antara biologi dan politik. Seorang pemimpin besar dianggap sangat ditentukan dari siapa ayahnya dan siapa ibunya.
Walaupun cenderung diskriminatif terhadap perempuan – karena mungkin pada saat Carlyle hidup, para pemimpin besar (utamanya yang berhubungan dengan politik) umumnya adalah laki-laki – konsepsi great man memang punya dimensi sosio-kultural yang kuat melekat pada kondisi masyarakat saat itu.
Terminologi ini juga cenderung dekat dengan pandangan bahwa di masa-masa yang dibutuhkan, akan selalu hadir orang hebat yang akan membawa perubahan – konsepsi yang mirip-mirip dengan “Ratu Adil” dalam budaya lokal. Bagi yang masih asing, Ratu Adil adalah tokoh yang ada dalam ramalan Raja Kediri, Jayabaya (1135-1179). Jayabaya menyebut nama raja itu sebagai “Erucokro” – nama yang kemudian diambil sebagai gelar oleh Pangeran Diponegoro (1785-1855). Tak ada yang meragukan jika Diponegoro adalah salah satu the great man Indonesia.
Mulai dari Buddha hingga Nabi Musa, mulai dari Yesus hingga Nabi Muhammad, mulai dari Shakespeare hingga Rousseau, mulai dari Napoleon hingga Churchill, semuanya adalah tokoh-tokoh yang masuk dalam kategori the great man.
Carlyle secara jelas juga mengatakan bahwa sebagian besar isi buku sejarah dunia ditentukan oleh orang-orang yang masuk dalam kategori ini. Mereka-mereka ini disebut memiliki kharisma pribadi, kecerdasan, kebijaksanaan, atau keterampilan politik. Karena kekuatan-kekuatannya tersebut, mereka setidaknya pernah mengambil keputusan yang mempengaruhi sejarah dunia.
Pemikiran Carlyle ini memang mendapatkan banyak kritikan. Salah satu kritikan yang paling terkemuka adalah dari filsuf asal Inggris, Herbert Spencer (1820-1903). Spencer mengatakan bahwa keberadaan the great man juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Oleh karena itu, tidak ada jaminan breeding process mampu menghasilkan seorang pemimpin hebat.
Namun, konsepsi the great man nyatanya masih punya relevansi untuk menganalisis berbagai fenomena sosial-politik yang terjadi saat ini, termasuk ketika David A. Bell menulis tentang kemenangan Donald Trump pada Pemilu Amerika Serikat 2016 lalu. Kini, konsepsi itu juga sedang meraba-raba bentuknya kembali. Akankah Prabowo Subianto menjadi orang berikut dalam daftar the great men?
Prabowo, the Next Great Man?
Tidak ada yang meragukan gagasan-gagasan Prabowo untuk Indonesia. Jika membaca buku Femi Adi Soempeno berjudul Prabowo dari Cijantung Bergerak ke Istana, jelas tergambar bagaimana putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo ini mengkonsepsi Indonesia.
Cita-citanya, gagasan ekonominya, dan pemikiran-pemikirannya jelas menggambarkan konsepsi “Indonesia Hebat” atau great Indonesia. Sebutan terakhir bahkan dipakai sebagai nama partai politiknya (Gerakan Indonesia Raya: Great Indonesia Movement Party).
Lalu, apakah Prabowo Subianto adalah orang yang masuk dalam kategori the great man? Tentu bagi para pendukungnya, tidak ada keraguan untuk mengatakan “ya”, bahkan dengan teriakan yang lantang. Bagi pendukung Prabowo – mungkin juga bagi sebagian masyarakat umum – aksi Prabowo yang dipikul oleh dua kadernya dan bersukaria bersama dengan bertelanjang dada sembari menikmati lagu Sajojo adalah sesuatu yang heroik dan menunjukkan kharismanya sebagai pemimpin yang dekat dengan kader.
Krn @fadlizon menantang @jokowi adu bentuk dada dgn @prabowo bagaimana kalo partai pembuka laga dada itu dibuka dengan partai adu dada antara anak Jokowi @kaesangp dan Didiet Putra Prabowo.
Biar makin seru
— JOKOWI2P (@BirgaldoS) April 15, 2018
Apalagi jika berbicara tentang sosok Prabowo dalam rekam jejaknya di dunia militer yang penuh dengan segudang pencapaian mewah. Tak ada yang meragukan kehebatan Prabowo.
Prabowo juga berasal dari keluarga aristokrat – masuk dalam salah satu ciri-ciri the great man. Ayahnya, adalah seorang begawan ekonomi, sementara kakeknya punya jasa besar terhadap bangsa dan negara, termasuk ketika ia mendirikan BNI. Secara latar belakang keluarga, jelas tidak ada yang meragukan sosok Prabowo sangat mungkin menjadi the great man. Tapi apakah itu cukup?
Nyatanya, dengan kondisi bangsa dan negara seperti saat ini, Prabowo belum menunjukkan bahwa ia mampu mempengaruhi sejarah. Ia mungkin akan bisa melakukannya jika tuduhan-tuduhan yang diarahkan padanya di seputar tragedi 1998 benar adanya. Namun, dalam konteks saat ini, Prabowo jelas belum menunjukkan kapasitas untuk menjadi seorang great man.
Secara konsepsi, pemikiran-pemikiran Prabowo jelas menunjukkan potensi dirinya mampu menjadi orang yang mengubah sejarah Indonesia – katakanlah konsep ekonomi berdikari, dan berbagai gagasan pembangunan lainnya. Namun, strategi kampanye politiknya yang terjadi belakangan ini justru menebar pesimisme – katakanlah dengan menyebut Indonesia akan bubar di tahun 2030 – kontraproduktif dengan fakta bahwa dirinya dilahirkan untuk menjadi pemimpin besar.
Ketimbang memberikan harapan untuk perubahan, Prabowo justru menebarkan ketakutan. Prabowo juga belum mampu menawarkan hal-hal nyata yang bisa menandingi kerja lawan politiknya, Jokowi. Konsep besar pemikirannya belum punya keran yang membuktikan bahwa ada sumur berair jernih di dalam tanah – sebuah analogi.
Dalam waktu yang tersisa sebelum Pilpres 2019, penting adanya bagi Prabowo dan kubunya untuk menghitung strategi nyata menghadang Jokowi. Yang jelas, Aleksander Agung tidak menjadi the great man hanya dengan konsepsi, tetapi dengan pedang dan darah.
Pada akhirnya, “Great man are not born great, they grew great” mungkin adalah kutipan lain dari film The Godfather yang bisa menjadi antitesis teori the great man. Apapun itu, yang jelas, seperti kata Steven Covey: “Leaders are not born or made, they are self made”. Pilih yang mana, Pak Prabowo? (S13)