Rencana melengkapi eksistensi komando daerah militer (kodam) di 38 provinsi yang digaungkan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menuai pro dan kontra. Akan tetapi, terlepas dari sejumlah potensi dampak minornya, rencana itu kiranya cukup logis dan hanya dapat dieksekusi di era Prabowo saja. Benarkah demikian?
Now or never. Sebuah adagium yang kemungkinan turut melandasi rencana melengkapi keberadaan komando daerah militer (kodam) di 38 provinsi yang digemakan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.
Awalnya, Menhan Prabowo menemukan realita bahwa ada beberapa wilayah yang kaya akan sumber daya alam namun luput dari pengamanan TNI. Dirinya lantas khawatir jika kekayaan alam itu jatuh ke tangan yang tak semestinya.
Kekhawatiran plus upaya penguatan teritorial kemudian menjadi solusi yang disiratkan Menhan Prabowo saat memberikan arahan di depan anggota Babinsa Kodam I Bukit Barisan pada 27 Januari lalu.
Memahami apa yang dimaksud Prabowo, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman kemudian mengajukan usulan konkret, yakni penambahan kodam yang semula 15 menjadi 38, sesuai dengan jumlah provinsi di Indonesia.
Usai Rapat Pimpinan (Rapim) TNI AD pada 10 Februari pekan lalu, Jenderal Dudung menyebut Panglima TNI Laksamana Yudo Margono sudah menyetujui usulan tersebut.
Secara prosedural, Jenderal Dudung mengatakan rencana itu sudah ditindaklanjuti ke Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Proses kemudian hanya tinggal menunggu persetujuan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PANRB) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Selain mempertebal komando pertahanan teritorial, justifikasi Menhan Prabowo atas penambahan kodam sesuai provinsi selaras dengan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Ihwal yang membuat upaya sinergi tegak lurus dan langsung dengan pemerintah daerah menjadi hal utama.
Namun demikian, kritik berdatangan seiring kemunculan rencana penambahan kodam itu dalam beberapa hari terakhir.
Selain risiko tertariknya tentara ke urusan-urusan sipil, pemekaran satuan serupa di matra lain, hingga kebutuhan anggaran, probabilitas tendensi politik menjadi yang paling dikhawatirkan sejumlah kalangan.
Meskipun penambahan kodam akan dilakukan secara bertahap, kekhawatiran mobilisasi dan keberpihakan tertentu jelang pemilu tampak cukup mengusik memori kolektif peran tentara dalam politik.
Lantas, pertanyaan sederhana mengemuka, yakni mengapa Prabowo memantik rencana penambahan jumlah kodam di setiap provinsi? Sejauh mana kekhawatiran pihak yang kontra dari rencana itu bisa benar-benar terjadi?
Ide Logis Prabowo?
Bagaimanapun, ide menambah jumlah kodam dari Menhan Prabowo agaknya adalah sebuah gebrakan.
Akan tetapi, rencana itu tampaknya bukan hanya berlandaskan alasan filosofis, antisipasi ancaman, serta koordinasi pertahanan berbasis semesta, melainkan sebagai solusi paling masuk akal untuk mengurai permasalahan internal angkatan bersenjata selama ini.
Ya, jika benar-benar terwujud, 23 kodam baru dapat dipastikan akan melegakan ruang sesak jabatan para perwira menengah dan tinggi, atau yang selama ini dikenal sebagai permasalahan bottleneck karier mereka.
Telaah dari sudut pandang tekanan organisasi di balik rencana penambahan kodam beserta konsekuensinya itu tampak serupa dengan apa yang dianalisis Evan Laksmana dalam publikasinya yang berjudul Why Indonesia’s New Natuna Base Is Not about Deterring China.
Laksmana merujuk pada penambahan pangkalan terpadu TNI di Natuna yang dinilai bukan untuk menghalau agresivitas Tiongkok, melainkan demi salah satu solusi permasalahan organisasi, yakni membuka jabatan baru bagi para perwira yang tak memiliki pos memadai.
Memang, terdapat justifikasi logis lain seperti peningkatan sinergitas kemampuan tri matra dan interoperabilitas TNI. Akan tetapi, restrukturisasi kekuatan di Natuna yang mengarah pada pengurangan beban bottleneck seolah jauh lebih esensial.
Dalam publikasinya itu, Laksmana mencatat antara 2011 dan 2017, TNI memiliki sekitar 30 jenderal dan 330 perwira menengah (letnan kolonel dan kolonel) yang menunggu lowongan jabatan.
Mengadopsi jurnal berjudul Generating Reforms and Reforming Generations: Military Politics in Indonesia’s Democratic Transition and Consolidation yang ditulis Siddharth Chandra dan Douglas Kammen, disebutkan tantangan semacam itu akan memiliki konsekuensi kontraproduktif bagi TNI di masa mendatang.
Konsekuensi itu antara lain menggerogoti moral organisasi, meredam profesionalisme, hingga memperburuk konflik-konflik di internal militer.
Dengan demikian, serupa dengan pembentukan pangkalan armada terbaru TNI di Natuna, penambahan jumlah kodam di setiap provinsi kiranya juga berlandaskan plus dapat mengurangi mudarat klasik bottleneck di TNI, khususnya matra darat.
