Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, setiap bakal calon presiden (bacapres) telah mengambil strateginya masing-masing guna memenangkan kontestasi politik tersebut. Mengapa strategi Prabowo Subianto bisa saja mengulang kisah Majapahit di masa lampau?
“Let the monsters kill each other, while they battle in the North. We take back the lands that belong to us” – Cersei Lannister, Game of Thrones (2011-2019)
Sosok Cersei Lannister bisa dibilang adalah cerminan politisi yang benar-benar realis. Setidaknya, itulah yang tergambarkan dari karakternya dalam serial Game of Thrones (2011-2019) dari HBO.
Dalam peperangan yang terjadi antar-keluarga bangsawan, Cersei pun melakukan berbagai cara agar keluarganya, Lannister, tetap berkuasa sebagai penguasa Tujuh Kerajaan (Seven Kingdoms). Caranya adalah dengan memastikan tidak ada keluarga bangsawan lain yang bisa mengklaim takhta yang kerap disimbolkan sebagai kursi baja pedang (Iron Throne).
Saking pragmatisnya, Cersei sampai rela berbohong kepada keluarga Stark dan Targaryen yang mengajaknya untuk bergabung guna melawan ancaman bersama, yakni White Walkers. Meski telah mengiyakan ajakan itu, Cersei akhirnya memutuskan untuk tidak mengirimkan pasukan ke utara – di mana pertempuran akan terjadi.
Mungkin, secara rasional, apa yang dilakukan oleh Cersei adalah keputusan tepat. Dengan tidak bergabung dalam pertempuran itu, Lannister bisa menjaga dan menghemat tenaganya untuk perang selanjutnya – melawan Stark dan Targaryen.
Sementara, Stark dan Targaryen harus kehilangan semangat, tenaga, dan jiwa usai pertempuran berat melawan White Walkers. Alhasil, ini bisa jadi kesempatan emas bagi Lannister untuk menghabisi Stark-Targaryen.
Mungkin, situasi perang antara tiga pihak – Lannister, Stark-Targaryen, dan White Walkers – ini mirip dengan situasi terkini menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Indonesia. Hingga kini, terdapat tiga bakal calon presiden (bacapres) yang akan bersaing, yakni mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Namun, apakah strategi ala Cersei juga digunakan dalam Pilpres 2024? Pertanyaan ini menjadi menarik karena, dengan adanya tiga pasangan calon (paslon), Pilpres 2024 bisa saja digelar menjadi dua putaran.
Lantas, siapakah yang menggunakan strategi ala Cersei di sebuah game (permainan) antara tiga pemain ini? Mungkinkah Prabowo perlu mengadopsi strategi demikian?
The Seven Kingdoms dan Kerajaan Majapahit
Perang di Seven Kingdoms dalam kisah Game of Thrones bisa dibilang mirip dengan sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa bagian timur pada akhir abad ke-13. Setidaknya, kesamaannya terletak pada banyak pemain yang ada dalam satu game, yakni tiga pemain.
Dalam teori permainan (game theory), terjadi perebutan poin di antara para pemain yang terlibat. Para pemain akan memperebutkan poin yang terbatas tersebut.
Biasanya, dalam sebuah zero sum game, permainan terdiri atas dua pemain. Ketika pemain A mendapatkan poin tambahan, pemain B akan kehilangan poin.
Lantas, bagaimana bila logika game theory ini diterapkan dalam permainan yang berisikan tiga pemain? Permainan antara tiga pemain inilah yang dicoba untuk dijelaskan oleh William P. Fox dalam tulisannya yang berjudul Solving the Three Person Game in Game Theory Using Excel.
Fox menilai bahwa dalam permainan tiga pemain yang bersifat konflik total (total conflict), tiga pemain sebisa mungkin dibagi menjadi koalisi-koalisi. Ini akan membuat dua pemain melawan satu pemain. Dari sini, keseimbangan dalam permainan pun akan berubah.
Pembuatan koalisi yang memungkinkan di antara tiga pemain inilah yang akhirnya di kisah Game of Thrones. Kubu Star-Targaryen berusaha membangun koalisi dengan kubu Lannister untuk melawan White Walkers yang punya kekuatan lebih.
Hal yang sama juga terjadi di kisah berdirinya Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 silam. Kala itu, terdapat tiga pemain, yakni Jayakatwang dari Kerajaan Kediri, Raden Wijaya yang merupakan menantu Raja Kertanegara dari Singasari, dan Kerajaan Mongol.
