Site icon PinterPolitik.com

Prabowo, Peluklah PKS Demi Jabar

Prabowo Peluklah PKS Demi Jabar

Foto : CNN Indonesia

Suara Prabowo di Jabar terancam dikuasai oleh lawan. Padahal, mantan Danjen Kopassus tersebut masih bergantung pada wilayah ini jika ingin menang Pilpres 2019. Disebut-sebut, PKS masih memainkan peran kunci di tanah Pasundan ini. Namun, kerenggangan hubungan PKS dan Prabowo membuat perannya dalam memenangkan Prabowo-Sandi, utamanya di Jabar, sedikit dipertanyakan


PinterPolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]ak film Mr and Mrs Smith, hubungan PKS-Prabowo nampak mengalami pasang surut menjelang Pilpres 2019 ini.

Setelah polemik kursi Wagub DKI membuat hubungan Gerindra dan PKS tampak kusut, ada persoalan serius yang dari awal sudah diprediksi oleh banyak pengamat politik, yakni matinya PKS sebagai mesin politik Prabowo-Sandi.

PKS, harapan terakhir Prabowo-Sandi Share on X

Dalam sebuah rilis survei terbaru, Indopolling Network memaparkan sebuah temuan khusus di tanah Sunda, Jawa Barat tentang  elektabilitas dua pasangan calon Pilpres 2019.

Dalam rilis ini, disebut bahwa pasangan Jokowi-Ma’ruf kini unggul tipis dengan atas pasangan Prabowo-Sandi dengan elektabilitas 41,7 persen versus 37,9 persen.

Hasil ini kemudian direspons oleh pakar ilmu politik Universitas Padjajaran, Firman Manan yang menyebut bahwa jika Prabowo ingin kembali unggul di Jabar seperti Pilpres 2014, pasangan ini harus meyakinkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) agar mau berkampanye ke masyarakat.

Menurutnya, PKS masih menjadi juru kunci bagi kemenangan Prabowo di Jawa Barat. Menurutnya, secara kepartaian, hanya PKS-lah mitra koalisi Prabowo yang bisa maksimal berkampanye di Jabar.

Ia mencontohkan pada Pilgub Jabar di 2018 lalu, PKS lah yang bergerak menaikkan secara drastis suara Sudrajat-Syaikhu.

Berdasarkan amatan tersebut, tentu menarik menimbang peran PKS sebagai mesin politik koalisi Indonesia Adil dan Makmur demi kemenangan Prabowo-Sandi, mengingat semakin dekatnya hari pencoblosan.

Lalu bagaimanakah sesungguhnya memahami hubungan PKS dan Prabowo yang bagaikan sepasang kekasih yang sedang berkonflik ini?

PKS, Kunci Prabowo di Jabar

Secara performa politik, meskipun partai berlambang padi tahun ini diramalkan tak akan lolos parliamentary threshold menuju Senayan, namun sebagai partai senior yang sudah makan asam-garam perpolitikan tanah air, peran PKS tak boleh dianggap remeh.

Sebagai mesin politik, PKS telah terbukti berhasil “melumpuhkan” Jakarta serta meningkatkan elektabilitas cagub Gerindra di Jateng dan Jabar.

Di Jakarta, berbekal tiga strategi yakni strategi di TPS, strategi serangan udara dan strategi serangan darat, PKS berperan besar dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 untuk memenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Sementara itu, dalam konteks Jawa Barat, mitosnya, PKS juga masih memiliki basis suara yang besar. Benarkah demikian?

PKS memang disebut-sebut berperan besar bagi peningkatan suara pasangan Sudrajat-Syaikhu, walaupun akhirnya harus menyerah pada pasangan Emil-Uu.

Hal ini dapat dilihat berdasarkan realitas bahwa raihan suara pasangan calon kepala daerah yang mereka usung mampu menjungkirbalikan prediksi sejumlah lembaga survei.

Kala itu, berdasarkan hasil rekapitulasi KPUS, pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang diusung PKS bersama Gerindra berhasil meraup 28,74 persen suara.

Fakta tersebut pada akhirnya membenarkan posisi PKS yang masih berpengaruh di Jabar. Paling tidak, taring PKS masih kuat di wilayah Jabodetabek. Oleh karenanya, dengan kekalahan elektabilitas Prabowo-Sandi di Jabar seharusnya menjadi evaluasi bagi kubu BPN, mengingat Jabar merupakan Jabar merupakan salah satu sumber suara terbesar bagi kemenangan Prabowo.

Di tahun 2014, Prabowo merajai Jabar dengan perolehan suara sebesar 14,1 juta. Kala itu, Prabowo menang di 22 Kabupaten/Kota di provinsi tersebut. PKS sedikit banyak berperan di balik kemenangan tersebut terutama di kantong-kantong suara mereka di wilayah Jabodetabek.

PKS, Kartu Truf Terakhir Prabowo?

