Jokowi-Ma’ruf sudah mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju yang akan membantunya untuk lima tahun ke depan. Dari 38 nama dan jabatan yang diumumkan, Prabowo menjadi salah satu nama yang paling menarik perhatian karena mantan rival Jokowi tersebut diberi posisi Menteri Pertahanan (Menhan).
PinterPolitik.com
Sulit dibantahkan jika ada kepentingan politik di balik masuknya Prabowo maupun Gerindra ke dalam kabinet dan koalisi pemerintah. Bagi Jokowi, memasukkan Gerindra, partai dengan jumlah kursi terbanyak kedua di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan memperkuat pemerintahannya untuk lima tahun ke depan, sekaligus meminimalisir suara oposisi.
Selain itu, ada juga kemungkinan bahwa masuknya Gerindra merupakan strategi mantan Wali Kota Solo tersebut untuk mengimbangi besarnya pengaruh PDIP.
Sementara, jika dilihat dari kacamata partai, bergabungnya partai yang sebelumnya berada di luar koalisi kembali mengingatkan masyarakat mengenai fenomena kartelisasi partai yang sebelumnya memang sudah terjadi di Indonesia.
Pro-Kontra
Saat ini pemberian kursi Menhan kepada Prabowo menimbulkan pro-kontra di masyarakat.
Bukan tanpa alasan, jabatan Menhan memiliki pengaruh yang besar terhadap TNI.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004, Kemhan dapat “mengatur” TNI dalam hal anggaran, administrasi, serta kebijakan dan strategi pertahanan.
Pun sebagai unsur militer negara, TNI sering dilihat sebagai salah satu sumber kekuatan utama dalam perpolitikan utama di Indonesia.
Di barisan “pro”, ada Gerindra yang mengatakan bahwa diberikannya kursi Menhan ke Prabowo cocok dengan konsep kemandirian pertahanan yang sebelumnya diberikan Gerindra kepada Jokowi.
Dukungan juga datang dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang mengatakan bahwa Prabowo, sebagai eks-militer, memiliki kapabilitas untuk menguatkan pertahanan Indonesia.
Prabowo sendiri memang memiliki beberapa prestasi selama aktif di dunia militer.
Pada tahun 1980-an, ia mengikuti pelatihan militer di Jerman dan Amerika Serikat (AS).
Ia juga terlibat dalam penangkapan Xanana Gusmao, pimpinan Kelompok Fretilin yang menentang dan melawan pemerintahan Indonesia di Timor-Timur.
Prabowo juga pernah mendapatkan sorotan positif di dunia internasional ketika ia berhasil membebaskan tim peneliti Ekspedisi Lorentz 95 yang disandera oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam Operasi Mapenduma.
Di sisi lain, rekam jejak negatifnya di militer dan pandangan Prabowo terhadap pertahanan Indonesia mendominasi mereka yang kontra terhadap keputusan Jokowi.
Publik sudah mengetahui bahwa karir militer Prabowo terhenti setelah menantu Soeharto tersebut diberhentikan pada tahun 1998.
Pada saat itu, Dewan Kehormatan Perwira TNI menilai Prabowo melakukan setidaknya delapan kesalahan, mulai dari melakukan operasi di luar kewenangan dan tanpa izin atasan, hingga dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan penculikan terhadap aktivis demokrasi.
Adanya “dosa” masa lalu inilah yang menyebabkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melihat bahwa penunjukkan Prabowo sebagai Menhan menjadi sinyal mundurnya penegakan HAM dan demokrasi di Indonesia.
Dugaan pelangaran HAM ini juga menjadi sorotan di dunia internasional salah satunya ditunjukkan pemerintah AS yang hingga saat ini menolak memberikan visa kepada Prabowo untuk memasuki negaranya.
Sementara, menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Haripin, kehadiran Prabowo sebagai Menhan dapat membuat Indonesia menjadi negara militeristik.
Pendapat Haripin ini didasari oleh pernyataan dan pandangan Prabowo terhadap kondisi pertahanan Indonesia.
Haripin mencontohkan bagaimana Prabowo, pada masa pemilihan presiden (Pilpres), mengeluarkan visi-misi seperti menjadikan indonesia sebagai “Macan Asia” dan mengutip pernyataan Thucydides.
Kritik juga datang dari Pengamat politik Greg Fealy dari Australian National University (ANU).
Menurutnya, dibanding sosok kontroversial seperti Prabowo masih ada sosok lain yang dapat menjadi Menhan dan mengarahkan TNI ke arah yang diperlukan.
