Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menegaskan investasi pertahanan jadi hal yang krusial bagi sebuah negara di era seperti sekarang. Bagaimana pandangan ini akan terealisasi jika Prabowo jadi presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nanti?
Dalam beberapa bulan terakhir, perbincangan tentang potensi Perang Dunia III menjadi perhatian banyak orang. Satu pemantik besarnya mungkin adalah Perang Rusia-Ukraina yang memang sudah berlangsung lebih dari delapan bulan dan mulai berdampak pada beberapa hal secara global.
Akibat perang tersebut, dunia disadarkan bahwa ternyata dalam era perdamaian ini perang masih merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, tidak sedikit juga negara yang semakin memperkuat pertahanannya dengan menaikkan anggaran pertahanan dan membeli sejumlah alat utama sistem senjata (alutsista).
Salah satunya mungkin adalah Menteri Pertahanan (Menhan) RI Prabowo Subianto yang belakangan terlihat semakin gencar membeli jet-jet tempur canggih. Selesai menandatangani perjanjian jet Dassault Rafale, Prabowo juga tampak semakin mantap membeli jet tempur asal Amerika Serikat (AS), F-15 EX, setelah berkunjung ke Negeri Paman Sam beberapa waktu lalu.
Tidak hanya aktif mencari alutsista canggih, belakangan Prabowo juga mulai menyuarakan betapa pentingnya suatu negara untuk sadar tentang kepentingan pertahanannya di era yang rawan ini. Dalam sebuah acara, mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) tersebut mengatakan bahwa sebuah negara dipastikan akan punah jika tidak komitmen investasi di bidang pertahanan.
Belajar dari sejarah, Prabowo menyoroti ada beberapa kerajaan di zaman dulu yang kaya raya namun terpaksa hancur karena ia tidak memiliki militer yang kuat. Oleh karena itu, ia pun mewanti-wanti bahwa investasi pertahanan adalah suatu keniscayaan, bukan persoalan suka ataupun tidak suka, karena, menurutnya, perang adalah ancaman yang akan selalu ada selama manusia selalu berkeinginan memaksakan kehendaknya pada orang lain.
Nah, mengingat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 semakin hari semakin dekat, dan Prabowo adalah salah satu calon presiden (capres) yang paling sering dibicarakan, semua ini tentu memancing pertanyaan: perubahan seperti apa dari aspek pertahanan yang akan terjadi pada Indonesia jika mantan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu jadi presiden?
Indonesia Jadi Lebih ‘Realis’?
Di dalam studi Hubungan Internasional, ada satu pandangan politik yang begitu populer, yakni realisme. Singkatnya, realisme ini melihat bahwa secara prinsip politik internasional sifatnya adalah anarkis – tidak ada yang benar-benar bisa mengatur perilaku suatu negara (apalagi negara besar) karena kekuatan negara (seperti militer dan jumlah populasi) adalah bentuk kekuatan yang tertinggi, bukan perjanjian internasional ataupun relasi bisnis.
Dan seperti yang dikatakan sejarawan Yunani kuno, Thucydides, realisme mengartikan: “mereka yang kuat bisa melakukan apa saja, sementara mereka yang lemah sudah seharusnya menderita”.
Pandangan Thucydides ini pun seakan diamini oleh Prabowo. Dalam acara yang sama dengan yang dijelaskan pada bagian awal tulisan ini, Prabowo mengatakan bahwa hukum manusia adalah pihak yang lemah akan selalu diinjak-injak dan pihak yang lemah akan selalu dijajah.
Mungkin, secara sekilas, apa yang dikatakan Prabowo ini dinilai seperti sebuah pernyataan yang berniat menakut-nakuti orang. Namun, kalau kita berusaha memahami konteks pemikiran di baliknya, narasi yang disampaikan Prabowo tentang pentingnya kekuatan militer memiliki akar historis yang panjang.
Seperti yang diketahui, Prabowo adalah pendiri salah satu partai politik (parpol) terbesar saat ini, yakni Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), satu-satunya parpol yang memiliki kalimat “Indonesia Raya” di namanya. Dan sesuai yang diterangkan dalam video PinterPolitik berjudul Prabowo Ingin Indonesia Jadi Ekspansionis?, di era Presiden Soekarno kalimat Indonesia Raya bermakna lebih dari sekadar judul lagu saja, tetapi juga merepresentasikan mimpi besar Indonesia menjadi negara yang punya pengaruh meliputi seluruh wilayah Melayu, termasuk Malaysia, Filipina, dan Singapura.
Dan memang, secara tidak langsung akar Partai Gerindra pun sebenarnya terinspirasi dari sebuah parpol bernama Partai Indonesia Raya (Parindra), sebuah partai yang berdiri di atas ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap kolonialisme di awal-awal masa kemerdekaan.
Uniknya, meski menentang penjajahan, partai ini di satu sisi mengagumi kebangkitan kekuatan seperti Jepang ketika Perang Dunia II, dan melihatnya sebagai sesuatu yang mungkin bisa beresonansi pada Indonesia Raya. Sebagai informasi, kakek Prabowo yang bernama Margono Djojohadikusumo pernah menjadi anggota dan aktivis partai ini.
Aboeprijadi Santoso dalam tulisannya Gerindra and ‘Greater Indonesia’, menilai bahwa sepertinya Prabowo melalui Gerindra memang kemungkinan mewariskan mimpi besar Indonesia Raya Parindra dalam Gerindra. Ini dibuktikan dengan sejumlah hal seperti penggunaan Garuda dalam logo Gerindra dan kampanye-kampanye Prabowo pada Pilpres 2019 yang berusaha membangkitkan semangat kebesaran Indonesia ala Soekarno.
