Kritik Prabowo kepada pembangunan Orde Baru mengagetkan banyak orang. Beberapa menganggap bahwa Prabowo tengah melepas citra Orba yang melekat padanya
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]rabowo kembali mendapat panggungnya. Kali ini, di depan ribuan peserta HUT ke-20 Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), ia kembali berorasi dan berkampanye.
Sejumlah sang jenderal pernyataan tak lepas dari sorotan media, mulai dari menyinggung bahwa arah para elite telah gagal dalam mengelola negara hingga menyebut perbaikan arah pembangunan tidak akan terjadi jika para elite tersebut terus berkuasa.
Secara spesifik, ia kemudian menyebut bahwa pembangunan Indonesia saat ini menuju ke arah yang keliru. Menurutnya, ia telah memprediksi kegagalan pembangunan ekonomi Indonesia terjadi sejak era Orde Baru.
Berhasilkah Prabowo melepaskan citra Orba? Share on XKesalahan pembangunan sejak Orde Baru terletak pada kalangan elite yang gagal memberikan arah dan gagal mengelola bangsa ini. Oleh karenanya, ia bahkan banyak dibenci kalangan elite karena memegang keyakinannya ini dan ada yang menuding dirinya tidak dapat membaca data.
Pidato Prabowo ini mengundang perhatian banyak kalangan, termasuk pengamat politik. Menurut Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan, Prabowo sedang melakukan strategi melepaskan citra Orde Baru yang selama ini melekat padanya.
Tentu menarik melihat polemik ucapan Prabowo dalam konteks sudut pandang Djayadi Hanan tersebut.
Selama ini, Prabowo memang lekat dengan label Orde Baru. Tak hanya menikmati kegemilangan karier militer di era Soeharto, ia bahkan sempat menikahi putri dari mantan presiden yang dikenal sebagai smiling general tersebut. Pada titik ini, tentu saja citra Orde Baru menjadi bagian tak terpisahkan dari sosok Prabowo. Terlebih, ia kini juga didukung oleh kekuatan-kekuatan lama, layaknya Partai Berkarya yang kental akan nuansa Orba.
Lalu tepatkah pandangan tentang perubahan citra tersebut? Mungkinkah ada makna lain dibalik ucapan prabowo yang mengkritik arah pembangunan Orba tersebut?
Strategi Rebranding
Rebranding atau memperbaharui citra sesungguhnya bukan sebuah hal yang baru dalam politik. Para politisi akan cenderung menonjolkan kelebihan-kelebihan mereka dalam setiap gelaran politik layaknya pemilihan umum.
Bak sebuah produk, citra seorang politisi juga akan mempengaruhi bagaimana ia dipandang dalam masyarakat. Bahkan produk pun juga perlu untuk di reproduksi dan di promosikan ulang agar tetap laku di pasaran.
Oleh karenanya, perusahaan iklan tak akan kehilangan akal untuk menggali ide-ide branding maupun rebranding, termasuk juga dalam politik.
Dalam sebuah tulisannya, Michael Box menjelaskan bahwa political rebranding adalah sebuah upaya untuk mengubah bagian dari aktor politik dengan tujuan tertentu. Upaya ini mencakup area yang luas, namun biasanya dibatasi dalam beberapa hal. Misalnya seperti nama, sosok, hingga sebuah kebijakan.
Setidaknya, hal tersebut lah yang dilakukan oleh Tony Blair ketika berhasil membawa Partai Buruh menemukan citranya yang baru sebagai The New Labour Party.
Ada yang bilang arah pembangunan Indonesia salah sejak Orba. Padahal dia bagian kental Orba. Mertuanya juragan Orba!
Pyétokih???— Abang Rahino (@abang_rahino) February 7, 2019
Selain merubah citra partainya, ia pun juga melakukan strategi rebranding sebagai seorang sosok politisi. Blair mampu menjadi sosok yang disukai oleh pemilih muda kala itu karena merupakan kandidat Perdana Menteri (PM) termuda dalam konstelasi politik Inggris sejak tahun 1812.
Selain itu, Blair kala itu mampu menjadi sosok yang hadir bagi setumpuk persoalan di Inggris dan mampu memberikan solusi berupa kebijakan-kebijakan, sehingga rebranding strategy yang dilakukan oleh dirinya efektif membawanya sebagai PM selama satu dekade (1997-2007).
Blair menggunakan strategi “berhubungan kembali” dengan para pemilih yang tidak puas di Pemilu tahun 2005. Ia menawarkan originalitas dalam strategi kebijakan dan politik, serta ideologi sebagai basis daya tawarnya. Sehingga, hal tersebut berhasil mendekonstruksi pendapat pemilih tentang partai Buruh dan juga sosoknya sendiri.
