HomeNalar PolitikPrabowo Tersandung Mimpi Maritim Tiongkok?

Prabowo Tersandung Mimpi Maritim Tiongkok?

Seri pemikiran Fareed Zakaria #30

Ditemukannya drone bawah laut asing yang diduga milik Tiongkok di perairan Selayar, Sulawesi Selatan menimbulkan kekhawatiran akan keamanan nasional Indonesia. Lantas, mengapa hal itu bisa terjadi? Selain itu, apa kiranya yang dapat dilakukan Menhan Prabowo Subianto merespons persoalan ini?


PinterPolitik.com

Saeruddin, seorang nelayan asal Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan mungkin tak menyangka hasil “tangkapan”-nya pada medio Desember lalu akan membangkitkan isu yang cukup esensial bagi kedaulatan dan keamanan nasional Indonesia.

Dirinya menemukan sebuah benda asing yang ternyata adalah perangkat nir-awak (drone) bawah laut atau seaglider. Benda tersebut sempat disimpan di kolong rumahnya selama sepekan, sebelum pihak TNI mengetahui temuan Saeruddin itu dan langsung mengevakuasinya.

Sontak temuan itu menimbulkan kekhawatiran di dalam negeri. Selain eksistensinya yang tak terdeteksi, tak berizin, dan disinyalir melanggar kedaulatan, tak menutup kemungkinan pula jika drone bawah laut ini digunakan untuk kepentingan militer negara tertentu.

Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono pada sebuah konferensi pers pagi tadi menyebut, pihaknya masih akan melakukan penyelidikan lebih lanjut dan belum dapat memastikan negara mana yang mengoperasikan alat tersebut.

Yudo mengatakan bahwa dengan karakteristik teknisnya, drone atau seaglider itu bisa digunakan untuk kepentingan industri, maupun militer.

Sebelumnya, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana meminta pemerintah bersikap tegas terhadap negara pemilik drone bawah laut.

Yang menarik, temuan itu juga turut disoroti oleh media Inggris, Independent. Dalam sorotan itu, analis pertahanan dan pakar alutsista bawah laut H.I. Sutton mengatakan, objek itu tampak identik dengan drone bawah laut milik Tiongkok yang dikenal dengan Unmanned Underwater Vehicle (UUV) Chinese Sea Wing atau Haiyi.

Baca juga: Trump Menang, Jokowi-Tiongkok Berjaya?

Meski masih tengah berada dalam proses pendalaman dan investigasi perihal asal negara drone atau seaglider itu, anggota komisi I DPR RI Sukamta menyebut bahwa penemuan tersebut menguak pekerjaan rumah serius yang masih dimiliki Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.

Sukamta khawatir jika sebelumnya telah jamak drone lain yang berkeliaran di perairan Indonesia dan mengambil data-data penting geografis dan potensi laut Indonesia secara ilegal. Yang dengan kata lain mengindikasikan bahwa keamanan nasional Indonesia sangat rentan.

Pertanyaannya, jika benar objek tersebut milik Tiongkok, tendensi geopolitik apa yang sedang terjadi di kawasan Indonesia saat ini? Serta apa yang dapat dilakukan Menhan Prabowo dalam menyikapinya?

Ambisi Absolut Tiongkok

Fareed Zakaria dalam publikasinya berjudul The New China Scare menjelaskan bagaimana dalam kebangkitannya menantang Amerika Serikat (AS) di berbagai aspek, Tiongkok kerap bertindak agresif mencederai elemen-elemen international liberal order atau tatanan liberal internasional.

Hal tersebut tak terkecuali ditemukan pada bagaimana manuver Tiongkok di Laut China Selatan (LCS), yang hampir selalu berbenturan dan meningkatkan eskalasi konfliktual atas tatanan keamanan kawasan tersebut selama ini, termasuk dengan Indonesia di perairan Natuna.

