Site icon PinterPolitik.com

Prabowo Pasti Gagal di 2024?

prabowo pasti gagal di 2024

Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto mendaftarkan partai politiknya sebagai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 8 Agustus 2022. (Foto: JawaPos.com)

Nama Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto mulai dirumorkan bisa mendapatkan dukungan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Mengapa kabar ini justru bisa jadi salah kaprah?


PinterPolitik.com

“I heard a rumor…” – Allison Hargreeves, The Umbrella Academy (2019-sekarang)

Pernahkah kalian mendengar pertanyaan yang berbunyi, “apa kekuatan super yang ingin kamu miliki?” Mungkin, hampir semua orang pasti berharap memiliki kekuatan super.

Namun, bila diperhatikan, setiap orang pasti akan memiliki jawaban-jawaban yang berbeda. Biasanya, jawaban yang diberikan berakar dari persoalan hidup yang mereka hadapi masing-masing.

Bagi orang yang kesulitan untuk menarik perhatian si doi, mungkin kekuatan super untuk mengubah wajah menjadi tampan atau cantik bisa jadi jawabannya. Siapa tahu, dengan kekuatan tersebut, dia bisa berubah bentuk sesuai keinginan si doi?

Namun, bagaimana bila kekuatan super yang dimiliki lebih mengubah orang lain dibandingkan diri sendiri? Dengan kekuatan seperti itu, setiap orang pasti akan tunduk padanya.

Salah satu tokoh atau karakter yang memiliki kekuatan demikian adalah Allison Hargreeves dalam seri The Umbrella Academy (2019-sekarang). Hanya dengan mengucapkan, “I heard a rumor…,” dia langsung bisa membuat lawan bicaranya melakukan apa saja yang dia mau.

Wah, mungkin, kekuatan super seperti Allison inilah yang bisa jadi jurus ampuh bila dimiliki oleh para politisi dan pejabat publik. Bagaimana tidak? Dengan kekuatan super tersebut, para politisi tidak usah lelah-lelah menjalankan kampanye politik.

Namun, untung saja, kekuatan super seperti itu hanya ada di bayangan imajinasi belaka. Pasalnya, akhir-akhir ini, mulai banyak beredar nama-nama calon presiden (capres) potensial yang bakal didukung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo, misalnya, sempat disebut-sebut menjadi capres potensial favorit. Sejumlah kelompok relawan Jokowi juga mulai mengarahkan dukungannya ke Ganjar.

Selain Ganjar, ada juga nama Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Dengan popularitas yang diupayakan untuk terus ditingkatkan, Erick disebut-sebut jadi salah satu menteri yang bakal didukung Jokowi di 2024.

Nah, selain Ganjar dan Erick, ada nama lain lagi yang muncul, yakni Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Sosok yang sudah dua kali gagal menjadi capres terpilih – ketika bertanding dengan Jokowi pada tahun 2014 dan tahun 2019 – ini kabarnya memiliki hubungan yang semakin dekat dan karib dengan Jokowi.

Nama Prabowo juga bukan sekali ini saja muncul. Banyak hasil survei juga menunjukkan nama mantan Komandan Jenderal (Danjen) Komando Pasukan Khusus (Kopassus) tersebut memiliki elektabilitas yang tinggi.

Namun, meski banyak orang mengira Prabowo akhirnya bakal bisa menjadi capres terpilih pada tahun 2024, tentu saja itu bukan perkara mudah. Selain masih banyak pesaing muda lainnya, Prabowo juga harus menghadapi sejumlah tantangan.

Mengapa Prabowo perlu berpikir dua kali bila ingin maju sebagai capres pada tahun 2024 mendatang? Bilapun benar maju, apakah Prabowo akhirnya bakal bisa meriah “impiannya”?

Hantu Masa Lalu Prabowo

Jika mengingat kembali bagaimana diskursus berjalan di masyarakat seputar Pilpres 2014 dan Pilpres 2019, ada satu narasi yang selalu eksis. Isu tersebut adalah anggapan bahwa Prabowo telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lampau.

Kisah soal pelanggaran HAM yang disebut dilakukan oleh Prabowo di masa lampau dimulai ketika gejolak politik meletus di Indonesia pada tahun 1997-1998. Kala itu, para aktivis mendapatkan momentum guna mengkritik pemerintahan Soeharto.

Namun, seiring dengan meningkatnya momentum politik para aktivis, terjadi juga reaksi balasan dari rezim Orde Baru, yakni dengan menjalankan tindakan penculikan dan penghilangan terhadap para aktivis. Prabowo sebagai Danjen Kopassus kala itu disebut bertanggung jawab atas hilangnya para aktivis.

Anggapan bahwa Prabowo bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut pun diperkuat dengan laporan-laporan rahasia milik pemerintah Amerika Serikat (AS). Pada tahun 2018, dalam 34 dokumen rahasia yang dibuka AS, Prabowo disebut memberi perintah pada Kopassus untuk menghilangkan paksa sejumlah aktivis atas perintah Presiden Soeharto.

Prabowo sendiri dalam sebuah wawancara pernah mengaku bahwa dirinya kala itu menerima “daftar nama” yang dianggap bisa mengancam sehingga perlu diamankan. Meski masih blur, narasi-narasi ini akhirnya mengarah ke Prabowo sebagai pihak yang bertanggung jawab.