Oleh karena itu, jika Prabowo jadi presiden pada Pilpres 2024 nanti, bukan tidak mungkin Indonesia melalui penguatan investasi pertahanan akan dibawa Prabowo menjadi sebuah negara yang berambisi kembali mewujudkan mimpi Indonesia Raya dan kembali juga menjadi “Macan Asia”. Mungkin, semua itu tidak akan dilakukan melalui ekspansi militer, melainkan melalui pamor kebesaran alutsista dan gairah diplomasi.
Bicara tentang diplomasi, gaya diplomasi yang dilakukan Prabowo selama jadi Menhan juga bisa jadi perandaian besar kita dalam mengira-ngira akan seperti apa Indonesia bila Prabowo jadi Presiden. Seperti yang dijelaskan dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Indonesia Terpandang Jika Prabowo Presiden?, dari tiga jenis diplomat yang dikategorikan Corneliu Bjola dalam tulisannya yang berjudul Diplomatic Leadership in Times of International Crisis, yakni maverick, congregator, dan pragmatist, Prabowo sepertinya adalah tipe pemimpin diplomat maverick.
Seorang diplomat maverick adalah mereka yang menjalankan manuver diplomasinya berdasarkan visi besar yang multi-aspek, berbeda seperti diplomat congregator yang hanya mengincar konsensus atau perdamaian saja, ataupun diplomat pragmatist yang hanya mengutamakan investasi dan aspek untung rugi ekonomi dalam suatu aksi diplomasi.
Dengan sejumlah manuver diplomasi dalam mendapatkan alutsista serta sangat aktif dalam melakukan kunjungan luar negeri (bahkan lebih dari Jokowi sekalipun), bukan tidak mungkin seorang diplomat maverick seperti Prabowo jika jadi presiden akan sangat mengubah gaya politik luar negeri Indonesia.
Berbeda seperti Jokowi yang politik luar negerinya cenderung selalu mencari posisi aman, jarang mengambil peran besar dalam forum internasional (contohnya tidak pernah hadir dalam sidang Majelis Umum PBB), politik luar negeri Prabowo mungkin akan lebih menitikberatkan peran aktif Indonesia dalam kancah internasional, terutama bila bisa memperkuat kekuatan negaranya dalam berbagai aspek, seperti pertahanan dan keamanan, tidak hanya ekonomi.
Dengan demikian, jika Prabowo jadi presiden, Indonesia tidak hanya akan lebih mementingkan kekuatan negaranya (dalam aspek realis), tapi bisa juga memanfaatkan prinsip politik luar negeri bebas aktif secara maksimal dalam cara yang sedemikian rupa agar Indonesia bisa menjamin eksistensinya dalam keadaan dunia yang semakin memprihatinkan.
Lantas, pertanyaan besar terakhir yang belum sempat kita jawab adalah apakah gaya kepemimpinan yang seperti ini memang cocok untuk Pilpres 2024 nanti.
2024 Tahunnya Pemimpin Militer?
Pada bagian awal tulisan ini dijelaskan bahwa kekhawatiran publik terhadap potensi perang besar beberapa waktu ke belakang sepertinya memang meningkat. Tidak hanya konflik yang terjadi di Ukraina, ketegangan militer pun kini mulai terjadi di Benua Asia dan Afrika, dengan memanasnya hubungan politik antar negara terkait isu Taiwan, Laut China Selatan (LCS) dan Iran, misalnya.
Oleh karena itu, seperti kata George W.F. Hegel, setiap zaman kehidupan pasti akan memiliki apa yang disebut sebagai zeitgeist atau roh zaman, yang didorong oleh kebutuhan masing-masing era peradaban akibat isu-isu besar yang tengah jadi perhatian internasional. Terkait itu, melihat bahwa permasalahan diplomasi pertahanan dan geopolitik kini jadi hal yang semakin penting, maka seorang presiden dengan latar belakang militer seperti Prabowo mungkin memang jadi hal yang perlu kita renungi bersama.
Terlebih lagi, seperti apa yang dijelaskan lembaga konsultan manajemen McKinsey & Company dalam serial Leadership Lessons from the Military, seorang pemimpin militer memiliki keunggulan tersendiri dibanding pemimpin sipil karena mereka memang sudah dididik untuk bisa mengambil keputusan yang genting di tengah keadaan krisis.
Kalau seandainya keadaan dunia memburuk (karena memang tidak akan ada yang tahu) lalu sebuah perang besar tidak terhindarkan, maka tentu kita akan berharap memiliki pemimpin yang bisa membawa Indonesia mengarungi pertempuran tanpa kerugian besar, bahkan kalau bisa tidak terlibat langsung dengan perang besar yang terjadi.
Dengan demikian, melalui interpretasi ini kita sepertinya bisa mengambil kesimpulan bahwa sosok pemimpin militer seperti Prabowo yang mengenal betul pentingnya aspek pertahanan dan keamanan negara adalah tipe presiden yang dibutuhkan Indonesia pada 2024 nanti jika kita memang ingin bersiap diri menghadapi keadaan geopolitik dunia yang semakin tidak pasti.
Tapi bila Prabowo jadi presiden, kira-kira siapa yang jadi Menhan di kabinetnya ya? Well, itu akan jadi topik tulisan selanjutnya. (D74)