Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Kendati baru sebatas rencana, probabilitas rekonsiliasi setelah pertemuan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri kelak menguat. Hal itu meninggalkan interpretasi bahwa relevansi dan nasib Joko Widodo (Jokowi) pasca kepresidenan kiranya hanya tinggal bergantung satu akar gantung yang ada di Partai “Beringin” Golkar.
Jika rekonsiliasi di antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri benar-benar terwujud, Partai Golkar kiranya akan menjadi penentu nasib politik Joko Widodo (Jokowi) pasca kepresidenan.
Kendati saat ini masih sebatas isu, pertemuan Prabowo dan Megawati sendiri diprediksi akan terjadi dalam satu atau dua pekan ke depan, berbarengan dengan momentum Hari Raya Idul Fitri.
Satu diskursus yang mengemuka dalam isu tersebut adalah kualitas dan situasi relasi tiga aktor prominen, yakni Prabowo, Megawati, dan Jokowi serta bagaimana implikasinya kelak.
Beberapa elite PDIP telah menyatakan bahwa pertemuan Prabowo dan Megawati merupakan hal lumrah, karena kedua tokoh itu tak pernah memiliki permasalahan dan sekat politik berarti pasca kontestasi elektoral selama ini.
Namun, dampaknya terhadap Jokowi yang kemudian menjadi menarik. Jika pada akhirnya Prabowo merangkul dan Megawati-PDIP menerima rangkulan itu untuk bergabung ke dalam koalisi 2024-2029, relevansi Jokowi kemungkinan hanya akan bergantung pada satu akar gantung yang begitu rapuh di Partai Golkar.
Lalu, mengapa itu bisa saja terjadi? Serta bagaimana kemungkinan posisi politik Partai Golkar merespons dinamika tersebut?
Jokowi dalam Varian Lame Duck Baru?
Berdasarkan berbagai variabel, dinamika, serta konteks-konteks yang terjadi hingga saat ini, mungkin dapat dikatakan bahwa Presiden Jokowi tengah menunjukkan tanda-tanda menjadi lame duck.
Secara sederhana, istilah lame duck dalam politik sendiri berarti penguasa yang kehilangan pengaruh dalam momen-momen terakhir masa jabatannya, dan setelahnya.
Namun, dalam konteks Presiden Jokowi di tengah isu pertemuan Prabowo-Megawati, tampaknya perlu ada re-definisi atas apa yang disebut sebagai lame duck.
Lame duck yang jamak disebut satu paket dengan kutukan periode kedua, sesungguhnya tidak dapat dipahami sebagai berkurangnya kuasa presiden atau aktor yang bersangkutan, melainkan fenomena ketika aktor tersebut mulai ditinggalkan oleh para penyokongnya selama ini.
Mengacu pada konsep spoils system di mana politik bekerja selayaknya aktivitas ekonomi yang transaksional, para pendukung dalam politik cenderung bersifat partisan. Mereka akan mencari bahtera-bahtera baru agar tetap bisa berlayar karena yang sedang ditumpangi sebentar lagi akan berlabuh.
Mereka, dalam hal ini, bahkan dapat dikategorikan sebagai aktor-aktor paling dekat yang mendukung di waktu sebelumnya.
Ihwal tersebut berkelindan dengan interpretasi saling terkait saat berbicara mengenai pertemuan dan potensi rekonsiliasi Prabowo-Megawati dan Gerindra-PDIP dan dampaknya bagi Jokowi.
Megawati yang tak punya persoalan dengan Prabowo, dihadapkan pada kesumat PDIP terhadap Jokowi.
Berkaca pada tendensi ultra-pragmatisme dalam atmosfer politik Indonesia belakangan ini, kepentingan Megawati dan PDIP tentu adalah berkomunikasi dengan Presiden ke-8 RI dan membuka peluang tentang “apa yang bisa didapat”. Bahkan, kendati terjadi regenerasi di Partai berlambang Banteng.
Sementara itu, pasca purna tugas kelak, Jokowi yang berstatus “mantan presiden” dinilai akan kehilangan magnet politiknya, di saat Prabowo adalah Prabowo, yang diperkirakan akan memimpin dengan lugas tanpa beban untuk terus “menggendong” Jokowi.
Di titik ini, Jokowi pun boleh jadi telah menyiapkan langkah berikutnya yang telah santer disebut-sebut, yakni berlabuh ke partai lain, khususnya Partai Golkar.
Lalu, sejauh mana Partai Golkar dapat menjadi penyelamat Jokowi?
Jokowi Pasti Golkar?
Sinyal bahwa Partai Golkar akan menjadi pelabuhan terakhir Jokowi telah berhembus setidaknya sejak tahun pertama berlangsungnya pemerintahan 2019-2024.
Jika skenario di atas benar-benar terjadi, bagi Jokowi, Partai Golkar dinilai akan menjadi satu-satunya harapan sebagai penyelamat.
Bergabung dengan Partai Golkar setidaknya dapat secara perlahan menetralisir tensi dan kecanggungan politik dengan PDIP karena keberpihakan Jokowi di Pilpres 2024.
Namun, bagaimana dengan apa yang didapat Partai Golkar dari bergabungnya Jokowi?
Kendati tak sedikit mendapat kritik dan disebut lame duck, berbagai legacy yang telah ditorehkan Presiden Jokowi agaknya tak seratus persen sirna dan dilupakan begitu saja. Utamanya bagi ceruk suara tertentu di beberapa daerah dan para relawan loyalisnya.
Apalagi, trah Jokowi masih memiliki relevansi dalam politik kekuasaan. Sebut saja Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution yang bisa memberikan “sedikit” sumbangsih elektoral bagi Partai Golkar.
Khusus nama terakhir bahkan telah mendapat rekomendasi dan menjadi salah satu kandidat calon gubernur Sumatera Utara (Sumut) yang diusung Partai Beringin. Ihwal yang terungkap dalam agenda pengarahan calon kepala daerah 2024 Partai Golkar kemarin, 6 April 2024.
Bagaimanapun, penjabaran di atas merupakan interpretasi semata berdasarkan sejumlah variabel-variabel terkini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)