Itu pula yang kemungkinan besar dilihat dan menjadi prioritas utama di balik serangkaian alasan yang telah dikemukakan Menhan Prabowo atas rencana ekspansi jumlah kodam.
Namun, di titik ini, kritik atas residu berupa rentannya kepentingan bernuansa politis masih belum terjawab di balik penambahan jumlah kodam.
Lalu, benarkah dampak minor itu akan terjadi? Siapa aktor politik yang diuntungkan?
Hanya Bonus?
Kekhawatiran atas kemungkinan menodai netralitas TNI kiranya berpijak pada memori kolektif bagaimana ABRI di masa lalu memainkan perannya.
Seperti yang diketahui, kodam secara struktural merupakan satuan regional militer yang membawahi komando hingga level desa atau yang disebut bintara pembina desa (babinsa). Kekuatannya bahkan menjangkau seluruh pelosok tanah air.
Realitas itulah yang kemungkinan melandasi “paranoid” atas potensi gangguan netralitas TNI di politik sebagaimana dijelaskan David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba.
Jenkins mengatakan babinsa – paling tidak sejak Pemilu 1971 – merupakan motor pengerek suara Soeharto dan benar-benar dimanfaatkan sebagai ujung tombak di Era Orde Baru (Orba).
Bak operasi telik sandi, kala itu TNI AD melalui seluruh perangkatnya menyusup ke elemen masyarakat terkecil untuk menjegal setiap gerakan lawan politik Soeharto, hingga ke tingkat desa.
Namun, jika itu kembali menjadi efek samping penambahan kodam di era Menhan Prabowo, kepada siapa kemungkinan advantage politik itu akan bermuara saat ini?
Di meja analisis, itu agaknya belum dapat terpetakan secara pasti. Probabilitas kasat mata yang mengarah ke Prabowo (kandidat capres 2024), plus Partai Gerindra pun juga belum tentu terjadi jika berkaca pada sejumlah faktor.
Pertama, pasca reformasi, setiap wilayah memiliki karakteristik konstituen yang sangat beragam. Kedua, setiap wilayah juga memiliki local strongmen dengan preferensi politik berbeda seperti para ulama, pengusaha, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan lain sebagainya.
Ketiga, penambahan kodam (beserta pembangunan infrastrukturnya) sendiri akan dilakukan secara bertahap. Secara momentum, jika benar-benar dilakukan, “pemanfaatan” militer untuk kepentingan politik Prabowo seolah hampir mustahil untuk bekerja maksimal di pencapresan terakhirnya kelak.
Terakhir, keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi kiranya akan sangat sensitif untuk mengendus aroma pergerakan yang dilakukan jika para serdadu dimobilisasi untuk kepentingan politik.
Oleh karena itu, kekhawatiran penyalahgunaan tentara level teritorial untuk kepentingan politik di balik penambahan jumlah kodam tampaknya tak terlampau signifikan.
Lalu, kembali ke konteks yang menjadi landasan Menhan Prabowo menambah jumlah kodam terkait antisipasi “ancaman”. Apakah ancaman itu benar-benar ada dan relevan untuk diatasi?
Warisan Bijak Prabowo?
Sebagai Menhan, kiranya lumrah jika Prabowo berupaya menutup sekecil apapun potensi ancaman bagi negara.
Perdebatan mengenai persentase terjadi atau tidaknya eskalasi ancaman menjadi sebuah konflik di era modern, tak serta merta menjadi justifikasi untuk melonggarkan aspek pertahanan.
Lagi pula, eksistensi kodam juga cukup jamak diadopsi negara yang bahkan tak seluas Indonesia dengan berbagai kompleksitasnya.
Sebut saja Jerman dengan Kommando Territoriale Aufgaben der Bundeswehr-nya, Rusia dengan lima distrik militernya, serta Tiongkok dengan lima teater komando wilayah daratnya.
Memang dalam masa damai, sejumlah manuver Prabowo seperti rencana penambahan kodam sampai aktualisasi Komponen Cadangan (Komcad) kerap ditengarai sebagai kepentingan legacy yang bertendensi politis.
Namun, itu kiranya cukup logis jika menakar sejumlah urgensi lain aspek pertahanan dan angkatan bersenjata saat ini.
Kembali, memperkuat pertahanan domestik dari berbagai ancaman konkret, mengembangkan mutu interoperabilitas trimatra, hingga solusi bottleneck atas struktur organisasi TNI yang belum sempurna kiranya masih melampaui tudingan miring yang bernuansa politis.
Terlebih, serangkaian solusi konkret itu kemungkinan hanya bisa diejawantahkan di masa kepemimpinan Prabowo sebagai Menhan – yang notabene merupakan living legend militer dengan visi, akses, dan jejaring mumpuni.
Maka dari itu, penambahan jumlah kodam di setiap provinsi kiranya bukan merupakan rencana yang buruk jika menimbang sejumlah konsekuensinya seperti yang dianalisis di atas.
Tinggal, setiap elemen masyarakat harus bersama-sama memastikan realisasi “ekspansi” militer di masa damai seperti saat ini tidak disalahgunakan demi kepentingan politik tertentu. (J61)