Pertemuan antara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Sekjen Gerindra Ahmad Muzani pekan lalu menimbulkan banyak sorotan. Pengamat menilai pertemuan ini secara tersirat menunjukkan kedua partai sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi kontestasi Pilpres 2024. Apakah Prabowo-Puan diusung?
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menambahkan kunjungan Gerindra ini langsung membuatnya bernostalgia saat kedua partai bersama-sama mengusung pasangan Megawati-Prabowo pada tahun 2009 lalu.
Lebih lanjut, Ia mengungkapkan bahwa PDIP dan Gerindra mempunyai kesamaan ideologi serta menganalogikan hubungan dua partai ini seperti sepasang sahabat.
Sementara Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani menyampaikan bahwa kesamaan ideologi dan perjuangan antara PDIP dan Gerindra harus terus dipelihara. Ia juga memaparkan bahwa PDIP dan Gerindra telah sepakat untuk terus bekerja sama di DPR dan MPR demi kebaikan bangsa dan negara.
Secara tersirat Muzani mengungkapkan bahwa Ia berharap kedatangannya ke kantor PDIP ini bukanlah yang terakhir.
Seperti yang kita ketahui, kedua partai ini tercatat mempunyai sejarah dan dinamika hubungan panjang dengan intensitas yang berbeda.
Selain pernah mengusung Megawati-Prabowo, PDIP dan Gerindra juga pernah bersama-sama mengusung duet Jokowi-Ahok pada Pilgub DKI 2012.
Akan tetapi, keduanya juga pernah saling bertarung habis-habisan saat Jokowi berhadapan dengan Prabowo dalam dua kontestasi Pilpres terakhir.
Baca Juga: Sudah Saatnya Prabowo Tiru Megawati?
Namun, belakangan ini hubungan keduanya semakin membaik, ditandai dengan kehadiran Prabowo Subianto dalam Kongres V PDIP di Bali, hingga puncaknya saat Prabowo ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan dan masuknya Gerindra ke koalisi pendukung pemerintah.
Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menilai secara keseluruhan ada pesan tersirat di balik pertemuan Gerindra dengan PDIP kemarin. Ia menilai ada potensi yang besar untuk kedua partai ini kembali “bersatu” untuk mengarungi kontestasi Pilpres 2024.
Jika anggapan itu benar, lalu muncul pertanyaan siapakah yang akan diusung?
Prabowo-Puan Realistis?
Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menilai rangkaian pertemuan antara PDIP dan Gerindra belakangan ini bisa berujung pada terwujudnya Perjanjian Batu Tulis Jilid II.
Lebih spesifik, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno memaparkan bahwa duet Prabowo-Puan memang dianggap paling realistis jika kedua partai ini membangun koalisi di 2024.
PDIP jelas sedang mencari sosok pengganti Jokowi sebagai calon Presiden, namun di satu sisi mereka tentu menyadari elektabilitas Puan yang sejauh ini masih rendah, sehingga taruhannya besar untuk mengusungnya sebagai capres di 2024.
William Gamson dalam Political Discourse and Collective Action memaparkan bahwa faktor utama yang menentukan terjadinya suatu koalisi adalah soal perhitungan seberapa besar biaya (cost) yang harus diberikan dibanding dengan seberapa besar imbalan yang akan diterima.
Lebih lanjut, Niek Mouter dalam tulisannya The Politics of Cost-Benefit Analysis menjelaskan bahwa politisi menimbang kerugian (cost) dan keuntungan (benefit) dalam memutuskan tindakan politik mereka. Kalkulasi ini dilakukan agar politisi dapat mencapai tujuan politiknya dengan menimbang keputusan dan tindakannya.
Berangkat dari tulisan Mouter, merujuk pada kalkulasi politiknya, probabilitas Puan sebagai capres untuk menang di Pilpres 2024 sekiranya kecil karena elektabilitasnya masih rendah. Hal ini tentu juga merugikan PDIP sebagai partai pengusung.
Sebaliknya Prabowo sendiri selalu masuk dalam daftar tiga besar capres dengan elektabilitas tertinggi di berbagai survei.
Pada 13 Juni, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), misalnya, menempatkan Prabowo dalam posisi pertama capres dengan raihan elektabilitas sebanyak 21,5%. Pun demikian dalam rilis Indostrategic pada 3 Agustus, Prabowo kembali menempati posisi teratas dengan raihan elektabilitas sebesar 17,5%.
Maka dari itu menempatkan Prabowo sebagai capres dan Puan sebagai cawapres dianggap menjadi langkah yang tepat.
Ditambah lagi, kedua sosok ini merupakan kader sentral dari kedua partai. Prabowo merupakan Ketua Umum Gerindra, sementara Puan adalah anak dari Ketua Umum PDIP, sehingga diprediksi tidak ada dinamika dan ganjalan berarti jika kedua partai mengusung duet ini.
