Dalam acara HUT ke-8 Partai Perindo, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi sinyal kuat pada Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto terkait Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024). Bagaimana sebaiknya Prabowo sikapi ini?
Ketika mengisi pidato di acara HUT ke-8 Partai Perindo tanggal 7 November 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengucapkan beberapa patah kalimat yang berhasil mengguncang pagelaran politik Indonesia.
“Saya ini dua kali wali kota di Solo menang, kemudian ditarik ke Jakarta, gubernur sekali menang. Kemudian dua kali di pemilu presiden juga menang. Mohon maaf, Pak Prabowo. Kelihatannya, setelah ini jatahnya Pak Prabowo,” kata Jokowi.
Pernyataan tersebut sebenarnya bersifat multitafsir, akan tetapi sebagian besar orang menilai bahwa ini adalah sinyal kuat dukungan politik Jokowi pada Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Sang mantan Pangkostrad tersebut pun bahkan sampai mengamini apa yang disampaikan Jokowi setelah pertemuan dengan Tim Pengurus Musyawarah Rakyat (Musra) Relawan Jokowi tanggal 10 November 2022.
Akan tetapi, ada sejumlah pihak yang justru melihat bahwa apa yang disampaikan Jokowi sepertinya patut dicurigai. Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam, menilai bahwa Jokowi sepertinya hanya berupaya menghibur Prabowo dan berusaha merekatkan kembali hubungannya dengan Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Kritik juga disampaikan Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie, yang mengatakan bahwa Prabowo harus bersikap hati-hati terhadap pernyataan Jokowi tadi. Menurutnya, persoalan kemenangan bukan ditentukan oleh dukungan elite yang notabene tak memiliki power di partai politik (parpol), tetapi pada strategi utama sang calon presiden (capres) untuk ke depannya. Sederhananya, apa yang disampaikan Jerry adalah Prabowo tidak bisa merasa tenang terlebih dahulu hanya karena Jokowi tampak merestuinya.
Lantas, kira-kira perspektif mana yang benar? Mengapa Prabowo harus mewaspadai perkataan Jokowi?
Sanjungan Jokowi Tak Berbobot?
Politik adalah sesuatu yang berfokus pada manusia sebagai subjek, sekaligus objek utamanya. Karena itu, emosi manusia menjadi satu aspek yang selalu diperhatikan, entah untuk mengintimidasi, atau merayu seseorang.
Terlepas dari sungguh-sungguh atau tidaknya pernyataan yang disampaikan Jokowi, kita bisa menilai bahwa jelas itu adalah bentuk sanjungan politik.
Political flattery atau sanjungan politik sudah dipraktikkan sejak ribuan tahun lalu saat pertama kali manusia mulai mendirikan sistem masyarakat yang kompleks. Dalam kajian barat, teknik merayu dalam politik utamanya disoroti ketika zaman Republik Romawi kuno.
Tokoh-tokoh politik besar pada masa akhir Republik Romawi biasanya berasal dari sejumlah keluarga-keluarga elite yang secara umum terlihat damai di muka, tapi sebenarnya saling bersaing secara politik di belakang layar. Kelompok keluarga elite ini disebut keluarga-keluarga patrician. Nah, karena perseteruan langsung antar keluarga dianggap dapat menciptakan citra yang buruk, para keluarga elite Romawi umumnya bermain politik dengan teknik-teknik sanjungan.
Daniel Kapust dalam tulisannya Flattery and the History of Political Thought, menyebutkan bahwa teknik sanjungan adalah salah satu teknik yang paling ampuh dalam politik yang sudah dipraktikkan untuk waktu yang sangat lama karena mampu membungkus intensi yang secara gamblang terlihat “haus kekuasaan” menjadi begitu halus.
Kapust secara umumnya membagi dua tipe orang yang melakukan sanjungan politik. Pertama, cunning flatterers adalah orang-orang yang melakukan sanjungan politik karena ia terpaksa melakukannya demi mengejar atau mempertahankan kekuasaan; kedua, dependent flatterers, yakni orang-orang yang melakukan sanjungan berdasarkan status sosial yang berbeda, contohnya seperti keluarga patrician Romawi yang menyanjung seorang budak di kota Roma, misalnya.
Dari dua tipe penyanjung ini, Kapust melihat bahwa cunning flatterers adalah kategori yang lebih berbahaya, karena sudah pasti ketika ada orang yang merasa kekuatannya terancam, ia akan melakukan apapun agar kepentingannya tetap bisa tercapai, berbeda seperti para dependent flatterers yang terkadang memang memberikan pujian hanya karena ingin berbaik hati dan menginvestasikan kebahagiaan yang dirasakan oleh pihak yang dipujinya.
Nah, membawa konsep penyanjung Kapust tadi ke persoalan sanjungan yang diberikan Jokowi pada Prabowo, kira-kira Jokowi termasuk ke kategori penyanjung yang mana? Kalau dilihat dari posisinya sebagai kepala negara dan seseorang yang sudah tidak lagi berkesempatan jadi kandidat di Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres), mungkin saja Jokowi termasuk ke dependent flatterers. Dari satu sisi, ini bisa diartikan bahwa sanjungan Jokowi sebenarnya tidak terlalu memiliki bobot politik yang spesial.
Tapi, apakah ini artinya kemudian Prabowo perlu merasa di atas angin?
Well, meski secara teoretis sanjungan yang disampaikan Jokowi terlihat ‘tidak berbahaya’, di sisi Prabowo ini justru bisa jadi hal yang sebaliknya.