Secara lebih spesifik, dalam Asia Rising: China’s Global Naval Strategy and Expanding Force Structure, James E. Fanell menjelaskan Chinese maritime dream atau mimpi maritim Tiongkok.

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Seruan Presiden Xi Jinping agar Tiongkok menjadi kekuatan maritim yang kuat, selaras dengan mimpi dan ambisi mantan Presiden Hu Jintao untuk dengan tegas melindungi hak dan kepentingan maritim Tiongkok, dan membangun negeri Tirai Bambu menjadi kekuatan maritim dunia.

Sejak berakhirnya Rencana Lima Tahunan yang kesembilan pada tahun 2000, Tiongkok telah memulai program pembangunan angkatan laut yang ambisius. Secara dramatis, mereka berusaha menjelma menjadi blue water navy, sebuah istilah bagi kekuatan maritim yang mampu beroperasi di perairan terbuka dan melakukan eksplorasi laut jarak jauh.

Dan yang mengkhawatirkan, hal itu lebih dari sekadar klaim nine-dash line Tiongkok di LCS. Tetapi juga mencakup “ekspansi” dengan derajat kepentingan yang belum diketahui atas first hingga third island chain atau rantai pulau pertama hingga ketiga.

Rantai pulau pertama sendiri mencakup rantai kepulauan di dekat pantai daratan benua Asia Timur. Ini termasuk Kepulauan Kuril, Kepulauan Ryukyu, Taiwan, Filipina utara, hingga Kalimantan.

Sementara rantai pulau kedua meliputi Kepulauan Ogasawara hingga wilayah Kepulauan Mariana. Dan rantai pulau ketiga dimulai di Kepulauan Aleut dan berakhir di Oseania, di mana bagian penting dari rantai pulau ketiga mencakup pula Hawaii.

Baca juga: Manuver Tiongkok Bangun Militer di Indonesia

Tentu mimpi dan ambisi Tiongkok itu kini mulai terlihat nyata dengan didukung tiga armada laut yang kian masif dengan alutsista termutakhir, seperti kapal induk, kapal tempur, kapal selam, dan termasuk perangkat-perangkat bawah laut nir-awak.

Dan jika memang drone bawah laut atau seaglider yang ditemukan di Kepulauan Selayar adalah milik Tiongkok, menjadi sebuah ihwal yang tidak mengherankan. Karena seperti yang Fanell kemukakan, Indonesia sendiri masuk ke dalam rantai kepulauan pertama dari kepentingan, mimpi, dan ambisi maritim Tiongkok.

“Pertempuran” Bawah Laut Dimulai?

Penemuan drone bawah laut atau seaglider di Indonesia sendiri bukanlah yang pertama. Sebelumnya, objek serupa pernah ditemukan pada Januari 2020 di perairan Sumenep, Jawa Timur dan di perairan Kepulauan Riau pada Maret 2019.

Selain menguak kerentanan keamanan nasional Indonesia di aspek maritim, khususnya bawah laut, temuan ini sekaligus membuka adanya potensi perabaan atau telah dimulainya persaingan kepentingan maupun militer antar negara, terutama Tiongkok dan AS plus sekutunya.

Senada dengan rilis KSAL pagi tadi, sebuah publikasi mengenai pertahanan bernama Naval News mencatat, UUV tersebut dapat mengumpulkan data oseanografi penting termasuk suhu, kekeruhan air, hingga tingkat salinitas dan kadar oksigen.

Data itu mungkin terdengar tidak berbahaya lantaran dapat digunakan untuk penelitian ilmiah, yang tak menutup kemungkinan juga demi pemetaan sumber daya bawah laut atas motif ekonomi, meskipun pengambilannya terkesan ilegal.

Akan tetapi, jika diakumulasi secara berkesinambungan, kumpulan statistik itu bisa sangat berharga bagi perencanaan angkatan laut, terutama mendukung operasi kapal selam dan operasi bawah laut lainnya.

