Site icon PinterPolitik.com

Prabowo (Mulai) Turun Gunung?

Foto: Istimewa

“Jauh lebih mudah melakukan kritik daripada melakukannya dengan benar.” ~ Benjamin Disraeli


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]A[/dropcap]pa sebenarnya kaitan Indonesia dengan Rohingya? Selain sama-sama penduduk di negara Asia Tenggara, warga yang menduduki Rakhine State, Myanmar ini juga sudah dianggap saudara oleh Indonesia, karena sebagian besar penduduknya beragama Islam. Walau sejumlah media sudah mengabarkan kalau masalah Rohingya bukan mengenai agama, namun tetap saja, penderitaan dan kekejaman yang ditimpakan militer Myanmar pada mereka membuat masyarakat Indonesia bereaksi keras.

Lihat saja Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai politik (Parpol) beraliran Islam ini langsung menggelar ‘Aksi Bela Rohingya’, Sabtu (16/9) lalu. Kegiatan pengumpulan massa ini ditujukan sebagai tanda solidaritas dan dihadiri para petinggi parpol lainnya, seperti Amien Rais dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Di acara tersebut juga datang laskar Front Pembela Islam (FPI) yang menuntut senjata dari pemerintah untuk ikut berjuang bersama warga Rohingya.

Namun bukan acara ini yang menjadi headline di media-media keesokan harinya, tapi pernyataan Prabowo yang menuding kalau bantuan pemerintah untuk Rohingya hanya sekedar pencitraan semata karena belum tentu sampai. Herannya, Prabowo juga mementahkan keinginan FPI untuk bertempur ke Myanmar dengan mengatakan kalau tuntutan itu tidak masuk akal. Tentu semua orang bertanya-tanya, mengapa Prabowo jadi berseberangan dengan organisasi massa (Ormas) yang sering ia ajak kerjasama ini?

Tak berhenti di situ, Senin (18/9), saat memberikan ceramah di depan mahasiswa Universitas Indonesia, Prabowo kembali menyerang pemerintah. Ia menuding pemerintah tidak memiliki kepekaan, karena memberikan bantuan ke luar negeri padahal rakyat di negerinya sendiri tengah mengalami kesulitan ekonomi. Pernyataan ini tentu menghentak banyak pihak, sehingga menimbulkan polemik. Para pengamat dan politikus pun langsung menuding Prabowo sengaja menggunakan Rohingya sebagai manuver politiknya. Benarkah tudingan itu? Apa motif sebenarnya dari pernyataan Prabowo tersebut?

Rohingya dan Jebakan Demokrasi

“Jangan tunda serangan hingga keadaan memanas; tapi buatlah keadaan memanas dengan melakukan serangan.” ~ William Butler Yeats

Serangan! Ya, itulah yang dilakukan Prabowo. Walaupun Gerindra melakukan political denial  dengan mengatakan kalau pernyataan Prabowo bukan untuk menyerang pemerintah, tapi memang itulah yang sang mantan jenderal tersebut lakukan. Semua orang pun tahu. Motifnya? Tentu juga sangat mudah menebaknya, apalagi kalau bukan untuk semakin memanaskan suhu perpolitikan Indonesia yang sudah mulai menghangat menghadapi rentetan pesta demokrasi hingga dua tahun mendatang.

Sebagai seorang prajurit kombatan terlatih, Prabowo memang memiliki kadar sabar dan strategi yang tinggi. Walau selama ini Gerindra sudah menempatkan diri berada di seberang pemerintah, namun serangan-serangan biasanya dilakukan oleh para wakil ketuanya. Salah satu yang paling rajin, tentu saja Fadli Zon yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPR. Selain itu, parpol ini pun memanfaatkan partai koalisinya untuk terus mengkritik pemerintah, terutama sepak terjang Jokowi. Sementara Prabowo lebih banyak diam dan sesekali saja muncul.

Selama itu pula, Prabowo sekiranya menunggu momen yang tepat untuk  tampil dan melakukan serangan. Sebelumnya, ia mencoba melakukan serangan melalui Presidential Threshold (Pres-T) 20 persen. Sayangnya, strateginya untuk menggandeng Demokrat untuk menyerang pemerintah kurang berhasil. Begitu juga dengan isu komunis yang dilontarkan Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono, lagi-lagi sasarannya luput dari target. Alih-alih mengenai Jokowi eh malah menyasar ke PDI Perjuangan.

Ketika konflik Rohingya muncul lagi dan sentimen masyarakat terhadap penderitaan warga Rakhine kembali meningkat, maka isu ini pun menjadi batu lompatan yang paling mudah bagi Prabowo untuk mendapatkan perhatian. Posisi Jokowi yang serba salah pun berusaha digoreng lebih garing. Mengapa? Karena kalau Jokowi tidak mengindahkan tuntutan rakyat, maka pamornya pun akan turun. Namun apa dinyana, ternyata Jokowi menjawabnya dengan memberikan bantuan dan diplomasi politik yang cantik.