Saat itu, pasukan Mongol marah karena sikap Raja Kertanegara di masa lampau. Namun, Raden Wijaya dengan cerdiknya berkoalisi dengan Mongol guna melawan Jayakatwang yang dulu berkhianat kepada Kertanegara.
Raden Wijaya di sini semacam membangun koalisi di antara tiga pemain yang ada – menjadi dua pemain (Raden Wijaya dan Mongol) melawan satu pemain (Jayakatwang). Pada akhirnya, koalisi ini berhasil membuat keseimbangan berubah dan berujung pada kekalahan satu pemain – menyisakan dua pemain.
Lantas, apakah strategi ini juga perlu diambil oleh para pemain yang bermain dalam kontestasi Pilpres 2024? Mengapa strategi serupa bisa saja menguntungkan salah satu pemain dalam politik Pilpres 2024?
Prabowo Bisa Mengulang Majapahit?
Seperti yang diketahui, kontestasi Pilpres 2024 hingga kini masih menjadi sebuah three-person game – yakni antara Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Namun, apakah mungkin game Pilpres 2024 ini bisa dibuat menjadi koalisi-koalisi guna membuatnya menjadi sebuah game antara dua lawan satu.
Mungkin, akan menjadi sulit apabila menjadikan game ini sesuai dengan skenario persis ala Game of Thrones atau sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit. Pasalnya, terdapat mekanisme pemilihan yang akan menjadi peraturan (rules) dalam game ini.
Skenario ini bisa diambil ketika salah satu pihak diputuskan kalah berdasarkan rules itu – misalnya melalui pemungutan suara putaran pertama. Ketika ini terjadi, three-person game ini akan berubah menjadi permainan dua lawan satu.
Bagaimana bisa? Pemain yang kalah pada putaran pertama tidak akan hilang begitu saja, melainkan akan memilih salah satu dari dua pemain yang tersisa hingga muncul satu pemenang di akhir game.
Lantas, bila demikian, pemain mana yang bisa memanfaatkan strategi demikian dalam game Pilpres 2024?
Terdapat tulisan menarik dari Alexander R. Arifianto di S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) yang berjudul From an Underdog to a Frontrunner: Understanding Prabowo’s Polls Surge. Dalam tulisan tersebut, dijelaskan bahwa Prabowo bisa menjadi pilihan banyak orang karena miskalkulasi strategi yang dilakukan oleh lawan-lawannya.
Ganjar, misalnya, dinilai terlalu dekat dengan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri – menimbulkan kekhawatiran bahwa Ganjar akan lebih mudah dikendalikan. Di sisi lain, Anies yang mengusung tema perubahan dianggap belum sejalan dengan sebagian besar pemilih yang justru merasa nyaman dengan keadaan terkini.
Alhasil, Prabowo dianggap bisa menjadi pilihan yang lebih aman dan middle ground di antara dua lawannya itu. Momentum politik inilah yang mungkin perlu dimanfaatkan oleh Prabowo.
Prabowo bisa saja berperan layaknya Cersei atau Raden Wijaya yang membiarkan lawan-lawannya saling menghabisi. Pasalnya, mengacu ke tulisan PinterPolitik.com yang berjudul Anies Adalah Rival Ganjar, Anies dan Ganjar secara natural cocok untuk menjadi rival satu sama lain di Pilpres 2024.
Sementara, Prabowo yang lebih menjadi pilihan aman hanya perlu menunggu satu pihak berhasil dikalahkan – sambil menjaga momentum agar jumlah pemilihnya cukup untuk lolos ke putaran kedua. Usai putaran pertama, Prabowo kemudian perlu membangun “koalisi” dengan pihak yang kalah – menjadi poin tambahan bagi Prabowo dalam game Pilpres 2024 ini.
Caranya bagaimana? Prabowo bisa saja menjadi pihak yang memeluk para pemilih dari pihak yang kalah. Ini bisa dilakukan dengan menjadi the bigger man (sosok yang lebih bijaksana) – seperti yang dijelaskan dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul ‘Prabowo’ Sekarang Bukan ‘Prabowo’ Dulu?.
Pada akhirnya, Prabowo bisa saja mengulang apa yang dilakukan Raden Wijaya yang berada di balik sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit. Mungkin juga, Prabowo menjalankan apa yang diucapkan oleh Cersei seperti yang dikutip di awal tulisan.
Tentunya, akan ada banyak faktor pembeda dalam setiap game berisikan tiga pemain ini. Semua itu kembali ke langkah-langkah taktis apa yang akan diambil. Bukan begitu? (A43)