Selain itu, penemuan itu juga menjadi perhatian tersendiri dari negara tetangga, Australia, karena objek tersebut ditemukan di rute maritim penting. Yakni koridor penting yang menghubungkan LCS dengan kota strategis paling utara Australia yang juga cetak biru pangkalan militer AS, Darwin.

Baca juga :  Flashback Bittersweet Memories Jokowi-PDIP

Baca juga: Prabowo, Strategi AS Lawan Tiongkok?

Karenanya, mengacu pula pada postulat Zakaria bahwa persaingan antara Tiongkok dan AS di bidang maritim kawasan Asia Pasifik yang tidak bisa dihindari, persaingan kepentingan yang terkait seluruh sumber daya maritim juga patut diperhatikan.

Utamanya bagi Indonesia yang meski kerap terusik isu pelanggaran kedaulatan batas wilayah maupun kasus seperti penemuan drone laut asing, namun punya hubungan bilateral yang positif, baik dengan Tiongkok maupun AS.

Lalu dengan kecenderungan fenomena geopolitik dan keamanan ini langkah seperti apa yang kiranya dapat segera ditempuh Prabowo sebagai seorang Menhan?

Balancing, Jalan Terbaik?

Dengan dengan luas total perairan 6,4 juta kilometer persegi dan terdiri dari 17.504 pulau, pengawasan keamanan – hingga dasar lautnya – menjadi elemen yang tampaknya tak dapat dipungkiri masih menjadi pekerjaan yang harus dibenahi semua stakeholder terkait.

Karena jika dilihat secara umum, realistis, dan objektif saja, militer dan pertahanan Indonesia, baik darat, laut, maupun udara masih cukup bergantung pada alutsista buatan luar negeri, yang disebut belum memenuhi Minimum Essential Force (MEF) optimal.

Sebab itu, cerdik memanfaatkan sokongan eksternal dan potensi benefit keamanan yang mungkin didapat, agaknya menjadi siasat yang cukup masuk akal bagi Indonesia, khususnya Menhan Prabowo untuk dapat keluar dari tekanan keamanan yang tercipta atas ekses persaingan Tiongkok dan AS.

Dalam The New China Scare, Fareed Zakaria menyebutkan America’s not so secret strategy yang menyiratkan bahwa strategi dan kebijakan luar negeri AS dalam upayanya membendung Tiongkok tampaknya tidak akan berubah secara signifikan.

Akan ada engagement dan deterrence di saat yang sama, yang juga dapat tercermin dari hubungan antara negara mitra bilateral masing-masing dengan dua kekuatan itu.

Karakteristik hubungan Indonesia dengan Tiongkok maupun AS sendiri lebih kepada dependensi dibandingkan interdependensi, dan kecenderungan di bidang ekonomi sendiri lebih berat kepada Tiongkok sampai saat ini.

Hal yang membuat Menhan Prabowo kiranya dapat menggunakan strategi balancing atau mengimbangi situasi dengan mempertahankan sekaligus meningkatkan hubungan pertahanan dan militer dengan AS, yang belum lama ini dirajut bersama Plt Menhan Christopher Miller.

Tentu strategi yang dapat diaktualisasikan menjadi peningkatan kerja sama dan pengadaan infrastruktur pertahanan relevan seperti maritime surveillance maupun capacity building personel militer dalam mengawasi aspek bawah laut Indonesia.

Kendati demikian, rangkaian analisa di atas masih sebatas praduga semata karena investigasi untuk menguak asal negara yang mengoperasikan drone bawah laut itu masih berlangsung.

Yang jelas, dalam kasus ini Menhan Prabowo memang tampaknya harus cepat bereaksi untuk menegasikan isu minor terkait keamanan maritim Indonesia. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Baca juga: Austria, Perantara Prabowo Jauhi Rusia-Tiongkok?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ketika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Mengapa meme ‘Chill Guy’ memiliki kaitan dengan situasi ekonomi dan sosial, misal dengan kenaikan PPN sebesar 12 persen pada Januari 2025?

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?