Seperti yang sudah dijelaskan dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Jokowi Sudah Pasti Dukung Prabowo?, besar kemungkinannya sanjungan yang diberikan Jokowi pada Prabowo adalah strategi memegang semua “kuda pacu” yang akan bertarung di Pilpres 2024 nanti.
Ini karena bagaimanapun juga jika Jokowi memang berniat mendukung seorang kandidat, maka kandidat tersebut akan dijadikan sebagai investasi politik yang akan meneruskan citra dan programnya, karena itu presiden tidak boleh terburu-buru menentukan dukungan untuk menghindari mendukung “kuda” yang salah.
Dan memang, anggapan tersebut dibuktikan dengan tebaran sinyal dukungan yang dilakukan Jokowi pada sejumlah tokoh politik beberapa waktu sebelum sanjungannya pada Prabowo, seperti pada Sandiaga Uno pada Januari 2020, lalu untuk Ganjar Pranowo pada Mei 2022, dan hasil Musra relawan Jokowi yang juga sempat memberi sinyal positif pada Ridwan Kamil (RK).
Kalau anggapan ini benar, maka kita bisa nalarkan bahwa Prabowo seharusnya jangan menanggap sanjungan yang diberikan Jokowi padanya terlalu berlebihan, karena jika kita sesuaikan dengan pembahasan di atas, maka apa yang dilakukan Jokowi sesungguhnya tidak terlalu berbobot secara politik, dalam konteks Pilpres 2024. Yang sebaiknya dilakukan Prabowo adalah tetap fokus membangun programnya untuk pilpres nanti dan tidak mudah terbuai dengan rayuan-rayuan politik yang dilayangkan padanya.
Akan tetapi, melihat sejarahnya, seperti ketika Perjanjian Batu Tulis antara Prabowo dan Megawati, lalu dukungannya pada Jokowi saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012 yang kemudian dibalas dengan persaingan di Pilpres 2014 dan 2019 dengan Jokowi, sejarah membuktikan bahwa Prabowo sepertinya sering terlena dengan rayuan politik.
Bagaimana kemudian ia perlu memaknai sanjungan yang diberikan Jokowi dengan track record-nya sebagai korban rayuan politik?
Sudah Saatnya Prabowo Lebih ‘Lihai‘?
Meski Prabowo adalah seorang tokoh politik besar, ada beberapa orang yang menilai bahwa pria kelahiran tahun 1951 itu memiliki beberapa hambatan utama yang menghalangnya jadi seorang pemain politik yang lebih besar, salah satunya adalah karena gaya politiknya yang dinilai terlalu ‘kaku’.
Ada beberapa alasan yang membelakangi anggapan tersebut, seperti kemungkinan ini berkaitan dengan background keluarganya yang merupakan keluarga terhormat, atau karena backgroud militer yang membuatnya terkadang ragu-ragu bertindak seperti politisi yang populis.
Entah anggapan ini benar atau tidak, yang jelas dalam beberapa kesempatan Prabowo memang tampak terbuai rayuan politik dan cenderung mengikuti alur permainan politik yang dimainkan politisi lain, contohnya seperti ketika dirinya kurang ‘melawan ‘ketika dituduh jadi orang yang paling bertanggung jawab dalam kekacauan krisis 1998 saat momen-momen Pilpres 2019 lalu.
Oleh karena itu, sanjungan yang diberikan Jokowi terkait jatah presiden pada 2024 ini mungkin bisa dijadikan momen oleh Prabowo untuk memperbaiki gaya politiknya. Sakthi dalam tulisannya Vilfredo Pareto’s Circulation of Elite: Explanation and Examples menjelaskan bahwa seorang elite atau penguasa harus mampu melakukan little evil – yang bisa kita artikan sebagai kelincahan politik – untuk meraih ataupun mempertahankan kekuasaan.
Walaupun secara sekilas anjuran ini terkesan negatif, dalam ruang lingkup realitas politik secara luas, hal seperti itu sebenarnya lumrah-lumrah saja. C.A.J. Coady dalam tulisannya The Problem of Dirty Hands menjelaskan bahwa seorang politisi dan pejabat seringnya terjebak dilema dalam menentukan mana yang terbaik secara moral dan mana yang tidak bagi masyarakatnya. Akan tetapi, Coady melihat bahwa apapun yang dilakukan seorang politisi, moralitas demi tujuan yang lebih besar untuk masyarakat dapat dibenarkan.
Dalam konteks Prabowo, hal ini bisa diartikan dengan sejumlah manuver politik yang dapat dilakukannya demi mendapatkan populisme ataupun perhatian publik. Ironisnya, teknik sanjungan politik sebenarnya bisa digunakan Prabowo untuk menarik perhatian politisi dan publik, karena sanjungan yang cantik tentu tidak dapat dijadikan sebagai tuduhan bahwa Prabowo tengah lakukan manuver politik eksplisit dalam jabatannya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).
Dengan demikian, sebagai refleksi, momen-momen seperti ini, di mana Prabowo mulai jadi sorotan para politisi, seharusnya dijadikannya sebagai batu acuan untuk dapat bermanuver politik secara lebih lihai lagi di masa depan. Sekiranya, 2024 adalah tahunnya di mana Prabowo tidak lagi menjadi korban rayuan politik dan bisa menggerakkan agenda politik besarnya tersendiri. (D74)