Dengan kontroversi dan sosoknya yang secara berturut-turut menjadi rival Jokowi dalam dua Pilpres, ditambah dengan peran strategis Kemhan, pertanyaan yang kemudian menarik untuk dijawab adalah mengapa Jokowi berani memberikan kursi Menhan kepada Prabowo?
Pertaruhan Jokowi?
Menurut Evan A. Laksmana, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), pemilihan Prabowo sebagai Menhan merupakan huge gamble alias pertaruhan besar bagi Jokowi yang memiliki dua kemungkinan.
Pertama, Prabowo bisa menjadi menteri yang luar biasa, dalam artian positif, dengan mensinergikan hubungan Kemhan-TNI dan memperkuat peran Kemhan dalam perumusan kebijakan pertahanan, hingga mentransformasi TNI secara keseluruhan.
Evan menjelaskan bahwa potensi ini muncul karena bagi sebagian pihak Prabowo dilihat sebagai sosok prajurit profesional dan murah hati.
Kedua, Prabowo bisa menjadi “bencana” dengan memperburuk hubungan sipil-militer, mengambil cara-cara yang lebih keras dalam menghadapi ancaman domestik, hingga mempolitisasi kebijakan pertahanan.
Potensi ini muncul berdasarkan rekam jejak Prabowo yang pernah melakukan pelanggaran berat terhadap aturan militer.
Evan juga berpendapat bahwa dijadikannya Prabowo sebagian Menhan menunjukkan kembali sikap auto-pilot Jokowi yang sejak periode pemerintahannya yang pertama tidak begitu tertarik untuk mencampuri secara dalam urusan-urusan militer.
Ketidaktertarikan ini kemudian membuat Jokowi membiarkan urusan pertahanan dijalankan oleh menteri-menteri terkait yang sudah ia pilih.
Selain Jokowi yang bertaruh dan sikap auto-pilot-nya terhadap sektor pertahanan, kuat dugaan bahwa keberanian Jokowi untuk memberikan kursi Menhan ke Prabowo berkaitan dengan adanya jaminan yang salah satunya hadir dalam bentuk Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
Ya, bersama 10 kementerian lainnya, Kemhan berada di bawah koordinasi Kemenko Polhukam. Alur koordinasi ini membuat seorang Menhan tidak bisa begitu saja mengeluarkan kebijakan.
Kontrol dan pengawasan terhadap Kemhan juga diperkuat dalam periode pemerintahannya yang kedua, di mana Jokowi semakin memperkuat otoritas Kemenko dengan memberikan hak veto kepada Menko jika kementerian di bawahnya mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan visi presiden
Kemenko Polhukam sendiri saat ini dipegang oleh Mahfud MD, sosok yang dinilai banyak pihak akan loyal terhadap Jokowi.
Oleh karena itu, untuk lima tahun ke depan sebagai Menko Mahfud akan menjadi perpanjangan tangan Jokowi untuk mengawasi kinerja Prabowo.
Selain itu, meskipun masih memiliki pengaruh besar terhadap TNI, jabatan Menhan di era reformasi saat ini tidak sekuat jabatan Menhan pada masa Orde Lama ataupun Orde Baru.
I'm still gathering my thoughts. The decision to have PS as defense minister is so complex, profound, and high-stakes.
But here's a few for now (more will follow soon):
<bear with me as I rant>
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, Menhan lebih sering dijabat oleh anggota TNI aktif yang juga merangkap sebagai Panglima TNI.
Oleh karena itu, selain mengatur urusan administrasi dan kebijakan pertahanan, pada saat itu Menhan juga bisa mengerahkan pasukan TNI.
Berbeda dengan kondisi sekarang di mana Menhan merupakan jabatan sipil yang sama sekali tidak memiliki kemampuan ataupun otoritas untuk mengerahkan pasukan TNI.
Sementara Panglima TNI saat ini, Hadi Tjahjanto, memiliki kedekatan dan terlihat sangat loyal terhadap Jokowi.
Kondisi ini sekaligus melemahkan argumentasi liar di media sosial bahwa dengan posisinya sebagai Menhan Prabowo dapat melakukan kudeta militer terhadap Jokowi.
Pada akhirnya, keberanian Jokowi untuk memberikan kursi Menhan kepada mantan rivalnya.
Sebagai presiden ataupun melalui Menko, Jokowi tetap memiliki otoritas untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja kabinetnya.
Pun jika performanya sebagai Menhan dianggap kurang memuaskan Jokowi bisa memberhentikan Prabowo dan mencari Menhan lain. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.