Prabowo Subianto diketahui tidak menggubris pesan Amien Rais selama tiga bulan. Mungkinkah ini pertanda bahwa manuver politik Prabowo semakin dibatasi oleh keperluannya untuk tetap berada dalam spektrum Istana?
Setelah bertahun-tahun melewati masa sekolah dan kuliah, mungkin di antara kalian pernah ada yang merasakan bagaimana pahitnya kehilangan seorang teman dekat. Yap, yang tadinya hampir setiap hari berinteraksi, dan bahkan mungkin main bersama, tiba-tiba saja entah karena apa ia “pergi” dari kehidupan kita.
Hal seperti ini tidak saja terjadi dalam hubungan antar-personal, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan seorang manusia, salah satu contohnya tentu adalah politik.
Sebagai contoh, ketika Partai Ummat melaksanakan rapat kerja nasional (Rakernas) pada 13 Februari silam, Ketua Majelis Syuro Partai Ummat Amien Rais mengungkapkan setidaknya selama tiga bulan terakhir ini Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra, sekaligus Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, tidak menggubris pesan yang dikirimkan olehnya.
Amien mengatakan, Prabowo selalu berkilah di balik kesibukannya, mantan Pangkostrad tersebut pun disebut tidak menanggapi undangan dari Partai Ummat untuk menghadiri rakernasnya.
Hal ini tentu menarik mengingat hubungan antara Amien dan Prabowo sebagai sesama tokoh politik sebetulnya sempat terlihat memiliki hubungan yang spesial. Pada Pemilihan Presiden 2019 (Pilpres 2019) lalu misalnya, Amien sempat menjadi Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN), lalu, pada masa itu Prabowo juga pernah mencap Amien sebagai mentor politiknya.
Bagi yang sudah cukup akrab dengan bagaimana politik bekerja, mungkin pandangan di seputar kalimat “politik itu dinamis, tak ada kawan tak ada lawan” jadi hal pertama yang terlintas dalam pikiran. Bisa saja, seorang politisi menunjukkan kedekatan layaknya sepasang saudara kandung di satu pemilu, tapi bertindak ibarat musuh bebuyutan di pemilu yang berikutnya.
Namun, terkhusus kasus perenggangan hubungan antara Amien dan Prabowo, sepertinya dinamika kedua tokoh politik ini menyimpan dasar pemikiran yang memiliki konsekuensi cukup krusial terhadap kelangsungan jalan politik Prabowo menuju Pemilu 2024. Bagaimana bisa demikian?
Apa Pun Demi Jokowi?
Sebelum kita bahas lebih lanjut, rasanya kita perlu punya pemahaman yang sama terlebih dahulu dengan “menduga” apa yang membuat Prabowo merasa perlu menjaga jarak dengan Amien, kalau memang hal ini benar terjadi.
Kilas balik Pemilu 2019, kita bisa sadari bersama bahwa perbedaan preferensi politik antara kubu 02 (Prabowo) dan kubu 01 (Jokowi) begitu kentara, puncaknya mungkin adalah ketika BPN membawa persoalan pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Di balik panasnya tensi politik saat itu, Amien terlihat sebagai tokoh yang cukup keras menantang kubu lawannya, bahkan mengancam akan mengerahkan “people power” untuk melawan kecurangan. Tidak heran bila Amien kemudian dipandang sebagai “musuh besar” oleh kubu Istana.
Kembali ke konteks hubungan Amien dan Prabowo, Cees van der Eijk dalam bukunya The Essence of Politics, menjelaskan hal-hal yang mampu mendorong seorang politisi hingga akhirnya ia merasa perlu mengubah perilakunya.
Pertama, politik pada dasarnya memang bisa berangkat dari perjuangan sang politisi pada level individual, akan tetapi ketika masuk ke dalam suatu sistem, seperti pemerintahan misalnya, sikap politik berubah jadi suatu hal yang bersifat hierarkis dan kolektif.
Oleh karena itu, pihak-pihak yang dilihat sebagai “lawan” oleh penguasa sistem tadi otomatis juga harus menjadi lawan dari siapapun yang terlibat di sistem itu.
Kedua, terkait hal itu, politik dalam sebuah sistem yang besar juga cenderung menciptakan suatu fenomena yang disebut sebagai the dynamics political favor atau dinamika politik kebaikan. Sederhananya, politisi yang terlibat politik seperti ini melakukan segala aktivitasnya demi mendapat citra yang baik di hierarki sistem politik yang berlaku.
Kalau menurut Eve Warburton dalam tulisannya Deepening Polarization and Democratic Decline in Indonesia, spesifiknya di Indonesia, fenomena politik seperti ini bisa terjadi karena adanya sistem patronase. Mengutip dari Dan Slater, sistem patronase politik selalu jadi alasan dasar parpol-parpol berkompetisi di Indonesia, ini bisa dibuktikan dengan minimnya perjuangan gagasan di level politik praktis, karena semua politisi hanya ingin dapat grand prize dengan memenangkan pemilu.
