Prabowo lebih memilik menjadi media enemy di banding media darling. Mungkinkah gaya berpolitik dengan menyerang media akan meningkatkan elektabilitasnya?
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]etika mengulas gaya kampanye mantan Danjen Kopassus sekaligus calon presiden nomer urut 02 Prabowo Subianto seolah tak ada habisnya dan selalu memunculkan hal-hal yang kontroversial.
Kali ini putra dari ekonom kenamaan Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo itu menunjukkan kemarahanya kepada media massa arus utama yang ia anggap tak berimbang dalam mengulas pemberitaan. Hal ini ia ungkapkan pada saat berpidato di acara puncak hari disabilitas Internasional, hari Rabu kemarin.
Nampaknya sang jenderal masih tak mau beranjak dari romantisme sisa-sisa gegap gempita reuni 212 di Monumen Nasional (Monas) pada hari minggu lalu.
Pada kesempatan itu, Prabowo mempersoalkan objektivitas media saat meliput reuni 212 yang menurutnya jumlah massanya mencapai 11 juta peserta.
Menurut Prabowo, Reuni 212 merupakan kegiatan yang harus diapresiasi oleh media karena ini merupakan kejadian satu-satunya di dunia. Bukan tanpa alasan ia berbicara seperti itu. Menurutnya, ada jutaan manusia yang mau berkumpul tanpa dibiayai oleh pihak manapun dan bahkan saling membantu sesama peserta lainnya adalah salah satu hal yang fenomenal.
Lalu ia seolah terkesan emosional dan menuding para jurnalis dan awak media kehilangan netralitas saat meliput aksi yang sempat menghebohkan pemberitaan media internasional tersebut.
Menarik untuk mengulas aksi marah-marah Prabowo tersebut dalam kacamata politik. Tentu aksi marah-marahnya tersebut bukan tanpa maksud. Selalu ada pesan di balik gaya komunikasi seorang politisi di ruang publik.
Lalu apa sebenarnya makna dibalik marah-marahnya Prabowo pada beberapa media arus utama di Indonesia ?
Politik Kemarahan Media
Ekspresi kemarahan seorang tokoh politik selama ini umumnya dianggap sebagai political gimmick yang tak berarti apa-apa. Padahal, belum tentu anggapan tersebut sepenuhnya tepat.
Dalam konteks politics of rage atau politk kemarahan, kemarahan seorang politisi terlebih ketika ia sedang berada di depan media massa, tak boleh dianggap remeh.
Joanne Freeman, seorang profesor Sejarah Amerika dari Yale University dalam kolomnya di The Atlantic menyebut bahwa kemarahan memiliki kekuatan aneh dalam demokrasi.
Jika disiapkan dengan tepat dan dengan audiens yang tepat akan langung menjadi jantung politik populer.
Dampaknya adalah membangkitkan emosi tentang ketakutan, kebanggaan, kebencian, bahkan penghinaan. Secara mengejutkan, jenis kemarahan semacam ini dapat dengan cepat menular dan membentuk orang berpikiran sama dengan si penyebar kemarahan.
Memimpin negara yang kompleks memerlukan ketenangan emosi. Marah marah kepada wartawan di hadapan publik, bukan contoh yang bagus. Semoga Prabowo merenungkannya. pic.twitter.com/0bBYNEq0Q8
— Denny JA (@DennyJA_WORLD) December 6, 2018
Tren itulah yang terjadi di Amerika Serikat ketika ia menjadi presiden Amerika Serikat ke 45 yang memenangkan kontestasi Pilpres 2016 salah satunya dengan jalan “menyerang media “ melalui politik kemarahan terhadap media.
Dalam konteks Trump, ia berhasil menciptakan narasi “enemy of the people” terhadap beberapa media yang melaporkan pemberitaan negatif tentang dirinya.
Ia meluapkan kekesalannya melalui akun media sosialnya bahwa media telah menyebarkan fake news. Dalam akun twitternya, ia menyebut beberapa media seperti The New York Times, NBC News, ABC, CBS, CNN bukanlah musuhnya, tapi adalah musuh rakyat Amerika.
Namun dampaknya justru positif terhadap frekuensi pemberitaan tentang Trump dimana semakin meningkat, dan media lebih minim memberitakan sosok Hilary Clinton sebagai lawan politiknya.
Aksi menyerang media sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh Trump seorang. Sebelumnya, dalam konteks politik AS pada tahun 70an, media attacking juga digunakan untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan secara politik.
Muncul istilah nattering nabobs of negativism yakni frasa yang digunakan oleh Wakil Presiden Spiro Agnew untuk menyerang media yang memiliki hubungan buruk dengan pemerintahan presiden Nixon pada waktu itu.
Dan secara mengejutkan, hal tersebut memiliki dampak besar yang bertahan hingga hari ini dalam politik Amerika dimana penyerangan terhadap media dapat membantu mendorong tumbuhnya rasa ketidakpercayaan pemilih pada media-media arus utama di AS yang dikategorikan sebagai pemilih “silent majority” di detik-detik terakhir menjelang pemilu pada kala itu.
Sekilas apa yang dilakukan Prabowo yang meluapkan kemarahan terhadap media semakin menegaskan bahwa ia meniru cara-cara Trump.
Prabowo menyebut media saat ini kerap berbohong dan banyak memanipulasi rakyat. Hal itu terkait dengan diamnya media terhadap pemberitaan Reuni 212. Menurut Prabowo, media sedang menelanjangi diri sendiri dengan tak ingin memberitakan sesuatu yang benar-benar terjadi.
