Prabowo tak tampil seperti biasanya dan banyak memberi apresiasi kepada lawannya.
Pinterpolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]da yang tak biasa dari penampilan Prabowo Subianto di debat kedua Pilpres. Sosok yang kerap dianggap sebagai singa podium oleh para pendukungnya itu, tampak tak tampil seprima biasanya. Kemampuannya dalam menguasai panggung tampak tak hadir di gelaran tersebut.
Prabowo tampak agak keteteran saat ditanyai hal-hal detail dan data oleh lawan debatnya, Joko Widodo (Jokowi). Memang, tema debat saat itu kerap dianggap sebagai makanan sehari-hari Jokowi karena menyentuh sektor infrastruktur dan sebagainya. Akan tetapi, Jokowi bukannya tidak punya celah yang bisa dieksploitasi oleh Prabowo.
Nyatanya, serangan Prabowo kepada Jokowi tergolong amat minim di malam itu. Alih-alih mengeksplorasi secara maksimal kelemahan Jokowi, Prabowo justru banyak bersepakat dan mengamini pernyataan dan dalam kadar tertentu capaian-capaian petahana.
Bagi sebagian penggemar Prabowo di layar kaca, penampilan Prabowo tersebut bisa saja dianggap tak sesuai dengan ekspektasi mereka. Jelas, performa semacam ini adalah hal yang tak lazim bagi Prabowo yang kerap mengambil panggung dengan kata-kata yang berapi-api. Lalu, apa sebenarnya yang terjadi pada Prabowo di malam itu?
Di Bawah Performa
Performa Prabowo di debat kedua dalam kadar tertentu bisa dianggap tak sesuai dengan ekspektasi. Memang, bagi tim pemenangannya, Prabowo dianggap menang 6-0 atas Jokowi. Akan tetapi, secara audiovisual, sulit untuk mengatakan bahwa Prabowo benar-benar menguasai panggung malam itu.
Prabowo misalnya banyak mengakui dan menghargai pembangunan infrastruktur di era Jokowi. Tak hanya itu, capaian Jokowi dalam hal lingkungan hidup juga tak luput dari apresiasi Prabowo. Di satu sisi, sikap apresiatif memang bisa dianggap positif, akan tetapi hal ini idealnya tidak dilakukan di panggung sekaliber debat capres.
Sebenarnya, Jokowi memberikan cukup banyak lubang untuk dapat digali melalui pertanyaan-pertanyaan atau kritik-kritik tajam. Akan tetapi, lubang-lubang tersebut tak dieksplorasi dengan sempurna oleh Prabowo.
Makin seru Nobar #DebatPilpres2019 di Basecamp @psi_id kata Mas Sirajuddin Abbas (SMRC) @prabowo gagal malam ini krn tdk dibantu dgn data2 yg baik dr Timsesnya bahkan yg muncul malam ini justru apresiasi Prabowo ke Pak @jokowi | @grace_nat @daranasution11 @gorba_psi @agussari pic.twitter.com/G2zX0k3eEV
— Mohamad Guntur Romli (@GunRomli) February 17, 2019
Sebagai petahana, wajar jika Jokowi menyimpan banyak data dan hal-hal detail. Akan tetapi, bukan berarti Prabowo tak bisa menyerangnya. Soal data impor misalnya, Prabowo seharusnya bisa mengeksploitasi ini lebih jauh, terlebih, impor pangan belakangan tengah menjadi isu utama di kampanyenya.
Hal serupa berlaku dalam urusan pembangunan infrastruktur. Jika di hari-hari biasa, tim pemenangan Prabowo gemar mengritik infrastruktur Jokowi, Prabowo di malam itu justru mengapresiasi kerja keras Jokowi.
Jika ditotal, Prabowo enam kali memberikan apresiasi kepada Jokowi di gelaran debat tersebut. Sekilas, hal itu bisa dianggap simpatik, tetapi bisa juga dianggap terlalu royal untuk sebuah debat, apalagi yang mempertemukan dua rival.
Pada titik ini, secara tampilan audiovisual, Prabowo tampak tak maksimal dan beberapa pihak menganggapnya tak sepenuh hati. Jelas, performa Prabowo di debat kedua ini tak seperti biasanya dan bisa digolongkan sebagai keanehan.
Menjadi Pendebat yang Baik
Bagaimanapun, debat adalah salah satu hal yang penting dalam sebuah proses Pemilu. Penampilan prima seorang kandidat di panggung tersebut bisa memberi pengaruh kepada pilihan masyarakat. Oleh karena itu, penampilan apik yang tersaji dalam presentasi audiovisual yang ciamik dari seorang kandidat menjadi hal yang penting.
Tim Prabowo boleh saja melakukan protes keras kepada Jokowi karena dianggap melakukan serangan kepada junjungan mereka. BPN Prabowo juga boleh saja menyerang moderator karena dianggap memotong pembicaraan Prabowo.
Akan tetapi, tetap saja panggung debat adalah seharusnya panggung bagi kandidat, bukan panggung milik Dahnil Anzar Simanjuntak, Andi Arief, Andre Rosiade, atau siapapun di tim pemenangan Prabowo. Apa yang tersaji di dua jam debat berpotensi lebih terekam dalam memori masyarakat ketimbang apa yang mereka bantah satu detik sejak acara berakhir.