Jika PDIP dan Gerindra benar-benar membentuk koalisi, pasangan ini dinilai lebih realistis untuk diusung dibanding dengan nama-nama lain yang beredar, seperti Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno, dan Anies Baswedan.
Ganjar, misalnya, menimbang pada hubungan yang belum membaik dengan PDIP sampai saat ini, rasanya kecil kemungkinan akan diusung dalam koalisi ini.
Begitu juga Sandiaga yang beberapa kali telah menolak untuk maju kembali. Disamping itu secara elektabilitas Sandi pun tak lebih baik dari Prabowo.
Sementara Anies, beberapa pihak menilai kehadirannya sangat strategis. Duet Anies-Puan juga sempat diusulkan oleh politisi senior PDIP Effendi Simbolon pada awal Juni lalu.
Jika kita analisis menggunakan konsep cost and benefit, pasangan Anies-Puan ini terlihat lebih baik dibanding Prabowo-Puan yang dinilai oleh beberapa pihak akan mengalami stagnansi elektabilitas jika bersatu.
Baca Juga: Jokowi Dukung Anies-Puan di 2024?
Anies memiliki kantong suara dari golongan religius, sementara Puan dari golongan nasionalis. Oleh karenanya, duet ini berpeluang mendapatkan suara maksimal. Sementara Prabowo-Puan dinilai punya segmentasi pemilih yang sama.
Namun, variabel penting yang perlu diperhitungkan adalah, Gerindra dinilai tak akan serta merta memberikan tiket tersebut ke calon non-kadernya.
Ditambah, pernyataan Sekjen Gerindra Ahmad Muzani yang menegaskan partainya akan kembali mengusung Prabowo Subianto sebagai kandidat calon presiden pada Pilpres 2024 mendatang.
Sebagai seorang yang mempunyai jabatan strategis di Gerindra, tentu pernyataan Muzani ini sedikit mengecilkan peluang Anies.
Fenomena ini mungkin beririsan dengan kritik yang disampaikan ilmuwan politik Eric C. Browne bahwa tak selamanya koalisi hanya mempertimbangkan faktor cost and benefit, ada faktor lain yang lebih dominan, yaitu kedekatan secara psikologis, sosiologis atau bahkan yang paling penting ideologis. Lebih lanjut Eric menyebut ini sebagai koalisi ideal.
Lalu seberapa besar kemungkinan koalisi kedua partai ini terwujud?
Prabowo Dikhianati Lagi?
Berbagai pihak mungkin akan sepakat menyebutkan peluang terjadinya koalisi antara PDIP dan Gerindra sangat besar. Namun dalam dunia politik yang sangat dinamis segala kemungkinan masih akan terjadi.
Dalam satu kesempatan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Ferry Juliantono mengatakan bahwa kemesraan yang ditunjukkan PDIP dan Gerindra ini harus terus dikuatkan, tapi dalam kemesraan itu juga harus waspada.
Hal yang sama disampaikan pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun. Bertolak dari sejarah politik Indonesia yang lekat dengan pengkhianatan, Prabowo diminta berhati-hati dalam membangun koalisi.
Kekhawatiran Ferry dan pernyataan Ubedilah di atas sangat beralasan mengingat Prabowo dikenal sebagai sosok yang “kurang politis”.
Thomas Hammond, dkk, dalam buku Strategic Behaviour and Policy Choice on the U.S. Supreme Court mengungkap bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu kadang terjadi aktor-aktor yang dianggap “dekat‟ satu sama lain memilih untuk tidak berkoalisi dan bahkan memilih mitra koalisi lain yang jauh.
Ini biasanya terjadi jika terdapat status quo atau ada beberapa hal yang membuat kedua belah pihak gagal untuk membentuk koalisi pemenang.
Dalam kasus ini satu-satunya hal yang harus diperhatikan dan mungkin bisa menjadi pengganjal dalam membentuk “koalisi pemenang” adalah tarik menarik terkait penentuan nama yang diusung.
Baca Juga: Prabowo Dikhianati PDIP Lagi?
Untuk saat ini mungkin nama Prabowo-Puan masih sebagai yang terkuat untuk diusung kedua partai. Namun seiring berjalan waktu, tak menampik ada nama-nama baru yang bermunculan yang dianggap lebih strategis untuk dimenangkan.
Pada akhirnya, menarik untuk melihat kelanjutan hubungan antar kedua partai ini hingga 2024 nanti. Jika kedua partai merujuk pada konsep koalisi ideal versi Eric Browne, pasangan Prabowo-Puan menjadi sangat realistis untuk dimajukan saat ini.
Namun, jika pada akhirnya kedua partai mempertimbangkan konsep cost and benefit seperti yang dikatakan Nick Mouter, maka calon alternatif seperti Anies dan Ganjar tampaknya lebih realistis untuk mewujudkan koalisi pemenang.
Well, dalam kisah panjang dinamika perjalanan hubungan antara kedua partai ini kita bisa belajar bahwa tidak ada musuh atau kawan yang abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan abadi. (A72)