Prabowo sebaiknya sangat berhati-hati dalam berhadapan dengan media Share on XMenurut Prabowo, jurnalis telah mengkhianati profesi mereka sendiri sebagai wartawan saat melakukan peliputan Reuni 212. Prabowo bahkan meminta masyarakat tak lagi menghormati profesi jurnalis karena menurutnya sudah tak lagi objektif.
Kekesalan Prabowo pun berlanjut pada sesi wawancara dengan media ketika ia menolak pertanyaan dari sejumlah media. Bahkan secara terang-terangan Prabowo mengomeli beberapa jurnalis yang mengajukan pertanyaan padanya.
Dalam konteks tersebut, mungkinkah upaya Prabowo untuk menggaet pemilih silent majority di Indonesia berhasil?
Media Darling versus Media Enemy
Sebagai salah satu sumber berita, media masih menjadi referensi utama bagi sebagian besar pembaca di Indonesia.
Hal tersebut diungkap oleh data Badan Pusat Statistik, yang menyebut bahwa pada tahun 2015 sebesar 91,47 persen masyarakat usia diatas 10 tahun masih menggunakan televisi sebagai akses utama untuk mendapatkan informasi.
Televisi juga masih memiliki kelebihan yang sangat efektif dalam menyampaikan informasi secara visual kepada masyarakat.
Sedangkan hasil survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang bertajuk Orientasi Sosial, Ekonomi dan Politik Generasi Milenial menyebut bahwa media online dan televisi menjadi sumber informasi bagi generasi milenial setiap hari.
Dari survei terungkap bahwa 79,3 persen generasi milenial menonton televisi setiap harinya dan membaca media online sebanyak 54,3 persen.
Masih eksisnya koran dan media cetak lainnya juga diungkap hasil survei Nielsen Consumer and Media View yang mengungkapkan saat ini media cetak lebih dipercaya publik dan dibaca oleh 4,5 juta orang. Dari jumlah tersebut, 83 persennya membaca koran.
Data-data tersebut menunjukkan bahwa pengaruh media terhadap preferensi publik masih sangat tinggi. Sehingga bagi sekelas politisi, menjadi media darling idealnya merupakan sebuah keharusan.
Media darling adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tokoh populer yang sering memperoleh perhatian dan menyenangkan media berita.
Di mana pada kadar tertentu, jika merujuk pada teori agenda setting, salah satu teori media menyebut bahwa media memiliki kekuatan besar untuk membentuk pikiran publik. Sehingga, efek dari media darling tersebut berkaitan erat dengan agenda politik pencitraan seorang tokoh.
Misalnya, ketika media memberitakan Jokowi secara positif dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi, maka publik akan memikirkan Jokowi secara positif pula. Demikian juga sebaliknya.
Sementara itu, kini petahana cenderung lebih berhasil menjadi media darling bagi beberapa media berita nasional berkat populisme Jokowi yang meningkat sejak Pilpres 2014.
Namun, dengan momentum reuni 212 ini, Prabowo justru memilih jalan menjadi media enemy. Mungkinkah strategi tersebut efektif?
Strategi Beresiko
Dalam konteks politik Indonesia, jika dibandingkan dengan Trump, meraih dukungan populer melalui penyerangan media boleh jadi hasilnya belum pasti.
Prabowo Marah Media Tak Ungkap Jumlah 11 Juta Massa Reuni 212 https://t.co/RX3oeOov8o
Pidato @Prabowo ini di Hari Disabilitas Internasional tapi isinya pidato kebencian dan pelecehan kepada wartawan!
— Mohamad Guntur Romli (@GunRomli) December 5, 2018
Meskipun Trump di AS melakukan penyerangan terhadap media yang memberitakan buruk tentangnya, namun ia masih memiliki beberapa media partisan yang mendukung dirinya.
Di antara beberapa media yang mendukung Trump misalnya media Israel Hayom, salah satu koran terbesar di Israel, The Crusader, Koran resmi Ku Klux Klan, sebuah kelompok rasis ekstrem di AS, serta New York Observer, yang merupakan media milik menantu Trump, serta beberapa media lokal lain. Jangan lupakan pula jaringan berita Fox yang menurut studi Harvard University memberitakan hal negatif paling sedikit tentangnya.
Sedangkan Prabowo tampak tidak memiliki relasi seperti itu dengan media-media mainstream di Indonesia menjelang Pilpres 2019.
Memang, di tahun 2014, TV One yang dimiliki Aburizal Bakrie dan MNC Group yang dimiliki Hari Tanoesudibyo adalah oligark media yang mendukung sang jenderal maju menjadi Capres mendampingi Mohammad Hatta.
Namun sayangnya, taipan media tersebut berbalik mendukung petahana dan menurut Ross Taspell dalam tulisannya, kini oligark media sepenuhnya telah dikuasai oleh Jokowi.
Sayangnya, bisa jadi penyerangannya terhadap media-media mainstream tersebut justru akan berbahaya. Mengingat ia tak memiliki aliansi media. Sehingga tindakan isolasi Prabowo terhadap media bisa saja bukan strategi yang tepat.
Jika ia dikucilkan oleh media-media besar, bagaimana mungkin ia akan mampu memaksimalkan pencitraan dirinya untuk memuluskan langkahnya menuju Istana?
Pada akhirnya, Prabowo sebaiknya sangat berhati-hati dalam berhadapan dengan media. Jika salah langkah, bukan tidak mungkin kursi presiden yang akan jadi taruhannya. (M39)