Site icon PinterPolitik.com

Prabowo Presiden, Tiongkok Terancam?

Prabowo Presiden Tiongkok Terancam

Foto: Detik

Kubu Prabowo berencana untuk mengkaji ulang kebijakan kerja sama dengan Tiongkok andai jadi presiden. Hal ini menimbulkan dugaan dari ingin beralih kiblat dari Tiongkok, hingga adanya pengaruh dari Amerika Serikat.


Pinterpolitik.com

[dropcap]I[/dropcap]de cukup keras terlontar ketika Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Hashim Djojohadikusumo mengungkapkan bahwa Prabowo akan meninjau proyek bersama Tiongkok yang masuk dalam kebijakan One Belt One Road (OBOR).

Bagaimana tidak, proyek tersebut adalah proyek ambisius yang dijalankan oleh Tiongkok di negara-negara lain. Indonesia sendiri sudah menandatangani kerja sama dengan nilai US$ 23 miliar atau setara dengan Rp 350 triliun rupiah (kurs Rp 15.200).

Secara khusus, Hashim menyebut bahwa proyek OBOR yang akan dikaji adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Proyek ini sebelumnya menimbulkan kontroversi karena adanya tarik ulur kepentingan antara Jepang dan Tiongkok.

Rencana ini menimbulkan spekulasi, sebab kerja sama tersebut strategis bagi hubungan Indonesia-Tiongkok saat ini. Proyek OBOR, khususnya kereta cepat Jakarta-Bandung adalah buah hasil “kemesraan” antara Joko Widodo dengan Xi Jinping.

Lantas, mengapa saat ini Prabowo – melalui Hashim – merencanakan untuk mengkaji kerja sama tersebut? Apakah ada pengaruh Jepang dan Amerika Serikat untuk mendelegimitasi pengaruh Tiongkok di Indonesia?

Keluar dari Zona Dependensi

Sejak berakhirnya Perang Dingin, salah satu aktor negara yang unjuk gigi adalah Tiongkok. Tiongkok mampu melakukan power shifting atau pergeseran kekuatan yang semula didominasi oleh AS dan Uni Soviet. Dalam hal ini, Tiongkok menjadi pemain penting dalam pemberian bantuan pembangunan di berbagai negara dalam dua dekade terakhir.

Mulai dari Asia, Afrika hingga Amerika Latin, masuk dalam radar kebijakan OBOR atau sering disebut Jalur Sutra Abad 21 yang mana Tiongkok aktif menggulirkan pundi-pundinya ke wilayah-wilayah tersebut.

AidData pernah mengeluarkan sebuah laporan penelitian yang merinci anggaran bantuan Beijing antara tahun 2000 hingga 2014 mencapai US$ 354,4 miliar atau setara dengan Rp 5.300 triliun. laporan itu juga memperkirakan jika Tiongkok akan menyalip AS sebagai pendonor terbesar. Anggaran itu dikucurkan untuk pendanaan 4.300 proyek di 140 negara.

Angka tersebut, hanya selisih US$ 40,2 miliar (setara dengan Rp 608 triliun) dari AS yang menggelontorkan US$ 394,6 miliar (setara dengan Rp 5.900 triliun) di periode yang sama.

Dalam China’s Foreign Aid and Investment Diplomacy John F. Copper menulis di balik dukungan Tiongkok yang menyediakan bantuan untuk negara Dunia Ketiga, Beijing berharap memperoleh sumber daya alam seperti minyak bumi demi keberlangsungan ekonomi, dan seperti negara kapitalis lainnya, Tiongkok juga berusaha memperluas pasar untuk produknya.

Semakin luas pasar yang dimiliki maka akan semakin banyak produk Tiongkok yang dapat dijual.

Jika dikaji dari perspektif dependensi, pola relasi yang terjadi antara Tiongkok dengan negara-negara Dunia Ketiga khususnya Indonesia tercipta sebuah ketergantungan antara negara maju dan negara berkembang.  Rencana Prabowo mengevaluasi kerja sama dengan Tiongkok dalam skema OBOR akibat dari pola ketergantungan (dependensi) antara negara berkembang dengan negara maju.

Theotonio Dos Santos dalam The Structure of Dependence mendefinisikan bahwa ketergantungan adalah hubungan relasional yang tidak imbang antara negara maju dan negara berkembang dalam pembangunan di kedua negara tersebut.

Ada sebuah hubungan yang tidak imbang. Lebih lanjut, Dos Santos mengungkapkan kalau aspek eksternal dari pembangunan menjadi penting. Negara yang ekonominya lebih kuat, bukan saja menghambat karena menang dalam bersaing, tetapi juga ikut campur dalam mengubah struktur soaial, politik, dan ekonomi negara yang lebih lemah.

Bisa saja, rencana Prabowo untuk mengkaji ulang dari kerja sama tersebut adalah ingin keluar dari zona ketergantungan berlebih tersebut. Selain itu, rencana tersebut juga bisa dilihat karena Prabowo tidak melihat adanya keuntungan dari kerja sama tersebut.

Hal ini seperti yang terjadi di Malaysia, ketika Mahathir Mohamad membatalkan proyek kerja sama dengan Tiongkok sebab tidak adanya keuntungan untuk Malaysia.