Ketika kualitas kepemimpinan diuji melalui serangan fitnah terhadap Pribadi, ia @prabowo tetap tenang. Tak membalas dg serangan balik yang memalukan lawan debatnya, bahkan Prabowo tetap memberikan penghormatan dan apresiasi kpd lawan debatnya. pic.twitter.com/M8uB4Em43D
— Dahnil A Simanjuntak (@Dahnilanzar) February 17, 2019
Tengok saja bagaimana debat berhasil mengubah lanskap Pemilu Presiden di Amerika Serikat (AS). Tampilan visual John F. Kennedy yang lebih meyakinkan membuatnya terlihat lebih prima ketimbang lawannya Richard Nixon yang bersimbah keringat. Dikisahkan bahwa pada debat tersebut, penonton televisi cenderung menyukai Kennedy ketimbang Nixon.
Tengok juga bagaimana satu kesalahan dalam debat membuat Gerald Ford harus kalah dari Jimmy Carter di tahun 1976. Kala itu, pernyataan Ford yang yakin bahwa Polandia tak berada di bawah pengaruh komunisme membuat audiens terperangah dan menjadi momen paling diingat di tahun tersebut.
Kedua momen tersebut menjadi gambaran bahwa kesalahan kecil saja yang terekam secara audiovisual bisa menjadi momen paling diingat dan mengubah hasil pemilihan. Dalam konteks tersebut, sebagai orang yang dianggap mahir berbicara di depan publik, Prabowo tentu tak ingin memiliki momen seperti Nixon atau Ford. Idealnya, ia bisa tampil prima sebagai pendebat yang baik dan menciptakan ingatan yang baik dalam masyarakat.
Pada malam itu, jika merujuk pada International Institute of Debate, Prabowo tak tampil layaknya seorang pendebat yang prima. Ada prinsip-prinsip dari pendebat yang baik yang tak ditunjukkannya di panggung debat kedua tersebut.
Salah satu prinsip yang disebutkan lembaga tersebut adalah fokus pada posisi atau argumen lawan debat. Mengetahui sisi lawan adalah hal yang penting untuk menyanggah argumen lawan.
Pada titik tersebut, Prabowo tampak tak sepenuhnya menjalankan prinsip sebagai pendebat yang baik. Alih-alih fokus pada argumen lawan dan bersiap untuk menyanggahnya, Prabowo malah beberapa kali terjebak oleh jawaban lawan dan justru mengapresiasi kubu lawan. Padahal, menantang dan mempertanyakan posisi lawan juga adalah prinsip dari pendebat yang baik.
Hal ini jelas tidak seharusnya muncul pada Prabowo dan berpotensi mengubah ingatan masyarakat tentangnya di debat tersebut.
Sebuah Pengakuan?
Jika melihat pada kondisi tersebut dan penampilan Prabowo di malam itu, publik jelas berhak bertanya-tanya, mengapa Prabowo seperti tampil setengah hati di gelaran sebesar itu? Mengapa ia harus mengapresiasi lawannya saat ia bisa mengeksploitasi lawannya?
Dalam kadar tertentu, Prabowo seperti mengakui sendiri kerja keras lawannya di debat tersebut. Ketua Umum Partai Gerindra itu seperti submisif dan membiarkan Jokowi tampil begitu superior. Padahal, sosok seperti Prabowo tak dikenal pernah bersikap inferior.
Prabowo tak tampil seperti biasanya di debat kedua Share on XDalam politik, dikenal isitilah deference yang menggambarkan rasa segan, sikap submisif, dan sikap pasif. Menurut John B. Kirbya, deference adalah pengakuan kepada pengaruh dari orang yang memiliki posisi lebih tinggi. Ada dua unsur yang kerap dikaitkan dengan hal ini yaitu submission (ketundukan) dan juga yielding (sikap mengalah)
Memang, deference yang dimaksud dalam konteks Prabowo tidaklah sama persis dengan yang terjadi di AS tempo dulu yang menyangkut pada legitimasi. Deference yang dimaksud lebih kepada sikap submisif dan mengalah yang ditunjukkan padanya di debat tersebut.
Dalam konteks tersebut, sikapnya yang menghargai terus-menerus capaian dan argumentasi Jokowi tak selalu bisa diartikan sebagai sikap apresiatif. Dalam kadar tertentu, ada unsur submisif dan mengalah dari sikap Prabowo tersebut. Hal ini terutama karena panggung debat adalah tempat di mana kandidat seharusnya bersikap lebih agresif, alih-alih menyetujui argumen lawan.
Sikap submisif dan mengalah itu jelas aneh dan membingungkan bagi pendukung Prabowo dan masyarakat umum. Penampilan tersebut, dalam kadar tertentu, berpotensi membuka kembali memori masyarakat di hari-hari jelang pendaftaran capres. Prabowo sempat dikabarkan tak niat nyapres, salah satunya karena perkara materi yang tak sederas tahun 2014.
Dalam konteks tersebut, publik bisa mengartikan bahwa Prabowo melaju hanya demi memberi legitimasi hasil Pemilu kepada kandidat yang berpotensi kuat memenangi pemilihan. Tentu, hal itu sekadar spekulasi liar, tetapi jika itu benar, publik akan bertanya-tanya, apa yang membuat sang jenderal bersikap demikian.
Pada akhirnya, benar atau tidak spekulasi liar tersebut, Prabowo memiliki pekerjaan berat untuk bangkit dari penampilannya di malam itu. Jika ia ingin mengembalikan kepercayaan pendukungnya, ia harus kembali ke performa terbaiknya di debat berikutnya, alih-alih bersikap submisif. Tentu, jika benar-benar serius, ia harus menyiapkan kejutan jika tak ingin diingat seperti Nixon atau Ford-nya Indonesia. (H33)