Dalam kasus Blair, jika ditelaah, strategi rebranding menekankan pada keterbaharuan daya tawar dan ideologi partai Buruh yang kala tu menjadi kebutuhan utama di Inggris. Sehingga, ada yang membuatnya benar-benar berbeda dengan sosok Blair dan Partai Buruh.
Sedangkan dalam konteks Prabowo, memang selama ini citra Orba yang begitu lekat menempel pada dirinya bisa dibilang cukup mengganggu, terlebih menjelang Pilpres 2019 ini.
Namun apakah tepat jika menyebut Prabowo mirip dengan Blair melakukan rebranding citra Orba yang selama ini melekat padanya?
Rebranding Prabowo, Tepatkah?
Jika diperhatikan, nampaknya perkara rebranding tersebut akan sulit disamakan mengingat dalam kapasitasnya sebagai kandidat politik, sosoknya tak memiliki pembeda seperti yang dilakukan Blair. Ia masih menjadi sosok yang sama dengan Prabowo di Pilpres 2014.
Dalam hal ideologi, ia juga tak memiliki daya tawar tersebut. Dalam pidatonya tersebut, Prabowo tak ubahnya politisi-politisi pada umumnya yang menggunakan strategi mengecam elite-elite politik yang dianggap banyak menyengsarakan rakyat. Hal tersebut sebagai sesuatu yang sudah umum dilakukan oleh para politisi di Indonesia.
Kondisi tersebut bukanlah satu-satunya yang menghambat Prabowo untuk melakukan rebranding politik. Hubungannya dengan keluarga Cendana juga tak bisa dilupakan begitu saja. Sebagai mantan menantu Suharto, tentu pernikahannya dengan Titik Suharto tak akan pernah dilupakan oleh publik.
Partai Tommy Sebut Prabowo Keliru soal Pembangunan Orde Baru https://t.co/vUeZ3JIqYR
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) February 7, 2019
Selain itu, bisa dikatakan bahwa citra Orde Baru Prabowo sesungguhnya masih sangat diperlukan dalam gelaran Pilpres 2019 ini.
Sebagai contoh, dukungan partai Berkarya di kubu Prabowo masih menjadi hal yang dibutuhkan oleh sosok sang jendral. Hal tersebut tidak terlepas dari kepentingan ekonomi politik yang melingkupinya. Sebagai mesin politik, meskipun merupakan partai baru, Berkarya merupakan salah satu partai yang modal ekonominya cukup mumpuni.
Tak hanya dipimpin oleh Tommy Soeharto, anggota keluarga Cendana yang lain, juga merapat ke partai ini. Jika merujuk pada majalah Globe Asia, beberapa anggota keluarga ini masih tembus 150 besar orang terkaya di Indonesia sehingga kekuatan modal mereka menarik untuk dapat dimanfaatkan, termasuk kemungkinan oleh Prabowo.
Di luar itu, Suharto sendiri meninggalkan citra yang cukup kuat sebagai pemimpin yang cukup berpengaruh di Indonesia. Hal tersebut sempat diungkapkan oleh hasil survei yang dilakukan lembaga Indo Barometer pada Mei 2018 lalu. Dalam hasil survei tersebut, menyebutkan bahwa Soeharto masih menjadi tokoh yang sangat populer di masyarakat, bahkan dianggap sebagai presiden paling berhasil.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, sulit untuk mengatakan bahwa kritik Prabowo pada arah pembangunan Orba adalah sebuah upaya rebranding. Oleh karena itu, anggapan pencitraan seperti yang diungkap Djayadi di atas belum tentu tepat.
Memang, di akhir pernyataannya Djayadi Hanan menyebut bahwa strategi merubah citra Prabowo tak akan berhasil karena masyarakat lebih banyak yang percaya bahwa Indonesia tengah berjalan menuju arah yang baik.
Namun, ketidakberhasilan Prabowo sesungguhnya bukan terletak pada hal tersebut. Jika melihat pada indikator rebranding yang diungkapkan Box maupun standar yang ditunjukkan Blair, Prabowo tak memenuhi unsur-unsur rebranding tersebut.
Dengan demikian, sesungguhnya tak terlalu tepat jika mengaitkan pernyataan Prabowo merupakan bagian dari upaya mengubah citra mantan Danjen Kopassus tersebut.
Lalu apa sebenarnya maksud dari sang jenderal? Sejauh ini, hanya Prabowo yang tahu jawabannya. Yang jelas, tidak ada indikasi rebranding serupa Blair dari pernyataan Prabowo tersebut. (M39)