Serangan timses Jokowi terhadap Prabowo dengan mengaitkan sang jenderal dan Orde Baru tak akan lagi efektif seperti Pipres 2014.
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]etelah kepemimpinan Soeharto runtuh pada 20 tahun silam, masyarakat Indonesia masih belum sepenuhnya terbebas dari bayang-bayang Orde Baru (Orba). Figur Soeharto dan Orba kerap kali dihidupkan oleh para politisi untuk menjadi komoditas politik, atau alat untuk memukul lawan.
Anak-anak Soeharto di Partai Berkarya misalnya, menggunakan figur Soeharto sebagai alat pendongkrak suara untuk Pemilu 2019 nanti. Sementara di kubu lain, ketakutan terhadap Orba dihidupkan kembali untuk memukul sosok Prabowo Subianto – menantu Soeharto – yang akan melawan Joko Widodo (Jokowi) pada kontestasi Pilpres.
ketakutan terhadap Orba dihidupkan kembali untuk memukul sosok Prabowo Subianto Share on XBelum lama ini, Jubir Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, Arya Sinulingga menyatakan visi-misi Prabowo-Sandi pada bidang ekonomi mirip dengan ekonomi pada masa Orde Baru. Sebelumnya, Arya juga pernah menjawab kritik Prabowo terhadap Jokowi dengan mengatakan “Pak Prabowo ingin kembali ke Orde Baru?”
Sekilas, isu “Prabowo kroni Orba” mengingatkan masyarakat pada Pilpres 2014. Saat itu, Prabowo dihantam dengan tuduhan otoriter, antek Orba, hingga kasus pelanggaran HAM di seputaran 1998. Maka kemenangan Pilpres 2014 pun pada akhirnya jatuh ke tangan Jokowi, sebagai figur politik yang tidak punya hubungan dengan Orba.
Pertanyaannya adalah masihkah efektif menggunakan isu Orba untuk menghantam Prabowo Subianto di Pilpres 2019 nanti?
Kunci Jokowi di Pilpres 2014
Pada kontestasi Pilpres tahun 2014, Jokowi disebut-sebut sebagai pemimpin yang memberikan harapan akan perubahan. Kehidupan para pejabat politik yang identik dengan kemewahan dan berjarak dengan rakyat terbantahkan lewat figur Jokowi yang sederhana dan dekat dengan rakyat.
Jokowi pun dianggap sebagai tokoh politik yang bersih dari pelanggaran HAM di masa lalu. Dia bukanlah pemimpin yang tangannya berlumuran darah – demikian banyak orang sering berpendapat. Lebih tepatnya, Jokowi bukanlah pemimpin yang lahir dari rahim Orde Baru.
Dalam sebuah tulisan di The Straits Times disebutkan bahwa Jokowi adalah presiden pertama Indonesia yang datang dari luar elite politik dan militer. Hal ini tentu berbeda dengan lawan politiknya selama ini, Prabowo Subianto.
Ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo adalah elite di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai menteri di bawah pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Selain itu, Prabowo pun menikah dengan putri Soeharto, sehingga wajar ketika Prabowo sering disebut sebagai bagian dari Keluarga Cendana.
Dalam konteks tersebut, jelas Prabowo berbeda dengan Jokowi. Ia diduga berada di balik penculikan aktivis pada tahun 1998, kasus yang membuat dirinya diberhentikan dari militer. Isu pelanggaran HAM itu coba diangkat oleh veteran militer di kubu Jokowi, seperti Wiranto dan Luhut Binsar Panjaditan pada Pilpres 2014.
Kanupriya Kappor dalam sebuah tulisan di Reuters berpendapat bahwa cara itu digunakan karena kubu Jokowi khawatir melihat peningkatan popularitas Prabowo dengan retorika nasionalismenya. Ditambah strategi kampanye Prabowo terorganisir dengan baik dan mampu mempengaruhi banyak pemilih.
Manuver politik semacam itu ternyata berhasil. Konten-konten negatif bahwa Prabowo adalah bagian dari Orba, pelanggar HAM dan otoriter telah menghantam habis ambisi sang jenderal untuk menjadi presiden di 2014.
Sebaliknya, Jokowi tampil sebagai sosok yang akan berjuang untuk memperjuangkan hak asasi manusia dan melawan ketidakadilan. Sementara Prabowo dengan catatan pelanggaran HAM tidak pernah bisa mengeluarkan kata-kata tersebut. Jokowi pun menang pada Pilpres 2014.
Kini, timses Jokowi seperti Arya Sinulingga dan Budiman Sudjatmiko kembali mengaitkan Prabowo dengan Orba seperti pada tahun 2014. Kubu Jokowi sepertinya berharap akan mendulang kesuksesan yang sama. Benarkah demikian?
Jokowi Tak Seperti Dulu?
Setelah empat tahun menjabat sebagai presiden, masyarakat kian sadar, Jokowi sudah tak lagi seperti dulu. Banyak yang menilai Jokowi yang sekarang berbeda dengan Jokowi pada Pilpres 2014. Jokowi tak lagi dianggap sebagai pembawa harapan dan perubahan. Jika dulu otoritarianisme selalu dikaitkan dengan Prabowo, kini tuduhan itu malah melekat dalam diri Jokowi.
