Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto bukan tidak mungkin menggunakan narasi “the bigger man”. Mengapa Prabowo kini menggunakan strategi narasi demikian? Apakah Prabowo yang sekarang bukan lagi Prabowo yang dulu?
“These rappers only won their matches because they strategize” – Royce Da 5’9”, “Caterpillar” (2018)
Dalam banyak kesempatan, pertengkaran selalu terjadi antara Roronoa Zoro dan Vinsmoke Sanji. Saat berlabuh di sebuah pulau yang berisikan dinosaurus dan monster-monster raksasa, misalnya, keduanya sampai bersaing untuk memperoleh hasil buruan terbesar.
Ya, bagi penggemar manga dan serial anime berjudul One Piece, dua karakter ini memang tidak asing. Zoro dan Sanji pun bisa dibilang merupakan dua dari anggota-anggota terkuat Bajak Laut Topi Jerami.
Dengan kekuatan mereka, wajar saja mereka kerap melihat satu sama lain sebagai rival. Pertengkaran antara Zoro dan Sanji ini bahkan kerap kali berujung pada argumen – bahkan mengarah ke pemusuhan yang disertai kekerasan.
Namun, untungnya, selalu ada pihak yang melerai. Siapa lagi kalau bukan anggota perempuan pertama Bajak Laut Topi Jerami, Nami?
Meski tidak lebih kuat dibandingkan Zoro dan Sanji, Nami selalu menjadi pihak penengah yang menghentikan mereka berdua – walaupun juga dengan sikap yang tegas juga. Nami-pun kerap dilihat sebagai “orang dewasa” di antara para anggota lainnya yang kerap dinilai “kekanak-kanakan”.
Nah, mungkin, sikap semcam inilah yang juga sedang ditunjukkan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Bagaimana tidak? Ketika bakal calon presiden (bacapres) lainnya – yakni mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo – dianggap sebagai dua kutub yang berlawanan, Prabowo malah menyebutkan bahwa keduanya adalah sahabatnya.
Tidak hanya menyebut sebagai sahabat, Prabowo juga menyebut Anies dan Ganjar sebagai dua putra terbaik bangsa. Di sisi lain, Anies dan Ganjar malah saling melempar sindiran – seperti sindiran Anies soal berlari untuk mengunggah foto.
Sikap Prabowo yang ramah terhadap calon-calon lawannya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 bukan tidak mungkin meninggalkan sejumlah tanya. Apakah mungkin Prabowo bersikap menjadi “orang yang lebih dewasa” kepada para nakama-nya, yakni Anies dan Ganjar?
Mengapa Prabowo menunjukkan sikap demikian dengan kompetisi koalisi yang semakin sengit menuju Pilpres 2024? Mungkinkah ini strategi yang tengah diterapkan oleh Prabowo?
Prabowo Jadi “the Bigger Man”?
Ungkapan “Being the bigger man” merupakan ungkapan dalam Bahasa Inggris yang menggambarkan bagaimana seseorang bisa bersikap lebih dewasa dengan melakukan hal yang lebih benar – utamanya ketika pihak-pihak lain bersifat tidak dewasa (childish).
Ungkapan ini biasanya muncul ketika terjadi sebuah pertengkaran. Dalam pertengkaran, sosok yang lebih dewasa lebih memilih untuk menurunkan ego dan menggunakan cara-cara yang lebih damai.
Nah, bukan tidak mungkin, cara inilah yang ditunjukkan oleh Nami di antara anggota-anggota Bajak Laut Topi Jerami. Daripada harus ikut berkonflik, Nami merasa bahwa menghentikan pertengkaran menjadi lebih penting untuk kekompakan mereka saat melaut.
Bisa jadi, narasi inilah yang tengah ingin disajikan oleh Prabowo. Ini terlihat dari bagaimana sang Menhan menanggapi narasi-narasi yang ada di publik.
Soal proposal damai untuk Ukraina-Rusia yang diusulkannya, misalnya, meski dikritik oleh banyak pihak, Prabowo menanggapinya dengan pernyataan yang tidak defensif. Dalam suatu keterangan pers di Singapura, Prabowo menjawab bahwa usulannya adalah untuk menghentikan perang yang telah menelan banyak korban.