Maka tak heran kemudian tuntutan yang ditebarkan dari pihak oposisi dan FPI pun semakin tidak logis, dari minta dipersenjatai, mengusir duta besar Myanmar, menuntut Jokowi menyerang Myanmar atas alasan konstitusi dalam negeri, sampai Jokowi harus mendatangi Aung San Suu Kyi sendiri. Apalagi kalau bukan menebar jebakan batman namanya? Dalam tatanan etika politik internasional, campur tangan Indonesia dalam konflik negara lain saja sebenarnya sudah membuat kesal pimpinan Myanmar. Apalagi kalau tuntutan itu dilakukan semua? Indonesia ngajak perang namanya.

Demonstran dalam Aksi Bela Rohingya 169

Di sinilah strategi Prabowo ditebar. Ia tahu, tuntutan tersebut tidak akan terpenuhi dan pasti juga tidak akan didukung oleh banyak pihak berdasarkan kemustahilannya. Sehingga jalan lainnya, adalah dengan menyerang balik Jokowi melalui pemberian bantuan ke Myanmar. Dalam ilmu politik, strategi ini dinamakan “Jebakan Demokrasi”. Pencetusnya adalah Graham E. Fuller, seorang analis politik dan penulis Amerika yang mengkhususkan diri dibidang ekstrimisme Islam.

Menurut Fuller, terkadang suatu peristiwa dapat dimanipulasi dengan menggunakan jargon yang memiliki tujuan jahat atau sebagai tameng dengan mengatasnamakan demokrasi. Posisi Jokowi yang maju kena, mundur kena dari kasus Rohingya ini menunjukkan hal tersebut. Namun hingga saat ini, pancingan Prabowo ternyata masih belum juga mengenai sasaran yang tepat. Bahkan ada pengamat yang mengatakan kalau komennya tersebut merupakan blunder bagi Prabowo sendiri.

Memanfaatkan Momentum?

“Dalam politik, Nyonya, Anda membutuhkan dua hal: teman-teman, tapi terlebih penting dari semua itu adalah musuh.” ~ Brian Mulroney

Apa enaknya main tembak-tembakan sendirian? Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan oleh mantan perdana menteri Kanada di atas. Jelang tahun politik ini, meminjam istilah Fahri Hamzah, Jokowi sudah mulai memanaskan kendaraan. Tapi pertanyaannya, ia akan lomba kebut-kebutan sama siapa? Sikap bungkam Prabowo membuat banyak pendukungnya ragu, apakah ia benar-benar akan mencalonkan diri sebagai presiden untuk ketiga kalinya atau tidak?

Apalagi saat ini usianya pun sudah dibilang tidak muda lagi, padahal para pemilih di era milenial ini juga mempertimbangkan usia pada tokoh yang ingin didukungnya. Makanya, ketika survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 23-30 Agustus lalu malah memperlihatkan kalau dukungan dirinya lebih besar berasal dari pemuda berusia 20 hingga 29 tahun, yaitu 35,3 persen, sementara Jokowi hanya 31,7 persen dan pengangguran, maka disitulah Prabowo memanfaatkannya sebagai momentum untuk memasuki lapangan pertempuran.

Apa buktinya? Kalau kita perhatikan setiap pernyataan yang dilontarkan Prabowo, belakangan ini tak jauh-jauh dari kritikannya pada bagaimana sulitnya ekonomi Indonesia. Target pembelaannya pun sangat terarah pada masyarakat miskin, misalnya komentar tentang bagaimana para pemuda kekurangan gizi, sehingga menjadi kuli saja tidak bisa bersaing. Belum lagi komentarnya mengenai nasib wartawan yang bergaji kecil, sehingga tidak pernah bisa main ke mall. Pernyataan yang menimbulkan polemik karena dianggap terlalu hiperbolis, namun dari situlah Prabowo mencoba menarik perhatian para pemuda.

Apakah strategi ini berhasil? Kita baru bisa mengetahuinya pada dua tahun mendatang. Namun aksi turun gunung Prabowo ini memang membuat situasi perpolitikan menjadi semakin menarik, sebab masyarakat sudah mulai jenuh dengan masifnya lontaran kritik dari tokoh-tokoh pendukung Prabowo yang kadang hanya sekedar membuat polemik, tanpa muatan yang mampu membuat posisi status quo Jokowi tercekik. Di sisi lain, munculnya Prabowo pun akan membuat Jokowi waspada pada kekurangan terbesarnya, yaitu stagnasi ekonomi rakyat. Jadi sekali lagi, Nyonya, hal terpenting dalam politik adalah musuh! (R24)

Exit mobile version