Baru-baru ini Prabowo Subianto mengangkat Johannes Suryo Prabowo (JSP) sebagai Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) di Kemenhan. Menimbang pada sosok JSP yang dinilai anti-Jokowi, Ferdinand Hutahaean terkejut dengan pengangkatan tersebut. Mantan politisi Demokrat itu bahkan menyebut Prabowo melakukan blunder dan tidak loyal kepada Presiden Jokowi. Benarkah demikian?
Ketika Prabowo Subianto masuk ke dalam koalisi pemerintah tahun lalu, berbagai keraguan mencuat. Salah satunya perihal apakah mantan Danjen Kopassus ini akan loyal kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apalagi, dengan status sebagai rival dalam dua gelaran Pilpres terakhir, sulit membayangkan Prabowo akan menjadi “pembantu” yang penurut.
Namun seiring waktu, Prabowo tampaknya membuktikan diri mampu mengikuti ritme pemerintahan Presiden Jokowi. Lalu, berbagai gestur politik juga menunjukkan hubungan keduanya justru begitu dekat.
Pada 23 Januari lalu, misalnya, ketika Prabowo dikritik PKS karena kerap melakukan perjalanan ke luar negeri, Presiden Jokowi tampil sebagai sosok pembela dengan menyebut perjalanan tersebut sebagai diplomasi pertahanan.
Seolah membalas, pada 23 April lalu, Prabowo menyampaikan pidato yang berisi kesaksian bahwa Presiden Jokowi terus berjuang demi kepentingan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia. Dan yang lebih menarik adalah, Presiden Jokowi justru menunjuk Prabowo sebagai pemimpin proyek food estate atau lumbung pangan di Kalimantan Tengah.
Menimbang pada Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo yang seharusnya ditunjuk jika merujuk pada Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi), penunjukan tersebut jamak dinilai sebagai bukti dekatnya hubungan Presiden Jokowi dengan Prabowo saat ini.
Baca Juga: “Makan Siang Gratis” Jokowi untuk Prabowo?
Namun, peristiwa-peristiwa politik kekinian tampaknya tengah mengguncang hubungan keduanya. Bagaimana tidak? Sosok yang begitu dipercaya oleh Prabowo, yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) Edhy Prabowo justru terlibat kasus rasuah.
Apalagi, selaku partai politik (parpol) yang tidak berkeringat memenangkannya di Pilpres 2019, Gerindra boleh dikatakan telah mencoreng kepercayaan Presiden Jokowi yang memberinya jatah kursi menteri.
Belum usai kasus Edhy, baru-baru ini ada peristiwa menarik terjadi di Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Bagaimana tidak? Johannes Suryo Prabowo (JSP) yang selama ini menunjukkan gestur sebagai sosok anti-Jokowi justru diangkat sebagai Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) di Kemenhan.
Pengangkatan ini bahkan mengejutkan eks politisi Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean. Menurutnya, itu telah menunjukkan Prabowo telah gagal menunjukkan loyalitasnya kepada Presiden Jokowi. Lantas, benarkah demikian?
Mengapa JSP Diangkat?
Sebenarnya bukan kali ini saja Prabowo melakukan pengangkatan kontroversial di Kemenhan. Pada September lalu, Prabowo juga mengangkat dua eks anggota Tim Mawar, yakni Brigjen TNI Yulius Selvanus dan Brigjen TNI Dadang Hendrayudha.
Yulius menggantikan Joko Supriyanto sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan Kemenhan. Sementara Dadang Hendrayudha menggantikan Tiara Sofyan sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kemenhan.
Saat itu, tentu saja pengangkatan keduanya menuai kontroversi karena Prabowo dan Presiden Jokowi yang menyetujui usulan tersebut dinilai tidak peka dengan isu HAM yang melekat pada Tim Mawar.
Sebagaimana diketahui, Tim Mawar disebut-sebut terlibat dalam peristiwa penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis pada tahun 1997-1998 yang sampai sekarang tidak jelas kelanjutan kasusnya. Tahun lalu, Tim Mawar bahkan diduga terlibat dalam kerusuhan 22 Mei.
Aris Santoso dalam tulisannya Anomali Tim Mawar: Kopassus di Bawah Danjen Prabowo Subianto menyebutkan bahwa Prabowo Subianto memang dikenal royal terhadap pasukan dan anak buahnya. Postulat itu membuat kita paham mengapa Prabowo mengangkat kedua mantan anak buahnya itu.
Pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memberikan komentar menarik terkait pengangkatan tersebut. Berbeda dengan pihak lain yang mengkritik, Fahmi justru melihat “lumrah”.
Menurutnya, pengalaman dan kecocokan dalam bekerja sama sebagai atasan-bawahan maupun senior-junior di masa lalu, tentu menjadi pertimbangan yang sangat wajar dan masuk akal. Lanjutnya, Prabowo tentu bisa menilai kapasitas, loyalitas, dan kinerja keduanya. Apalagi tak ada ketentuan terkait jabatan itu yang dilanggar.