Yap, sistem patronase ini memberikan kesempatan pada siapapun yang ingin bergabung dengan suatu sistem politik mendapatkan sumber daya politik yang luar biasa.
Nah, agar sumber daya itu bisa digunakan oleh siapapun yang berniat bertanding di kontestasi politik selanjutnya, mau tidak mau politisi itu harus terus berada di sisi baik pemimpin teratas hierarki tadi. Sederhananya, fenomena ini seperti kebiasaan “menjilat” bos yang kerap dilakukan karyawan-karyawan kantor pada bosnya.
Karena itu, favor-favor atau kelakuan yang membuat sang atasan merasa aman, akan diperjuangkan oleh politisi yang ingin menggunakan sumber daya politik yang dimiliki pihak petahana.
Namun, dalam kasus Prabowo, bagaimana kita bisa yakin hal ini sedang terjadi padanya?
Well, belakangan ini sejumlah media semakin sering memberitakan Presiden Jokowi menyebut nama Prabowo sebagai calon presiden (capres) di sejumlah acara. Meskipun beberapa petinggi dari Partai Gerindra sudah mengatakan Prabowo dan Gerindra tidak terlalu terlena oleh ucapan Jokowi, kalau kita berkaca pada sikap yang ditunjukkan Prabowo pada Amien, maka kenyataannya sepertinya sebaliknya.
Seperti yang dibahas dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Prabowo Perlu Waspadai Sanjungan Jokowi?, di balik sejumlah sanjungan yang dilontarkan Jokowi, ada kemungkinan ia pun menyimpan pesan tersembunyi yang kurang lebih bermakna sebagai potensi dukungan politik sang presiden pada Pilpres 2024 nanti.
Walaupun tidak bisa kita simpulkan secara pasti, sikap Prabowo yang menjauhi Amien tadi berlaku layaknya indikator bahwa Prabowo sepertinya memang sudah jatuh dalam buaian manis Jokowi. Bisa jadi, Amien dijauhi karena Prabowo melihat sanjungan Jokowi sebagai sebuah peluang dan akhirnya ia merasa perlu tetap berada dalam spektrum “orang baik” di mata Jokowi.
Namun, bagaimana kira-kira realitas politik yang akan terjadi pada Prabowo di 2024 nanti jika ia memang maju sebagai capres, dan sedang berusaha mendapatkan sisi baik Jokowi?
Prabowo Justru Bisa “Dirugikan”?
Setelah ungkapan dari Amien tentang Prabowo tadi, Juru Bicara (Jubir) Partai Ummat, Mustofa Nahrawardaya, mengklaim bahwa dari kalangan masyarakat akar rumput (grass root), hingga kini masih banyak yang menyesali bergabungnya Prabowo ke kabinet Jokowi. Meskipun manuver tersebut sering dinilai sebagai upaya rekonsiliasi, niatan baik itu kata Mustofa tidak sampai ke benak banyak orang.
Jika klaim tersebut memang benar, maka Prabowo berpotensi kehilangan satu segmen pendukungnya di 2024, yakni mereka yang kecewa dirinya bergabung Jokowi, dan -ini yang paling penting- juga kelompok orang-orang yang selalu bermain di narasi politik identitas.
Hal ini menjadi kewaspadaan yang lebih serius bagi Prabowo dengan adanya dugaan bahwa sebagian besar pendukung Prabowo kini mulai berpaling ke kubu bakal capres, Anies Baswedan. Pendiri Saiful Muljani Research and Consulting (SMRC), Saiful Muljani, mengatakan bahwa berdasarkan survei yang dilakukan pihaknya, mayoritas pendukung Prabowo yang beralih ke Anies adalah dari segmen kelompok-kelompok Islam.
Nah, dari sini kita masuk ke ruang spekulasi. Tidak ada yang bisa membantah sepertinya bila kita melihat Anies sebagai sosok yang melekat dengan identitas Islam, hal ini bahkan bisa dikaitkan dengan faktor heritage atau keturunannya. Oleh karena itu, kalau di Pilpres 2024 nanti Prabowo dan Anies akhirnya bertanding, maka sangat rasional bila Prabowo berada di posisi yang dirugikan, karena saat ini ia justru malah menjauhi suara dari kelompok-kelompok Islam, terkhusus yang berada di spektrum politik yang sama dengan Amien.
Kalau ditarik ke akarnya, skenario tersebut bisa terjadi hanya karena alasan sederhana, yakni Prabowo “terjebak” oleh permainan political favor Jokowi. Akibat hal ini, manuver-manuver politik Prabowo ke depannya bisa jadi akan sangat terbatas.
Pada akhirnya, tentu ini hanya interpretasi belaka. Yang jelas, kita perlu menyadari bahwa sebenarnya “restu” presiden tidak selamanya berbuah manis, karena di satu sisi ia juga dapat menjadi penghalang kebebasan kampanye seorang kandidat.
Well, bagaimanapun juga yang terjadi nanti, kita harapkan saja gesekan politik di 2024 bisa lebih halus dari yang terjadi pada tahun 2019. (D74)