HomeNalar PolitikPrabowo Raja Joget Gatotkaca

Prabowo Raja Joget Gatotkaca

“Everything I do as communication: making a dance, having a conversation, giving an interview – it’s all political.” – Alain Platel, Theater Director


Pinterpolitik.com 

[dropcap]P[/dropcap]olitik seharusnya menjadi medan adu gagasan, adu komunikasi serta adu strategi. Tak jarang dalam kontestasi politik Indonesia menimbulkan ketegangan baik yang dilakukan oleh elite maupun di akar rumput. Jika sudah begitu politik rasanya seperti menyebalkan dan ketiadaan ide-ide cemerlang yang ditawarkan oleh kandidat semakin menambah beban kesuntukan bagi masyarakat.

Meski demikian, tak jarang terjadi dalam politik juga timbul ide yang sederhana, namun bisa diadopsi sebagai bahan atau strategi kampanye. Salah satu kandidat yang cukup sering melontarkan gagasan atau ide nyeleneh adalah pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Prabowo dalam hal ini menggunakan metafora politik joget dan tokoh pewayangan Gatotkaca. Faktanya, menari atau berjoget tidak terlepas dari spektrum politik. Share on X

Sandi beberapa waktu lalu sempat membuat viral media-media nasional dengan ungkapan tempe setipis kartu ATM, sebagai bentuk kritik terhadap pemerintahan Jokowi saat ini yang dinilai telah gagal dalam menjaga roda ekonomi di sektor pangan.

Lalu, kita tentu masih ingat juga dengan ungkapan Sandi yang akan membuat imaji tentang “The New Prabowo” pada saat awal pencalonan keduanya. Konsep ini dimaksudkan untuk membentuk citra Prabowo yang lebih dekat dengan kelompok milenial.

Memang kubu Prabowo-Sandi ini beberapa kali menawarkan ide-ide yang cukup nyeleneh, sehingga menjadi “tertawaan” oleh banyak kalangan, terutama dari kubu lawan.

Yang kini tengah naik daun adalah aksi joget Prabowo yang kadung viral di media sosial. Prabowo menamai jogetnya itu dengan nama Joget Gatotkaca.

Meski banyak pihak yang menertawakan joget ini karena dianggap lucu, namun tidak sedikit pula yang menganggap bahwa hal tersebut adalah bagian dari strategi kampanye Prabowo. Lantas benarkah demikian? Lalu, apa yang bisa dilihat dari Joget Gatotkaca sebagai bagian dari kampanye politik?

Joget Gatotkaca Prabowo

Dalam video yang diunggah oleh Juru Bicara Prabowo-Sandi, Dahnil A. Simanjuntak memang terlihat calon presiden dengan nomor urut 2 tersebut melakukan sebuah tarian.

Prabowo yang dalam video itu mengenakan baju lengan panjang berwarna krem melakukan gerakan seperti penari dalam tradisi jawa. Ia memutar kedua pergelangan tangannya seraya berkata: “Pangeran dari Pringgodani tek trek tek tek tek”, layaknya dalam pementasan wayang orang. Meski gerakannya terlihat kaku, namun Prabowo cukup percaya diri.

Prabowo memang gemar berjoget. Kegemarannya dalam berjoget ini sudah ada sejak lama. Dalam penjelasannya di video itu, Prabowo mengungkapkan bahwa kesenangannya berjoget datang dari keluarganya dan pengalamannya di dunia militer. Irama musik cenderung membuat dirinya berjoget, dan biasanya joget akan menghadirkan suasana yang lebih gembira. Begitu kira-kira alasan Prabowo terhadap kesenangannya berjoget.

Baca juga :  Mantan Adalah Maut?

Namun, meski kegemarannya dalam berjoget sudah ada sejak lama, momen Pilpres kali ini membuat aksi joget Prabowo itu seolah ditonjolkan. Jika dihitung, Prabowo sudah menunjukkan aksi jogetnya itu sebanyak tiga kali.

