Apakah marah adalah hal yang haram untuk politisi?
PinterPolitik.com
“[dropcap]Y[/dropcap]ang saya suka itu, tegas tapi tidak suka marah-marah.” Begitu kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berpidato di hadapan caleg Partai Hanura. Kala itu, ia tengah menggambarkan sosok Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang yang dianggap sebagai sosok yang tegas. Selain itu, ia juga seperti tengah menyindir bahwa ada sosok pemimpin yang mengklaim tegas, tapi suka marah-marah.
Seketika, pembicaraan mengenai sosok pemimpin pemarah itu mengemuka. Jokowi sendiri mengklaim tidak sedang menyindir elite politik Indonesia mana pun. Akan tetapi, spekulasi tentang siapa sosok pemimpin yang suka marah-marah itu bergulir di berbagai media.
Salah satu yang mengungkapkan spekulasi itu adalah Ketua DPP Hanura Inas Nasrullah Zubir. Menurutnya, sosok Prabowo Subianto tidak memenuhi sosok pemimpin yang tegas dan tidak pemarah. Berbagai tindakannya di mata Inas menggambarkan Prabowo sebagai sosok yang emosional.
Marah boleh jadi adalah salah satu ekspresi emosi yang manusiawi bagi banyak orang. Akan tetapi, bagaimana jika luapan emosi semacam itu dilakukan oleh politisi? Apakah mengekspresikan temperamen di muka publik bisa berbuah keuntungan atau kerugian?
Menarik Perhatian
Jokowi menyebut bahwa seorang pemimpin tidak akan bisa menyampaikan pesannya kepada masyarakat jika dilakukan dengan marah-marah. Oleh karena itu, ia lebih menyukai pemimpin yang tegas ketimbang yang suka marah-marah. Ia menggarisbawahi bahwa tegas bukan berarti otoriter. Lalu, benarkah pandangan Jokowi soal pemimpin tak bisa menyampaikan pesan jika amarahnya meledak?
Menurut Joanne Freeman, seorang profesor dari Yale University, amarah dalam demokrasi memiliki kekuatan yang aneh. Jika digunakan dengan keahlian tinggi pada audiens yang tepat, hal ini dapat menjadi sesuatu yang populer.
Marah dapat menjadi ekspresi yang cukup ampuh dalam menarik perhatian publik. Ekspresi semacam ini dapat membuat media lebih tertarik kepada sosok politisi. Hal ini amat membantu bagi sosok politisi yang dapat dikategorikan sebagai media darling.
Melepas temperamen dapat memberikan rangsangan emosi khusus pada pendengarnya. Rasa takut, bangga, benci, dan malu dapat muncul dari ekspresi tersebut. Tak hanya itu, rangsangan ini bersifat menular ke orang-orang yang merasakan hal yang sama.
Dalam kadar tertentu, menurut Freeman, amarah dan juga intimidasi dapat membantu menjaga status quo. Ada beberapa unsur penyebab kondisi ini, di antaranya adalah bullying pada lawan, sehingga harus terdiam dan menakuti publik karena lebih mementingkan keamanan mereka.
Boleh jadi, inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa Presiden Donald Trump di Amerika Serikat (AS) menjadi tokoh yang sangat populer. Presiden berlatar pengusaha ini memang tergolong rajin melepaskan emosinya bahkan ketika sedang dalam sesi pidato maupun konferensi pers di depan wartawan. Selain itu, akun sosial medianya juga kerap menjadi medium baginya untuk mengekspresikan amarah.
Berdasarkan kondisi tersebut, marah boleh jadi bukanlah hal yang benar-benar tabu bagi politisi. Ada beberapa keuntungan yang bisa diambil dari ekspresi tersebut. Jokowi bisa jadi tepat bahwa pesan tidak akan tersampaikan melalui amarah, akan tetapi ada hal lain yang bisa diraih melalui luapan emosi.
Awas Berbalik
Banyak yang menanggap bahwa saat ini telah memasuki era of anger atau era kemarahan. Sebuah artikel di The Economist misalnya menganggap bahwa peristiwa Brexit di Inggris terjadi karena adanya kemarahan. Masyarakat marah pada banyak hal terutama terkait dengan kapitalisme dan globalisasi.
Banyak masyarakat menganggap bahwa globalisasi hanya menguntungkan para pembuat kebijakan. Sementara itu, masyarakat biasa harus membayar berbagai kerugian yang dihasilkan oleh proses tersebut. Hal inilah yang membuat fenomena seperti Brexit lazim terjadi dalam beberapa waktu terakhir.
Pada titik itu, wajar jika seorang politisi ingin mengeksploitasi amarah masyarakat tersebut. Politisi dapat memanfaatkan temperamen masyarakat dengan menyulutnya lewat eskpresi mereka sendiri. Melalui kondisi seperti ini, menurut Freeman seorang politisi bisa mendapatkan pengikut.
Meski demikian, langkah seperti itu tergolong berbahaya. Hal ini karena ada potensi pecah belah bangsa jika strategi memainkan amarah masyarakat digunakan. Mereka memang bepotensi mendapatkan pendukung yang loyal, akan tetapi, kemarahan berpotensi membuat masyarakat mengeluarkan label “kami” dan “mereka” untuk dipertentangkan.