Tokoh John Smith dan Jane Smith yang diperankan pasangan fenomenal Angelina Jolie dan Brad Pitt dalam film Mr and Mrs Smith harus terlibat dalam sebuah hubungan cinta yang rumit.

Sepasang suami istri ini harus berjuang untuk mempertahankan pernikahan, hingga pada akhirnya mereka saling menyadari bahwa ternyata diam-diam keduanya bekerja sebagai pembunuh dan mengharuskan mereka untuk membunuh satu sama lain.

Film yang disutradarai oleh Doug Liman ini mengajarkan banyak hikmah yang bisa diambil, tak terkecuali dalam politik.

Mungkin gambaran itulah yang kini sedang terjadi dengan koalisi PKS-Prabowo. Memang sejak awal, hubungan antara PKS, Gerindra, dan Prabowo tak semulus dengan partai lain, katakanlah hubungan Prabowo dan Demokrat.

Prabowo memang selama ini tampak lebih mendekat pada partai berlambang mercy tersebut karena ada sosok SBY sebagai salah satu kekuatan yang  diyakini mampu berperan besar untuk kemenangan Prabowo.

Namun perlu diingat, dalam beberapa pemilu terakhir, Demokrat tak menunjukkan performa politik yang cukup impresif.

Kekuatan PKS justru tampak berkembang jauh lebih besar dari Demokrat. Jika kemenangan dalam Pilkada menjadi acuannya, Partai Demokrat hanya meraih kemenangan di lima provinsi, dengan satu wakil gubernur terpilih saja yang merupakan kader internalnya.

Terlebih di Jatim, gubernur dan wakil gubernur terpilih yang diusung Demokrat yakni Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak juga malah mendeklarasikan dukungannya pada Jokowi dalam gelaran Pilpres ini.

Dengan kekuatan politik yang sedemikian rupa, sesungguhnya PKS memliki wewenang untuk melakukan bargaining power  kepada Prabowo dan Gerindra.

Menurut Lehman B. Fletcher, seorang asisten Professor Economi di Iowa State University, bargaining power sendiri merupakan kekuatan tawar-menawar yang tergantung pada kekuatan relatif para pihak yang terlibat didalamnya.

Proses ini sesungguhnya juga ditentukan oleh  situasi untuk saling mempengaruhi satu sama lain. Jika kedua belah pihak memiliki kekuatan yang sama, maka mereka akan memiliki daya tawar yang sama.

Berdasarkan teori di atas, sesungguhnya kartu truf bargaining power antara Prabowo dan PKS ada di tangan partai pimpinan Sohibul Iman ini.

Namun tawar menawar Prabowo-PKS ini tidak terjadi bisa saja karena Prabowo lebih memilih untuk bertumpu pada kekuatan  partai lain yakni Demokrat.

Kini, dengan semakin panasnya hubungan Gerindra dan PKS terkait kepastian kursi Wagub DKI, tentu akan menyakiti PKS yang selama ini termasuk partai yang konsisten mendukung Prabowo dan Gerindra.

Memang, PKS salah satu partai yang setia mendukung Prabowo di jalur oposisi. Namun kini konstelasi politik bisa saja berubah. Pasca pilkada serentak, Presiden PKS, Sohibul Iman, juga sempat menyampaikan politik itu ada rasionalitasnya.

Oleh karena itu, boleh jadi karena semakin tak diberi kepastian soal posisi kekuasaan PKS, strategi two legged atau politik dua kaki merupakan hal yang mungkin saja dipilih oleh PKS.

Hal ini selaras dengan pendapat Mark Lubell dalam The Oxford Handbook of Political Network dimana aktor politik yang tidak menjadi bagian penting dari pertarungan politik akan cenderung mengalihkan dukungan untuk kubu yang mau mengakomodir kepentingannya.

Merujuk pada hal tersebut, Prabowo idealnya bisa mempertimbangkan kembali pilihan tak sepenuhnya mengakomodasi kekuatan PKS. Terlebih di Jabar, sebagai wilayah battleground antara kedua kubu yang akan bertarung, Prabowo juga masih sangat bergantung pada perolehan suara di bumi Sangkuriang ini.

Boleh jadi, nantinya hubungan PKS dan Prabowo akan berakhir seperti John Smith dan Jane Smith dalam Mr and Mrs Smith. Ibarat dua sejoli yang sedang kasmaran, hubungan keduanya harus kandas karena hubungan satu sama lain sudah tak saling menguntungkan justru merugikan karena diharuskan untuk saling membunuh.

Pada akhirnya, Prabowo dan kamp pemenangannya jelas harus memperbaiki hubungannya dengan PKS. Jika tidak, kemenangan telak mereka di Tanah Pasundan pada pemilu lalu, bisa saja berubah jadi awan kelabu di pemilu tahun ini. (M39)

 

Exit mobile version