Baca Juga: Di Balik Tim Mawar Masuk Kemenhan
Konteks pengangkatan eks Tim Mawar tampaknya dapat kita gunakan juga dalam memahami mengapa Prabowo menunjuk JSP sebagai Ketua Tim Pelaksana KKIP. Terlepas dari sosoknya yang dikenal anti-Jokowi, JSP memang memiliki karier yang mentereng di militer.
JSP misalnya pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan Kepala Staf Umum (Kasum) TNI yang secara teknis membuatnya terlibat dalam urusan pengadaan alutsista. Pengalaman itu tentu sangat sesuai dengan KKIP yang mengoordinasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi Industri Pertahanan.
Selain sudah dekat dengan Prabowo semenjak di Timor Timur, JSP juga terlibat dalam karier politik Prabowo dengan tergabung dalam tim pemenangan ketika sang mantan Pangkostrad maju di Pilpres 2014 dan 2019.
Kembali merujuk pada pernyataan Fahmi, faktor kedekatan emosional dan kemampuan JSP tentu menjadi pembenaran Prabowo untuk mengangkatnya sebagai pejabat di Kemenhan meskipun dikenal sebagai anti-Jokowi.
JSP Loyal ke Jokowi?
Setelah memahami alasan yang mungkin membuat Prabowo menunjuk JSP, sekarang pertanyaannya, mungkinkah JSP akan loyal kepada Presiden Jokowi? Atau justru, seperti yang disebutkan oleh Ferdinand, apakah keputusan ini adalah bunuh diri politik Prabowo?
Kendatipun berbagai pihak mengkritik keputusan pengangkatan tersebut, nyatanya berbagai parpol koalisi tampaknya tidak menunjukkan keberatan. Ketua DPP PKB Faisol Riza, misalnya, menyebut Prabowo mestilah sudah mempertimbangkan dan yakin JSP akan mendukung sikap politik Prabowo yang sekarang menjadi pembantu Presiden Jokowi.
Lalu ada pula komentar dari Wasekjen PPP Achmad Baidowi yang melihat pengangkatan tersebut sebagai fenomena yang lumrah. Di sini, Baidowi membandingkan pengangkatan JSP dengan bergabungnya Prabowo ke dalam koalisi. Tegasnya, meskipun sebelumnya garang sebagai rival, Ketua Umum Partai Gerindra tersebut justru mengikuti ritme pemerintahan Presiden Jokowi saat ini.
Konteks menurutnya Prabowo setelah menjadi Menhan mungkin dapat kita pahami melalui penjabaran sosiolog Jerman, Georg Simmel dalam bukunya yang berjudul The Philosophy of Money. Devin Singh dalam tulisannya Speculating the Subject of Money: Georg Simmel on Human Value menyebutkan tesis Simmel dalam buku tersebut adalah money equivalent of personal values atau uang ekuivalen dengan nilai-nilai personal.
Baca juga: Gaji ke-13, Politik Kontrol Jokowi?
Menurut Simmel, ini adalah imbas dari tidak terdapatnya suatu nilai intrinsik yang tetap atas objek. Artinya, nilai dari suatu objek menjadi begitu relatif, dan bergantung atas keinginan atau taksiran dari masing-masing individu.
Andrzej Karalus dalam tulisannya Georg Simmel’s The Philosophy of Money and the Modernization Paradigm, mengontekstualisasi pemikiran Simmel dalam konteks pemikiran modern dengan menyebut nilai yang begitu abstrak dan relatif tersebut dapat dinyatakan atau diwakilkan dengan harga atau uang.
Di sini, konteks uang yang disebutkan oleh Simmel, tentunya tidak hanya merujuk pada uang dalam artian denotatif, melainkan juga bisa berbentuk sesuatu yang dapat menghasilkan uang seperti jabatan. Singkatnya, memberikan jabatan dapat menjadi alat tukar untuk mendapatkan loyalitas dari seseorang.
Akan tetapi, kendatipun dapat menjadi alat tukar untuk mendapatkan loyalitas ataupun ikatan sosial lainnya, ikatan yang terbentuk karena uang kerap kali bersifat temporal karena dapat mudah berakhir ketika uang tidak lagi didapatkan.
Jika tujuan pemberian jabatan tersebut untuk membuat JSP loyal, tentunya itu menjadi bantahan atas tudingan Ferdinand yang menyebut keputusan tersebut adalah indikasi Prabowo telah gagal dalam ujian loyalitas.
Nah sekarang pertanyaannya, di luar konteks pengalaman dan kemampuan JSP, apakah pemberian jabatan sebagai Ketua Tim Pelaksana KKIP dapat membuatnya loyal kepada pemerintahan Presiden Jokowi?
Terkait hal itu tentunya hanya waktu yang dapat menjawabnya. Kita nantikan saja kiprah JSP di Kemenhan ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)