Boleh jadi, melalui narasi-narasi yang tidak ofensif ini, Prabowo kini telah membangun citra bahwa dirinya adalah orang yang lebih bijaksana dalam menanggapi konflik atau persoalan yang ada di sekitarnya. Citra ini bisa saja dibangun oleh Prabowo melalui strategi komunikasi publiknya dalam jangka panjang.
Apa yang dilakukan oleh Prabowo ini sejalan dengan teori symbolic interactionism (interaksionisme simbolis). Teori dari George Herbert Mead dalam bukunya Mind, Self and Society ini menjelaskan bahwa diri seseorang juga merupakan produk sosial.
Produk sosial atas diri inipun terbangun melalui interaksi-interaksi antar-individu yang terjadi di masyarakat – mempengaruhi realitas. Realitas ini akhirnya juga diinternalisasi oleh setiap individu yang akhirnya turut membangun realitas yang terbangun (constructed reality) dalam pikirannya (mind).
Pada akhirnya, dengan interaksi-interaksi yang terbangun, Prabowo bisa saja menyajikan narasi bahwa dirinya adalah “the bigger man”. Narasi ini menjadi penting bagi para pemilih di Pilpres 2024 yang bisa saja menjadi pemilihnya.
Namun, mengapa Prabowo ingin menyajikan narasi demikian? Tujuan apa yang ingin dicapai oleh Prabowo bila dirinya menjadi “the bigger man”?
Prabowo Kini Bukan Prabowo yang Dulu?
Bila mengingat kembali kisah Usopp di One Piece saat akan bergabung dengan Bajak Laut Topi Jerami, ada cerita yang menarik mengenai perubahan jati dirinya. Usopp yang dikenal warga lokal sebagai orang yang iseng ingin mengubah citranya sebagai bajak laut yang pemberani.
Perubahan identitas diri inilah yang mungkin tengah dilakukan oleh Prabowo menjelang Pilpres 2024. Seperti yang telah diketahui, Prabowo sudah beberapa kali mengikuti kontestasi Pilpres – baik sebagai capres pada tahun 2014 dan tahun 2019 maupun sebagai cawapres pada tahun 2009.
Bukan tidak mungkin, perubahan self inilah yang ingin disajikan Prabowo dengan bercermin dari beberapa Pilpres sebelumnya. Pada tahun 2014 dan tahun 2019, misalnya, Prabowo selalu menyajikan self yang tegas dan kontra-pemerintahan.
Nah, pada tahun 2024 ini, Prabowo mungkin ingin semacam melakukan rebranding diri di kalangan pemilih. Apalagi, pada Pilpres 2024 mendatang, terdapat banyak pemilih baru yang mana merupakan swing dan undecided voters.
Seperti yang telah dijelaskan dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul Prabowo Kalah Karena Kurang Jawa?, nilai-nilai Jawa seperti tata laku yang halus, rendah hati, dan menerima (nerimo) kerap menjadi pertimbangan para pemilih – yang mana memang didominasi oleh kelompok etnis Jawa.
Menariknya, self yang bijaksana ala Prabowo ini juga bisa saja masuk ke kategori-kategori tipe pemimpin yang disebutkan oleh Julieta Peveri dalam tulisannya yang berjudul The Wise, the Politician, and the Strongman: Types of National Leaders and Quality of Governance, yakni the politicians (politisi pada umumnya), the wisemen (orang yang bijaksana), dan the strongmen (orang yang kuat).
Boleh jadi, daripada memancarkan sosok strongman pada tahun 2014 dan 2019, Prabowo kini lebih memilih untuk menjadi sosok wiseman yang lebih dewasa. Dengan kebijaksanaannya (wisdom), Prabowo bisa saja menjangkau lebih banyak pemilih yang belum tentu suka dengan narasi anti-pemerintahan.
Pada akhirnya, perubahan self inilah yang bisa saja tengah dilakukan oleh Prabowo. Dengan menjadi sosok yang lebih dewasa di antara Ganjar dan Anies, Prabowo bisa saja dipersepsikan menjadi sosok yang lebih bijaksana di mata para pemilih. Menarik untuk diamati kelanjutannya. (A43)