Tom Power dari Australian National University (ANU) dalam sebuah tulisan berjudul Jokowi Authoritarian Turn menyatakan bahwa Jokowi terindikasi mengembalikan watak pemerintahan otoriter dengan manuver politik sang presiden selama ini. Terdapat tiga asalan utama mengapa Jokowi disebut oleh Tom Power sebagai pemimpin otoriter.
Pertama, menurut Tom, politisasi lembaga hukum adalah kekuatan utama pemerintahan Jokowi. Menurutnya sang presiden menggunakan kontrol terhadap Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk “memanipulasi” perpecahan faksi dalam Golkar dan PPP, yang pada akhirnya memaksa mereka masuk dalam koalisi pemerintah.
Selain itu, Jokowi juga memperkenalkan kekuatan hukum baru untuk membatasi organisasi masyarakat sipil. Kekuatan hukum itu adalah Perppu Ormas. Sekalipun dimaksudkan untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Perppu Ormas tentu akan mengancam kebebasan berserikat.
Kedua, menurut Tom, ada kesan muncul upaya melindungi politisi dari jerat hukum untuk raih dukungan. Pada pertengahan tahun 2018, sejumlah pemimpin daerah yang berafiliasi dengan oposisi, mengumumkan dukungan mereka untuk Jokowi. Mengapa?
Pandangan yang tersebar luas di kalangan elite adalah bahwa aktor-aktor pemerintah telah mengancam orang-orang ini dengan dakwaan hukum — khususnya yang berkaitan dengan korupsi — kecuali mereka menyesuaikan diri dengan petahana. Salah satu yang paling menonjol adalah Tuan Guru Bajang (TGB) yang awalnya adalah pendukung Prabowo.
Yang terakhir, menurut Tom Power, Jokowi diduga telah memobilisasi militer untuk kepentingan politik. Seperti pada masa Orba, militer dan polisi dikerahkan secara sistematis untuk memberi keuntungan politik kepada pemerintah berkuasa. Jokowi pun diduga melakukan hal serupa, yakni melihat militer sebagai alat untuk tujuan-tujuan partisan.
Analisis Tom Power di The New Mandala itu setidaknya memberikan gambaran bahwa indikasi Jokowi anti-demokrasi itu benar-benar terukur. Artinya, bukan tak mungkin masyarakat akan menilai bahwa tuduhan otoriter dalam diri Prabowo kini lebih tepat ditujukan ke arah Jokowi.
Pada titik inilah, masyarakat akan sadar bahwa Jokowi tak berbeda dari politisi pada umumnya. Alih-alih membawa harapan akan perubahan, Jokowi justru terindikasi mengadopsi otoritarianisme Orba untuk tujuan-tujuan politiknya.
Timses Jokowi Bunuh Diri?
Apakah narasi timses Jokowi dengan mengaitkan Prabowo dan Orde Baru akan memberikan keuntungan kepada Jokowi? Jika merujuk pada analisis Tom Power, belum tentu. Menarik perhatian orang dengan membawa-bawa isu Orde Baru tidak semudah pada Pilpres 2014.
Seperti disebutkan di awal, Jokowi pada tahun 2014 sudah tak lagi sama dengan Jokowi pada saat ini. Maka bukan tak mungkin isu mengenai kebangkitan Orba dalam diri Prabowo sudah tak lagi laku pada Pilpres 2019.
Bukan tak mungkin, serangan terhadap Prabowo justru bisa berbalik ke arah Jokowi. Tom Power berpendapat ketika Prabowo dituduh otoriter, pendukung Prabowo akan menanggapi tuduhan itu dengan menunjuk regresi demokrasi yang terjadi di era Jokowi.
Pak Jokowi hadir melawan pak prabowo yang dicitrakan militeristik dan otoriter. Lah kok malah terbalik?
— #2019WAJAHBARU (@Fahrihamzah) October 24, 2017
Apalagi, tokoh-tokoh oposisi seperti Fahri Hamzah, Fadli Zon hingga Amien Rais berulang-ulang menuding bahwa pemerintahan Jokowi itu otoriter.
Maka, bisa disimpulkan bahwa serangan timses Jokowi terhadap Prabowo dengan mengaitkan sang jenderal dengan Orde Baru boleh jadi tak akan lagi efektif seperti Pipres 2014. Keuntungan elektoral tidak akan didapat oleh Jokowi sebesar Pilpres 2014, sebaliknya justru tuduhan itu akan menjadi semacam bunuh diri politik yang akan merugikan Jokowi.
Jika timses Jokowi tak menghindari narasi seperti itu, bisa saja kubu oposisi tidak harus bekerja keras untuk mengalahkan Jokowi. Sebab, barisan petahana telah membunuh dirinya sendiri dengan melontarkan serangan-serangan yang tidak lagi efektif seperti pada Pilpres 2014. Menarik untuk ditunggu. (D38)