Yang pertama kali terlihat adalah ketika ia dan timnya mendaftarkan pencalonan dirinya sebagai capres di KPU bulan Agustus lalu.  Kemudian yang kedua pada saat pengambilan nomor urut pasangan capres-cawapres, dan yang terakhir melalui video viral yang dibuat oleh Dahnil.

Jika diperhatikan polanya, nampaknya branding joget ini sengaja disiapkan untuk kampanye politik Prabowo. Seperti yang sudah disebut di awal, bahwa kubu ini suka dengan hal-hal remeh, namun bisa mendapatkan perhatian dari publik.

Lantas apa pentingnya joget Prabowo sebagai kampanye politik? Dalam beberapa kajian, sudah mafhum dipahami bahwa joget atau menari bisa digunakan sebagai instrumen politik. Gerak tubuh dinilai sebagai media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan politis kepada audiens. Hal ini jamak terjadi di berbagai negara.

Sementara itu, Joget Gatotkaca ini juga bisa dilihat sebagai metafora politik Prabowo. Dalam pandangan Richards dan Platt, disebut bahwa dalam metafora politik sesuatu yang dideskripsikan digantikan dengan uraian lain yang dapat dibandingkan. Metafora kerap digunakan untuk mengkonkretkan sesuatu yang abstrak, untuk mengaburkan maksud, dan untuk menguatkan ideologi.

Prabowo dalam hal ini menggunakan metafora politik joget dan tokoh pewayangan Gatotkaca. Faktanya, menari atau berjoget tidak terlepas dari spektrum politik.

Seperti yang disampaikan oleh penulis sekaligus kritikus tari Judith Mackrell dalam sebuah tulisan di The Guardian, gerak tubuh memiliki makna politik ketika dihadapkan pada konteks politik. Karenanya gerakan itu juga bisa menjadi lebih powerful ketimbang kata-kata untuk menyampaikan maksud tertentu.

Sementara dalam konteks joget, Gatotkaca, diambil dari tokoh pewayangan yang sering dicitrakan sebagai sosok maskulin, ksatria serta tangguh.

Hal ini sebenarnya merujuk pada sosok Prabowo sendiri, di mana ia sebagai tokoh yang memiliki latar belakang militer kerap diasosiasikan sebagai ksatria yang tanguh.

Dengan lanskap sosial-politik seperti Indonesia, konsep menari atau berjoget sangat mudah diterima karena joget adalah sesuatu yang dekat dengan masyarakat. Tentu saja hal ini memudahkan Prabowo untuk membentuk narasi yang ingin disampaikannya kepada masyarakat.

Joget Prabowo bisa menjadi semacam escapism atau pelarian dari rutinitas politik yang biasa sarat dengan ketegangan. Alunan musik dangdut atau nada-nada yang menyenangkan untuk mengiringi joget Prabowo bisa menjadi cara yang cukup efektif untuk menarik massa. Dalam bahasa Prabowo, joget itu untuk memberikan kegembiraan.

Fenomena berjoget atau bergoyang atau berdansa sudah umum digunakan sebagai instrumen politik di berbagai belahan dunia. Mulai dari bentuk protes, pemulihan trauma perang, hingga melanggengkan kekuasaan.

Pada masa Revolusi Perancis, berjoget digunakan sebagai alat propaganda ketika rakyat turun ke jalan atau panggung-panggung seraya menyanyikan lagu La Carmagnole – lagu yang populer pada zaman itu. Sementara di Australia, koreografi dan dansa digunakan oleh sosok seperti Llyod Newson –penari dan juga koreografer – untuk perlawanan terhadap dominasi laki-laki.

Di sisi yang berlainan, rival Prabowo dalam kontestasi Pilpres juga sebenarnya punya peluang untuk memanfaatkan hal-hal sederhana sebagai media kampanye. Jokowi sempat muncul dan mengenalkan Joget Dayung pada saat momen Asian Games beberapa waktu lalu. Kala itu publik cukup terhibur dengan goyangan Jokowi yang seolah menirukan gerakan atlet dayung. Bahkan waktu itu, grup musik asal Korea Selatan, Super Junior juga ikut mempopulerkan goyangan tersebut saat tampil di closing ceremony pekan olahraga negara-negara Asia itu.