Jadi saya menyampaikan sekali lagi, pidato Pak Jokowi itu sedang membicarakan dirinya, bukan membicarakan Pak Prabowo. Pak Prabowo itu bukan marah-marah tapi memang karakternya, ya karena tentara. Mana ada tentara yang letoy,"
— FERDINAND HUTAHAEAN (@Ferdinand_Haean) November 7, 2018
Tidak hanya itu, tokoh yang kehilangan kontrol terhadap temperamennya juga dapat diprotes oleh masyarakat yang tersinggung. Alih-alih bisa mengatur emosi masyarakat dengan melepas emosi sendiri, politisi justru berpotensi menjadi sasaran amarah dari masyarakat yang tersinggung.
Mark Perry dalam artikelnya di Politico menyebut bahwa jika seorang politisi harus marah, maka ia harus menemukan saat yang tepat. Ia mencontohkan bagaimana sosok-sosok seperti Franklin Roosevelt, Abraham Lincoln, dan George Washington mengatur amarahnya.
Roosevelt misalnya, dalam gambaran Perry cukup terkenal dengan amarahnya. Akan tetapi, kemarahannya tersebut hanya digunakan saat berhadapan dengan musuh politiknya. Meski begitu, ia menyebut bahwa Roosevelt sering menggunakan strategi berlawanan, yaitu semakin sulit masalah yang ia hadapi, maka ia akan semakin tenang. Hal senada ia sebutkan berlaku pada Lincoln dan Washington.
Perry juga mengutip penulis era Romawi Lucius Annaeus Seneca bahwa marah adalah gambaran inkompetensi. Menurut Seneca, sebagaimana dikutip Perry, dia yang marah, maka dia akan dijatuhkan. Selain itu, menurut Seneca, amarah tidak datang dari afeksi, melainkan dari kelemahan.
Perlu Diatur
Lalu siapa sebenarnya pemimpin marah-marah yang dimaksud Jokowi? Tidak bisa menuduh memang, akan tetapi, jika konteksnya adalah politik elektoral, saat ini ia tengah berhadapan dengan Prabowo Subianto. Secara kebetulan, mantan Pangkostrad ini tergolong sering meluapkan emosinya di depan publik.
Apalagi, jika merujuk Inas yang ada di kubu tim pemenangan Jokowi, Prabowo dianggap sebagai sosok yang tidak bisa dianggap tegas tanpa marah-marah. Ia mengungkit sejumlah situasi di mana Prabowo lepas kontrol atas emosinya.
Gak usah marah kalau pas anda bicara, terus ibu2 asyik ngobrol sendiri (spt yg dialami Prabowo) atau anak2 rame ngobrol (spt dulu jaman SBY). Itu pertanda omongan monolog kita gak menarik buat mereka.
Sebutkan nama2 ikan dan kasih sepeda.
Pasti mrk menyimak anda ??
— Nadirsyah Hosen (@na_dirs) November 1, 2018
Terlepas apakah benar atau tidak bahwa Prabowo-lah yang dimaksud dalam pidato Jokowi, jika disodorkan rekam jejaknya yang kerap menggunakan nada tinggi, sang jenderal tampaknya tidak bisa mengelak. Ketua Umum Partai Gerindra ini memang dapat digolongkan sebagai politisi yang cukup emosional.
Jika benar Prabowo yang dimaksud, maka berdasarkan pandangan Freeman, Prabowo boleh jadi sebenarnya mendapatkan untung. Amarah, seperti disebut di atas, merupakan salah satu cara yang efektif untuk mendapatkan perhatian dari khalayak.
Hal ini terjadi misalnya pasca ia terlihat geram saat berpidato di hadapan emak-emak. Kala itu, sikap para ibu yang terlalu antusias membuat ia sulit memulai pidato, sehingga ia harus meredam mereka dengan sedikit emosi. Kejadian itu nyatanya membuat Prabowo menjadi buah bibir baik di media massa maupun di media sosial.
Siapa sih yang dimaksud Jokowi pemimpin suka marah-marah? Share on XMeski begitu, dikarenakan Pemilu adalah sebuah permainan yang panjang, akan sangat ideal jika Prabowo mampu mengatur emosinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Seneca sebagaimana dikutip oleh Perry, bahwa jika amarah dibiarkan keluar, umumnya akan terjadi kehancuran.
Idealnya, ia bisa mengatur kapan ia bisa terlihat emosional, sebagaimana dilakukan oleh Roosevelt. Amarah jika ditujukan pada musuh politik, bisa saja memberikan keuntungan seperti yang dialami presiden AS tersebut. Sementara itu, jika dialamatkan pada sosok yang acak dengan emosi tak terkontrol, efeknya bisa saja kontraproduktif.
Tentu, sekali lagi marah adalah sesuatu yang manusiawi. Akan tetapi, jika sosok sekelas politisi yang melakukannya, bisa jadi ada efek yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, jika perlu, para politisi seperti Prabowo, perlu mengatur temperamennya agar tepat sasaran. (H33)