Prevalensi narasi sejarah terkait peristiwa itu bukan tidak mungkin bakal mempengaruhi kembali diskursus elektoral pada tahun 2024 mendatang. Mengacu pada buku karya Hannes Swoboda dan Jan Marinus Wiersma yang berjudul Politics of the Past: The Use and Abuse of History menjelaskan bahwa pencatat sejarah akan selalu mencocokkan temuan sejarah dengan meaning (makna) yang dibangunnya.

Dalam hal ini, temuan dan narasi yang bilamana muncul terkait penculikan pada tahun 1998 silam bisa saja disesuaikan dengan makna yang ingin didapatkan. Eks-Kopassus lainnya, Agum Gumelar, misalnya, menyebutkan bagaimana Prabowo terbukti bersalah.

Meaning yang terbangun seperti ini bisa saja akan kembali menghantui Prabowo di tahun 2024 mendatang – apalagi bila muncul aktor-aktor politik lain yang memang dianggap mengetahui seluk-beluk di balik apa yang terjadi pada tahun 1998 silam.

Prabowo yang ‘Berkhianat’?

Tidak hanya soal pelanggaran HAM masa lalu, Prabowo juga dinilai memiliki tendensi untuk melakukan pengkhianatan. Ini pun disebut juga terjadi pada tahun 1997-1998.

Ada anggapan bahwa Prabowo telah mengkhianati mertuanya sendiri, Soeharto, pada tahun 1997. Berdasarkan dokumen yang dibuka AS pada tahun 2018 lalu, Prabowo disebut sudah memberikan sinyal akan gejolak politik kepada pemerintah AS melalui Asisten Menteri Luar Negeri (Menlu) AS untuk Asia Pasifik dan Asia Timur Stanley Owen Roth.

Dalam sebuah pertemuan dengan Roth, Prabowo menyebutkan bahwa alangkah baiknya bila Soeharto saat itu mundur untuk mewujudkan transisi pemerintahan yang lebih stabil. Kisah ini tampaknya membuat nama Prabowo masuk dalam salah satu “pengkhianat” Soeharto – yang karena itu juga diusir dari keluarga Cendana.

Tidak hanya soal pengkhianatan terhadap Soeharto, Prabowo juga masih dianggap mengkhianati para pemilihnya pada Pilpres 2019 silam. Bagaimana tidak? Setelah polarisasi politik terjadi begitu kerasnya, Prabowo malah kemudian diangkat menjadi Menhan oleh lawan politiknya sendiri yang terpilih, Jokowi.

Mungkin, inilah yang disebut oleh Ashley Lavelle sebagai mentality of renegades (mentalitas pengkhianat) dalam bukunya The Politics of Betrayal: Renegades and Ex-radicals from Mussolini to Christopher Hitchens. Lavelle menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan renagades melakukan pengkhianatan adalah alasan-alasan psikologis – dengan mencontohkan tokoh-tokoh besar dunia seperti Benito Mussolini hingga Christopher Hitchens.

Padahal, kepercayaan adalah faktor yang penting dalam hubungan antara politisi/pejabat dengan para pemilihnya. Bila trust saja sudah hilang, besar kemungkinan kecurigaan juga lebih mudah muncul.

Dengan kecenderungan untuk berpindah kubu atau pihak seperti ini, bukan tidak mungkin kepercayaan dari entitas politik internasional kepadanya juga sulit terbentuk – apalagi di tengah situasi geopolitik Indo-Pasifik yang semakin terbelah menjadi dua. Bukan rahasia lagi bahwa aktor politik luar negeri juga biasa mencampuri urusan politik dalam negeri, khususnya politik elektoral.

Mengacu pada penjelasan Damien D. Cheong, Stephanie Neubronner, dan Kumar Ramakrishna dalam tulisan mereka berjudul Foreign Interference in Domestic Politics: A National Security Perspective, negara-negara besar seperti AS, Rusia, dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) kerap melakukan upaya campur tangan dalam politik domestik – termasuk dalam dinamika elektoral – agar bisa memenuhi kepentingan politik luar negeri mereka.

Dengan bergabungnya Prabowo ke pemerintahan Jokowi yang disebut lebih condong ke Tiongkok dalam persaingan geopolitik dengan AS, bukan tidak mungkin Prabowo semakin dilihat lebih dekat dengan negeri Tirai Bambu oleh negeri Paman Sam.

Ini diakibatkan oleh bagaimana pemerintah AS sendiri menjalankan politik luar negerinya. Bryan Partridge dalam tulisannya yang berjudul Constructivism: Is the United States Making China an Enemy? menjelaskan bahwa politik luar negeri AS bisa dijelaskan dengan pendekatan konstruktivis.

Dalam dokumen-dokumen soal prinsip politik luar negerinya, AS selalu menekankan pada nilai-nilai demokrasi dan kebebasan. Maka dari itu, AS akan mencampuri urusan negara lain bila prinsip dasar ini terganggu.

Partridge pun mengatakan bahwa atas alasan inilah akhirnya AS menjadikan Tiongkok sebagai musuh politiknya kini. Dengan dikotomi yang terbangun di bawah pemerintahan Joe Biden, bukan tidak mungkin aktor-aktor politik yang dianggap dekat dengan Tiongkok bisa dicurigai – membuat Prabowo akan semakin sulit mendekati AS dengan persoalan HAM masa lalu.

Dengan berbagai tantangan dan hambatan yang dihadapi, bukan tidak mungkin Prabowo memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk bisa sukses di kontestasi elektoral 2024. Bisa jadi, seperti yang dijelaskan di awal tulisan tadi, Prabowo juga butuh kekuatan super bila ingin benar-benar berhasil pada tahun politik tersebut. (A43)


Exit mobile version