Sementara itu, Hashim yang memberikan pernyataan sekaligus mewakili wacana pengkajian tersebut menilai bahwa peninjauan ini dilakukan karena ongkos yang perlu dikeluarkan terlampau besar sehingga memungkinkan kerugian bagi negara.

Pengaruh AS-Jepang?

Selain itu, wacana dari pengkajian ulang dari kerja sama Indonesia-Tiongkok bisa dilihat dari usaha menjauhkan diri dari poros Tiongkok. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa Jepang dan AS boleh jadi bermain peran dalam mempengaruhi Prabowo.

Seperti diketahui, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang sekarang diurus oleh Tiongkok, semula akan dikelola oleh Jepang. Bahkan Jepang melalui JICA (Japan International Cooperation Agency) telah melakukan penelitian secara komprehensif. Dan setelah itu Jepang sudah menyiapkan proposal untuk investasi kereta cepat.

Dalam setarikan nafas, kebijakan itu beralih. Jepang yang semula ada di barisan terdepan, tiba-tiba ditelikung oleh Tiongkok. Tentu saja hal itu membuat banyak pihak geger, termasuk publik dalam negeri Jepang. Sebab hal itu dianggap sebagai penghinaan terhadap Negeri Matahari Terbit tersebut.

Kondisi tersebut bisa saja meninggalkan kecemasan bagi AS dan sekutunya karena Indonesia dianggap termakan pengaruh oleh Tiongkok. AS beserta sekutunya selama ini selalu mencari cara untuk mendelegetimasi pengaruh Tiongkok di Asia, termasuk di Indonesia.

Salah satu cara membendung pengaruh Tiongkok di kawasan misalnya adalah dengan Indo-Pasifik.

Dalam artikelnya berjudul Deepening the US-Indonesian Strategic Partnership yang dimuat di The Diplomat, Direktur Senior Program Studi Keamanan Asia-Pasifik pada Center for a New American Security, Patrick M Cronin, mengatakan AS membutuhkan peran Indonesia untuk membendung pengaruh Tiongkok di kawasan.

Selain itu, cara lain untuk “mengamankan” Indonesia adalah melalui Pilpres. Sudah menjadi bahasan umum bahwa AS sering terlibat dalam pergantian rezim di seluruh dunia, termasuk pilpres di Indonesia. Para sejararawan misalnya kerap memberi contoh melalui pergantian rezim Sukarno ke Suharto.

Sekalipun mekanisme pergantian itu dilakukan oleh rakyat Indonesia, tetapi sejumlah literatur memberi indikasi, sutradara dan pembuat skenario dari pergantian kepemimpinan nasional itu, berada di Washington, ibukota AS.

Bagi AS, dekatnya hubungan Indonesia dengan Tiongkok bisa menjadi ancaman bagi kepentingan nasionalnya. Dilihat dari postur geopolitik, kebijakan OBOR Tiongkok sudah masuk dalam kategori mengkhawatirkan.

Oleh sebab itu, salah satu cara mengamankan kepentingan nasionalnya adalah dengan menciptakan pemimpin yang pro AS. Dalam hal ini, Prabowo mungkin dilirik dan diharapkan untuk lebih mewakili kepentingan AS. Apalagi, santer berhembus bahwa Jokowi cenderung dekat dengan Tiongkok.

Maka, adanya wacana untuk mengkaji kerja sama antara Indonesia dengan Tiongkok bisa saja memiliki pertalian dengan agenda Paman Sam.

Ditinggalkan Tiongkok

Pernyataan Hashim yang dikeluarkan pada masa kampanye Pilpres seperti ini bisa mengakibatkan perubahan cara pandang Tiongkok terhadap kubu yang dimotori oleh Gerindra tersebut.

Sebelumnya, pada pertemuan Prabowo dengan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian, disebut ada “konsolidasi” dari kedua belah pihak. Dalam pertemuan tersebut Prabowo mengungkap bahwa dirinya tidak anti Tiongkok dan menganggap bahwa Tiongkok adalah mitra penting bagi Indonesia. Sementara Tiongkok memastikan kepentingan nasionalnya masih aman di Indonesia apabila mantan Danjen Kopassus itu menjadi presiden.

Melihat adanya wacana perubahan kebijakan terkait Tiongkok, memungkinkan adanya reaksi negatif dari Beijing. Bisa jadi, Prabowo akan ditingalkan oleh Negeri Tirai Bambu tersebut.

Sudah menjadi domain public bahwa ada keterlibatan asing dalam kontestasi Pilpres di seluruh dunia. Studi Dov Levin misalnya menyebut bahwa AS terlibat dalam 81 pemilihan dunia sepanjang 1946 hingga 2000. Hal serupa berlaku pada Tiongkok yang menurut FBI berupaya mengintervensi Pilpres AS 1996. Merujuk pada kondisi tersebut, Bukan tidak mungkin kedua negara ini, akan ikut ambil bagian di Pilpres 2019 nanti.

Secara khusus, operasi intelijen asing bisa ikut mengintervensi hasil akhir Pilpres. Dalam hal ini, bisa jadi intelijen Tiongkok bermain peran untuk mengarahkan pemilih kepada Jokowi.

Oleh karenanya, pernyataan Hashim di awal bisa memberi dampak bagi keterpilihan Prabowo. Mungkinkah pihaknya akan benar-benar menerapkan wacana penghentian proyek kereta cepat tersebut? Menarik untuk ditunggu. (A37)

Exit mobile version