Ketua umum (ketum) PSI yang baru, Kaesang Pangarep, baru saja bertemu dengan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Mengapa kemungkinan arah dukungan PSI ke Prabowo makin menguat?
“Maukah lagi kau mengulang ragu dan sendu yang lama?” – Tulus, “Adu Rayu” (2019)
Siapa yang pernah berada di posisi ketika harus memilih dua orang yang berbeda untuk menjadi pasangan? Mungkin, ini memang terdengar egois tetapi pertimbangan seperti ini lumrah muncul ketika ini menjadi soal perjodohan.
Bagaimana tidak? Orang yang dipilih nantinya akan menjadi pasangan dalam jangka panjang. Tentunya, pertimbangan matang – seperti kecocokan sifat dan resiprositas perasaan – harus dipikir dengan baik.
Upaya memilih ini akan semakin menjadi sebuah dilema apabila ada pertimbangan memori masa lalu yang ikut masuk. Bayangkan, apabila di antara kedua tersebut, hubungan asmara telah terjalin selama beberapa waktu.
Namun, siapa sangka bahwa hubungan asmara itu tidak berjalan dengan seimbang — alias one-sided (berat di satu sisi). Semua-semuanya harus mengikuti kemauan dia.
Namun, kondisi yang kerap disebut sebagai budak cinta (bucin) ini akhirnya berubah ketika datang seseorang yang begitu baik. Bahkan, orang ini rela untuk mendengarkan kemauan diri kita.
Well, situasi seperti ini mungkin tengah dialami oleh PSI – partai politik yang kini dipimpin oleh Ketua Umum (Ketum) Kaesang Pangarep. Setelah selama beberapa tahun ini bersama PDIP, PSI tampaknya mulai kesal dengan partai berlambang kepala banteng tersebut.
Di tengah dinamika elektoral menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, PSI disinyalir justru semakin mendekat ke bakal calon presiden (bacapres) yang tidak diusung oleh PDIP, yakni Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Apalagi, beredar narasi bahwa PSI lebih diperlakukan lebih baik oleh Gerindra ketimbang PDIP. Salah satunya adalah video yang berisikan kader-kader Gerindra yang menyoraki kader-kader PSI dengan yel-yel berbunyi, “Bro–sis PSI, kapan deklarasi?”
Tentu, perubahan sikap PSI ini meninggalkan tanya. Mengapa narasi “Gerindra lebih baik daripada PDIP” tampak didorong kembali? Mungkinkah ada tujuan tertentu menyongsong tahun politik 2024?
PDIP Adalah the Villain?
Narasi yang disebarkan oleh PSI secara tidak langsung menempatkan PDIP sebagai “the villain” (musuh). Bagaimanapun, sebuah cerita (story) selalu membutuhkan seorang hero (pahlawan) dan seorang villain.
Setidaknya, konsep story yang demikianlah yang dituliskan oleh Joseph Campbell dalam bukunya yang berjudul The Hero with a Thousand Faces. Dalam perjalanan seorang hero, ada beberapa komponen yang dibutuhkan, yakni villain atau usaha (struggle) dan tujuan (goal).
Nah, hero ini akan melakukan segala upaya dengan kekuatan dan prinsip yang dimilikinya untuk mencapai tujuan. Namun, struggle dan villain akan datang untuk menghalanginya – yang mana akan tetap dikalahkan untuk tujuan tersebut.
Narasi perjalanan hero ini sangat tampak dalam narasi-narasi PSI. Terbaru, muncul sebuah video animasi pendek yang berjudul Pak Tani dan Mawar Kecil.
Dalam video itu, terdapat seorang petani – yang mana memiliki muka mirip dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) – yang merawat sebuah tanaman bunga mawar kecil yang dikelilingi oleh tanaman-tanaman lain seperti padi dan alang-alang.
Selain merawat mawar kecil itu, Pak Tani juga berusaha melindungi mawar kecil dari berbagai ancaman. Salah satunya adalah ketika sang mawar kecil diinjak oleh seekor kerbau.
Dalam kisah ini, hero yang muncul adalah tokoh-tokoh protagonis seperti Pak Tani dan Mawar Kecil. Tujuannya adalah agar bisa tumbuh besar/
Struggle dan villain yang mereka hadapi pun banyak – mulai dari padi dan alang-alang, kerbau, hingga ancaman-ancaman hama lainnya. Namun, mereka tetap berjuang meski ada ancaman-ancaman ini.
Secara tidak langsung, mawar kecil bisa dipahami sebagai PSI. Sementara, Pak Tani adalah Jokowi yang mana selalu diikuti arahannya oleh PSI.
Sementara, struggle dan villain yang mereka hadapi adalah partai-partai lain. Salah satu yang terlihat jelas adalah kerbau yang mirip dengan banteng – hewan yang menjadi lambang dari PDIP.
Bila makna kisah ini benar demikian, pertanyaan lanjutan kemudian mencuat. Mengapa PSI ingin menampilkan story demikian? Mungkinkah ada kepentingan politik di baliknya?
PSI Cari “Pacar” Lagi?
Cerita bukanlah hanya kata-kata yang dibaca atau diikuti untuk kegemaran atau kesenangan belaka. Cerita juga memiliki kekuatannya tersendiri, termasuk dalam dimensi sosial dan politik.
Kekuatan naratif dalam cerita inipun dijabarkan dalam tulisan PinterPolitik.com yang berjudul Jokowi Bukan Presiden Pendongeng?. Dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa narasi dapat membangun identitas dari aktor-aktor yang ada di masyarakat.
PSI sebagai mawar kecil, misalnya, digambarkan sebagai pihak yang lemah dan tertindas. Sementara, Jokowi sebagai Pak Tani digambarkan sebagai sosok yang selalu melindungi.
Di sisi lain, kerbau yang seenaknya sendiri bisa digambarkan sebagai PDIP yang arogan. Bahkan, kerap kali, PSI merasa tidak diacuhkan oleh partai berlambang kepala banteng tersebut.
Identitas yang terbangun ini akhirnya membuat individu atau kelompok berinterarksi satu sama lain dengan mengacu pada peran dan identitas yang mereka dapatkan. PSI, misalnya, bukan tidak mungkin, akan terus mengikuti apa kata sang pelindung.
Dan, bila dikaitkan dengan narasi PSI dan Gerindra, sosok di balik Gerindra bisa jadi adalah salah satu hero yang mereka dambakan. Perasaan senasib di antara kader-kader PSI bisa jadi salah satu kuncinya.
Pasalnya, meski elite PSI sudah mengarahkan dukungan mereka ke Prabowo, bukan tidak mungkin ada sebagian dari PSI yang masih mendukung PDIP dan Ganjar Pranowo. Ini terlihat dari sejumlah elite dan kader yang memutuskan untuk keluar dari PSI.
Mohamad Guntur Romli, misalnya, memutuskan untuk keluar dari PSI dan bergabung dengan PDIP. Bahkan, Gun Romli kini menjadi Ketum Ganjarian Spartan Ganjar Pranowo.
Bukan tidak mungkin, perasaan senasib ini akan membuat PSI lebih solid dan kohesif karena memiliki satu musuh. Barang kali, dengan kisah ini, PSI akan menjadi lebih yakin untuk memulai hubungan baru dengan “pacar baru”. (A43)