Sayangnya, hal itu tidak diteruskan oleh kubu Jokowi, padahal goyangan tersebut memiliki peluang yang cukup besar sebagai alat politik.

Desakralisasi Prabowo 

Pilpres 2019 kemungkinan besar akan ditentukan oleh pemilih pemula. Hal ini dikarenakan besarnya jumlah pemilih pemula, yakni yang berusia antara 17-24, dengan porsi sekitar 40 persen dari keseluruhan total pemilih. Sehingga, diperlukan startegi komunikasi politik yang cerdas untuk bisa meraih hati pemilih pemula tersebut.

Jika diperhatikan, selama ini komunikasi politik Prabowo cenderung dilakukan dengan gaya yang menampilkan sisi maskulinitas seperti berwibawa, tegas, serta berani. Hal itu juga terlihat dari cara berpidato, berpakaian, sampai pembentukan citra di sosial media. Hal ini berbeda dengan Jokowi yang sudah mulai menggunakan komunikasi politik yang lebih cair dan kekinian, misalnya memodifikasi motor chopper, menaiki motor gede (moge), hingga cara berpakaian yang lebih kasual.

Aksi Joget Prabowo

Faktanya lewat ide berjoget ini, nampaknya Prabowo sudah sadar dan mulai meninggalkan cara komunikasi politik lawas tersebut. Hal ini seperti mengafirmasi adanya desakralisasi dirinya.

Desakralisasi sendiri bisa diartikan sebagai sebuah proses pelepasan pengkultusan dari sosok tertentu, dalam hal ini Prabowo, dari yang selama ini terjadi. Ini juga menunjukkan bahwa konsep The New Prabowo sedang dijalankan salah satunya dengan cara Joget Gatotkaca tersebut.

Berdasarkan fakta tersebut, bisa jadi upaya yang remeh-temeh dilakukan oleh kubu Prabowo ini akan efektif untuk membentuk presepsi publik, sehingga lebih memudahkannya untuk merebut suara yang lebih besar. (A37)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Megawati Harus Ubah Sikap PDIP?

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belakangan menghadapi dinamika yang cukup memberatkan. Kira-kira bagaimana Partai Banteng Moncong Putih akan menjadikan ini sebagai pelajaran untuk langkah-langkahnya ke depan? 

Operasi Bawah Tanah Jokowi

Dalam beberapa bulan terakhir, dunia politik Indonesia diguncang oleh isu yang cukup kontroversial: dugaan keterlibatan Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya mengambil alih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Mistikus Kekuatan Dahsyat Politik Jokowi?

Pertanyaan sederhana mengemuka terkait alasan sesungguhnya yang melandasi interpretasi betapa kuatnya Jokowi di panggung politik-pemerintahan Indonesia meski tak lagi berkuasa. Selain faktor “kasat mata”, satu hal lain yang bernuansa dari dimensi berbeda kiranya turut pula memengaruhi secara signifikan.

Ketika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Mengapa meme ‘Chill Guy’ memiliki kaitan dengan situasi ekonomi dan sosial, misal dengan kenaikan PPN sebesar 12 persen pada Januari 2025?

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

More Stories

Unikop Sandi Menantang Unicorn

Di tengah perbincangan tentang unicorn, Sandi melawannya dengan konsep Unikop, unit koperasi yang memiliki valuasi di atas Rp 1 triliun. Bisakah ia mewujudkannya? PinterPolitik.com  Dalam sebuah...

Emak-Emak Rumour-Mongering Jokowi?

Viralnya video emak-emak yang melakukan kampanye hitam kepada Jokowi mendiskreditkan Prabowo. Strategi rumour-mongering itu juga dinilai merugikan paslon nomor urut 02 tersebut. PinterPolitik.com Aristhopanes – seorang...

Di Balik Tirai PDIP-Partai Asing

Pertemuan antara PDIP dengan Partai Konservatif Inggris dan Partai Liberal Australia membuat penafsiran tertentu, apakah ada motif politik Pilpres? PinterPolitik.com  Ternyata partai politik tidak hanya bermain...